Madaniyah
{يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ
مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ
مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ
الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1)}
.
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah
menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah
mem-perkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) Nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu."
(An-Nisa`: 1).
#
{1} افتتحَ تعالى هذه السورةَ
بالأمر بتقواه والحثِّ على عبادتِهِ والأمرِ بصلةِ الأرحام
والحثِّ على ذلك، وبيَّن السبب الداعيَ الموجبَ لكلٍّ من
ذلك، وأن الموجب لتقواه: لأنه ربُّكم
{الذي خلقكم} ورزقكم وربَّاكم
بنعمِهِ العظيمة التي من جملتها خَلْقُكم
{من نفس واحدة} وجعل
{منها زوجها} ليناسِبَها فيسكنَ
إليها وتتمَّ بذلك النعمة ويحصل به السرور؛ وكذلك من الموجب
الداعي لتقواه تساؤلُكم به وتعظيمكم، حتى إنكم إذا أردتم قضاء
حاجاتكم ومآربكم؛ توسَّلتم بها بالسؤال
[باللهِ]،
فيقول من يريد ذلك لغيره:
أسألك بالله أن تفعل الأمر الفلاني؛ لعلمه بما قام في قلبه من
تعظيم الله الداعي أن لا يردَّ من سأله بالله؛ فكما عظَّمتموه
بذلك؛ فلتعظِّموه بعبادتِهِ وتقواه. وكذلك الإخبار بأنه
رقيبٌ؛ أي: مطَّلع على العباد في حال
حركاتهم وسكونهم وسرِّهم وعلنهم وجميع الأحوال مراقباً لهم فيها،
مما يوجب مراقبتَهُ وشدةَ الحياء منه بلزوم تقواه؛ وفي الإخبار
بأنه خلقهم من نفس واحدة، وأنه بثَّهم في أقطار الأرض مع رجوعهم
إلى أصل واحدٍ ليعطِّفَ بعضَهم على بعض، ويرقِّقَ بعضَهم على
بعض. وقرن الأمر بتقواه بالأمر ببرِّ الأرحام والنهي عن قطيعتها
ليؤكد هذا الحق، وأنه كما يلزم القيام بحق الله كذلك يجب القيام
بحقوق الخلق، خصوصاً الأقربين منهم، بل القيام بحقوقهم هو من
حقِّ الله الذي أمر الله به. وتأمل كيف افتتح هذه السورةَ بالأمر
بالتقوى، وصلة الأرحام، والأزواج عموماً، ثم بعد ذلك فصَّل هذه
الأمور أتمَّ تفصيل من أول السورة إلى آخرها؛ فكأنها مبنيَّةٌ
على هذه الأمور المذكورة، مفصِّلةٌ لما أُجْمِلَ منها، موضِّحةٌ
لما أُبْهِمَ. وفي قوله:
{وخلق منها زوجها}: تنبيه على
مراعاة حقِّ الأزواج والزوجات والقيام به؛ لكون الزوجات مخلوقاتٍ
من الأزواج؛ فبينهم وبينهنَّ أقربُ نسب وأشدُّ اتصال وأوثق
علاقة.
(1) Allah سبحانه وتعالى memulai surat
ini dengan perintah untuk ber-takwa kepadaNya dan anjuran untuk
beribadah kepadaNya, perintah untuk menyambung silaturahim dan
anjuran untuk hal itu. Allah juga menjelaskan tentang
sebab-sebab yang mendorong harusnya melakukan setiap dari hal
tersebut, dan bahwa hal yang mengharuskan untuk bertakwa
kepadaNya adalah karena Allah itu Rabb kalian, ﴾ ٱلَّذِي
خَلَقَكُم
﴿ "yang telah menciptakan kalian," memberi rizki kepada
kalian, memelihara kalian dengan nikmat-nikmatNya yang besar,
dan di antaranya adalah penciptaan diri kalian itu, ﴾
مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ
﴿ "dari diri yang satu," dan menjadikan ﴾
مِنۡهَا زَوۡجَهَا
﴿ "dari padanya istrinya," agar sesuai dengannya, lalu ia
merasa tenang kepadanya, dan dengan hal itu lengkaplah nikmat
dan terwujudlah kebaha-giaan. Demikian juga, di antara
pendorong yang mengharuskan dan menuntut untuk bertakwa
kepadaNya adalah (bahwa) kalian saling
meminta dengan (menyebut) NamaNya dan
pengagungan kalian atasNya, hingga bila kalian ingin
mendapatkan hajat dan kebutuhan kalian, maka kalian
bertawassul dengannya, di mana Anda meminta dengan "demi
Allah." Karena itu, barangsiapa yang menghendaki hal itu
kepada orang lain, ia berkata, "Saya memo-hon kepadamu dengan
Nama Allah untuk melakukan pekerjaan..."; karena dia
mengetahui apa yang ada dalam hatinya berupa peng-agungan
kepada Allah, yang mendorong agar orang yang diminta-nya
dengan "Nama Allah" itu tidak menolak. Maka sebagaimana kalian
mengagungkanNya dengan hal itu, agungkanlah juga Allah dengan
beribadah dan bertakwa kepadaNya. Demikian juga kabar bahwa
Allah Maha Mengawasi, artinya, Allah melihat hamba-hambaNya
pada saat mereka diam maupun bergerak, yang dirahasiakan
maupun yang ditampakkan, dan Allah mengawasi seluruh kondisi
mereka, yang mengharuskan adanya rasa pengawasan Allah dan
malu yang mendalam terha-dapNya dengan cara konsisten dalam
takwa kepadaNya, dan pada pemberitaan bahwa Allah menciptakan
mereka dari diri yang satu dan bahwa Allah mengembang biakkan
mereka di seluruh bagian bumi, padahal mereka berasal dari
jiwa yang satu, adalah agar se-bagian mereka mengasihi
sebagian yang lain dan sebagian mereka berlaku lemah lembut
kepada sebagian lainnya. Allah menyandingkan antara takwa
kepadaNya dengan perintah untuk berbuat baik kepada keluarga
dan melarang dari memutuskan hubungan silaturahim agar
menegaskan akan kebe-naran hal tersebut, dan bahwa sebagaimana
wajibnya menunaikan hak-hak Allah, maka wajib pula untuk
menegakkan hak-hak makh-lukNya, khususnya yang termasuk
kerabat keluarga di antara mereka, bahkan menunaikan hak-hak
mereka adalah di antara hak-hak Allah yang telah diperintahkan
olehNya. Perhatikanlah bagaimana Allah memulai surat ini
dengan perintah secara umum untuk bertakwa, menyambung
silaturahim, dan interaksi antara suami dan istri, kemudian
setelah itu Allah merinci perkara-perkara tersebut dengan
perincian yang sempurna dari awal surat hingga akhirnya, di
mana seolah-olah penjelasan surat ini didasari oleh
perkara-perkara tersebut, merinci hal-hal yang disebut yaitu
secara umum darinya dan menjelaskan hal-hal yang samar. Dalam
Firman Allah, ﴾
وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا ﴿ "Dan dari padanya Allah menciptakan
istrinya," terdapat sebuah peringatan untuk senantiasa menjaga
(memperhatikan) hak-hak para suami dan
para istri dan pemenuhannya, karena para istri itu tercipta dari
para suami, se-hingga antara para suami dan para istri terdapat
hubungan nasab yang paling dekat, hubungan yang paling kuat, dan
ikatan yang paling kokoh.
Dan Firman Allah سبحانه وتعالى,
{وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا
الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى
أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
(2)}
.
"Dan berikanlah kepada anak-anak yatim
(yang sudah baligh) harta mereka, jangan
kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan
harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar."
(An-Nisa`: 2).
#
{2} هذا أول ما أوصى به من حقوق
الخلق في هذه السورة، وهم اليتامى الذين فقدوا آباءهم الكافلين
لهم، وهم صغارٌ ضعافٌ، لا يقومون بمصالحهم، فأمر الرءوف الرحيم
عباده أن يحسِنوا إليهم، وأن لا يَقْرَبوا أموالهم إلا بالتي هي
أحسن، وأن يؤتوهم أموالهم ـ إذا بلغوا ورَشَدوا ـ كاملةً موفرةً،
وأن لا يتبدلوا الخبيث الذي هو أكلُ مال اليتيم بغير حقٍّ
{بالطيب} وهو الحلال الذي ما فيه
حرجٌ ولا تَبِعة
{ولا تأكلوا أموالهم إلى أموالكم}؛ أي: مع أموالكم، ففيه تنبيهٌ لقبح
أكل مالِهم بهذه الحالة، التي هي قد استغنى بها الإنسان بما جعل
الله له من الرزق في ماله؛ فمَنْ تجرَّأ على هذه الحالة؛ فقد أتى
{حوباً كبيراً}؛
أي:
إثماً عظيماً ووزراً جسيماً. ومن استبدال الخبيث بالطيِّب أن
يأخذ الوليُّ من مال اليتيم النفيسِ ويجعلَ بدلَه من ماله
الخسيسَ. وفيه الولايةُ على اليتيم؛ لأنَّ من لازم إيتاء اليتيم
ماله ثبوتَ ولاية المؤتي على ماله. وفيه الأمرُ بإصلاح مال
اليتيم؛ لأنَّ تمام إيتائِهِ مالَه حفظُه والقيامُ به بما يصلحه
ويُنَمِّيه وعدم تعريضه للمخاوف والأخطار.
(2) Ini merupakan wasiat pertama dari
hak-hak makhluk dalam surat ini, mereka itu adalah anak-anak
yatim yang telah ditinggal mati oleh ayah yang menafkahi mereka,
sedang mereka masih kecil dan lemah, mereka tidak mampu memenuhi
kemasla-hatan mereka sendiri. Karena itu Allah Yang Maha
Penyayang lagi Maha Pengasih memerintahkan hamba-hambaNya agar
berbuat baik kepada mereka dan agar tidak mendekati harta-harta
mereka kecuali dengan cara yang baik. Dan agar memberikan kepada
me-reka harta-harta mereka –apabila mereka telah baligh dan
dewasa– secara sempurna dan penuh, dan agar tidak menukar dengan
yang buruk, di mana itu termasuk memakan harta anak yatim tanpa
hak, ﴾ بِٱلطَّيِّبِۖ
﴿ "yang baik," yaitu, yang halal yang tidak ada dosa padanya
dan tidak pula tanggung jawab. ﴾
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَهُمۡ إِلَىٰٓ أَمۡوَٰلِكُمۡۚ
﴿ "Dan jangan kamu makan harta mereka ber-sama hartamu,"
maksudnya, bersama harta kalian. Di sini terdapat suatu
peringatan akan buruknya memakan harta mereka dengan cara
seperti itu, yang kemungkinan seseorang mampu untuk tidak
melakukannya, (dan cukup) dengan apa
yang telah Allah rizkikan untuknya dari hartanya sendiri. Maka
barangsiapa yang berani melakukan hal itu, sesungguhnya ia
telah melakukan, ﴾
حُوبٗا كَبِيرٗا ﴿ "dosa yang besar," yaitu, dosa dan kesalahan
yang besar. Dan termasuk menukar yang buruk dengan yang baik,
ada-lah, seorang wali mengambil harta anak yatim yang berharga
dan menukarnya dengan hartanya yang paling jelek. Ayat ini juga
menunjukkan adanya perwalian terhadap seorang yatim, karena di
antara wajibnya memberikan harta anak yatim, adalah ketetapan
perwalian orang yang mengelola hartanya. Demikian juga ayat ini
menunjukkan perintah untuk meng-urus harta anak yatim secara
baik, karena kesempurnaan pembe-rian hartanya kepadanya adalah
penjagaan dan pemenuhannya dengan cara yang baik untuknya,
mengembangkannya, serta tidak menempatkannya pada hal-hal yang
dikhawatirkan dan berbahaya.
{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى
أَلَّا تَعُولُوا (3) وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ
شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
(4)}
.
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terha-dap
(hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah
(ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya."
(An-Nisa`: 3-4).
#
{3} أي: وإن خفتم ألا تعدلوا في
يتامى النساء [اللاتي] تحت حُجوركم
وولايتكم، وخفتم أن لا تقوموا بحقِّهن لعدم محبتكم إياهنَّ،
فاعدلوا إلى غيرهنَّ وانكحوا
{ما طاب لكم من النساء}؛
أي:
ما وقع عليهن اختياركم من ذوات الدين والمال والجمال والحَسَب
والنَّسَب وغير ذلك من الصفات الداعية لنكاحهنَّ؛ فاختاروا على
نظركم، ومن أحسن ما يُختار من ذلك صفة الدين؛ كما قال النبي -
صلى الله عليه وسلم -:
«تُنْكَحُ المرأةُ لأربع: لمالِها ولِجمالِها ولحسبِها
ولدينِها؛ فاظفرْ بذاتِ الدينِ تَرِبَتْ يمينُك». وفي هذه الآية أنه ينبغي للإنسان أن يختار قبل النكاح، بل قد
أباح له الشارعُ النظرَ إلى مَنْ يريد تزوجها؛ ليكون على بصيرة
من أمره. ثم ذكر العدد الذي أباحه من النساء،
فقال:
{مثنى وثلاث ورباع}،
أي:
من أحب أن يأخذ ثنتين؛ فليفعل، أو ثلاثاً؛ فليفعل، أو أربعاً؛
فليفعل، ولا يزيد عليها؛ لأن الآية سيقت لبيان الامتنان؛ فلا
يجوز الزيادة على غير ما سمى الله تعالى إجماعاً، وذلك لأن الرجل
قد لا تندفع شهوتُه بالواحدة، فأبيح له واحدة بعد واحدة، حتى
تبلغ أربعاً؛ لأن في الأربع غُنيةً لكل أحد إلا ما ندر، ومع هذا؛
فإنما يباح له ذلك إذا أمن على نفسه الجَوْر والظلم ووثق بالقيام
بحقوقهن؛ فإن خاف شيئاً من هذا؛ فليقتصر على واحدة أو على ملك
يمينه؛ فإنه لا يجب عليه القَسْم في ملك اليمين،
{ذلك}؛
أي:
الاقتصار على واحدة أو ما ملكتِ اليمينُ
{أدنى ألاَّ تعولوا}؛
أي:
تظلموا، وفي هذا أنَّ تعرَّضَ العبد للأمر الذي يُخافُ منه
الجورُ والظلم وعدم القيام بالواجب ولو كان مباحاً؛ أنه لا ينبغي
له أن يتعرَّضَ له، بل يلزم السعةُ والعافيةُ؛ فإنَّ العافية خير
ما أعطي العبد.
(3) Maksudnya, apabila kalian takut
tidak berlaku adil terhadap wanita-wanita yatim yang ada di
dalam pengasuhan dan perwalian kalian, dan kalian takut tidak
mampu menunaikan hak-hak mereka yang disebabkan kalian tidak
mencintai mereka, maka carilah wanita-wanita selain mereka, lalu
nikahilah, ﴾ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
﴿ "wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi," maksudnya, wanita-wanita yang kalian pilih yang
memiliki agama, harta, kecantikan, dan keturunan yang baik dan
lain sebagainya di antara sifat-sifat yang mendorong untuk
menikahi mereka. Pilihlah mereka menurut pendapat kalian, dan
sebaik-baik sifat yang menjadi patokan dalam memilih adalah
agama, sebagaimana Nabi ﷺ bersabda,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ:
لِمَالِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِدِيْنِهَا،
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَمِيْنُكَ. "Wanita
dinikahi karena empat hal; karena hartanya, kecantikannya,
keturunannya, dan agamanya, dan pilihlah yang memiliki agama,
niscaya beruntunglah kamu."[1] Ayat
ini menunjukkan bahwa seyogyanya seseorang itu me-milih wanita
sebelum menikahinya, bahkan syariat telah membo-lehkan baginya
untuk memandang wanita yang hendak dinikahi-nya itu agar ia
benar-benar mengetahui segala hal secara pasti tentang wanita
tersebut. Kemudian Allah menyebutkan jumlah wanita yang boleh
dinikahinya seraya berfirman, ﴾
مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ
﴿ "dua, tiga atau empat," maksudnya, barangsiapa yang hendak
menikahi dua wanita, maka boleh ia lakukan, atau tiga, maka
boleh ia lakukan, atau empat, maka boleh ia lakukan; dan
tidaklah boleh baginya melebihi dari jumlah tersebut, karena
ayat ini disebutkan dalam rangka menje-laskan jumlah yang
paling banyak (yang dibolehkan), maka
tidaklah boleh melebihi apa yang telah Allah sebutkan
berdasarkan ijma'. Yang demikian itu karena seorang laki-laki
terkadang tidak mampu menahan syahwatnya hanya dengan seorang
istri, karena itu dibolehkan baginya seorang istri lagi
setelah seorang istri
(per-tama) hingga mencapai empat orang
istri. Karena dengan jumlah empat wanita itu telah mencukupi
bagi kaum laki-laki kecuali bagi segelintir laki-laki.
Walaupun demikian, hal tersebut dibolehkan baginya apabila ia
merasa mampu untuk tidak berlaku zhalim dan aniaya dan yakin
dapat memenuhi hak-hak mereka semua, namun apabila ia takut
dari hal-hal tersebut, maka sebaiknya ia mencukupi hanya
dengan seorang istri saja atau dengan hanya budak wanita-nya,
karena ia tidak wajib untuk membagi malam bagi budak wanitanya
tersebut. ﴾
ذَٰلِكَ
﴿ "Yang demikian itu," yaitu, mencukupkan hanya dengan
seorang istri atau dengan budak wanita, ﴾
أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ﴿ "adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya," yaitu, berbuat zhalim. Ini menunjukkan bahwa
seorang hamba yang menghadap-kan dirinya kepada suatu perkara
yang ditakuti bahwa ia akan melakukan kezhaliman, aniaya, dan
tidak menunaikan kewajiban, walaupun perkara itu adalah suatu
yang mubah, maka seyogyanya ia tidak melakukan hal itu. Akan
tetapi ia harus konsisten terhadap hal yang baik dan selamat,
karena sesungguhnya sebaik-baik per-kara yang diberikan kepada
seorang hamba itu adalah selamat.
#
{4} ولما كان كثير من الناس يظلمون
النساء ويهضمونهنَّ حقوقَهنَّ، خصوصاً الصداق الذي يكون شيئاً
كثيراً ودفعةً واحدةً يشقُّ دفعُه للزوجةِ؛ أمرهم وحثَّهم على
إيتاء النساء {صَدُقاتهنَّ}،
أي:
مهورهنَّ {نِحْلَةً}؛
أي:
عن طيب نفس وحال طمأنينة؛ فلا تمطلوهنَّ أو تبخسوا منه شيئاً؛
وفيه أن المهر يُدْفَع إلى المرأة إذا كانت مكلفةً، وأنها تملكه
بالعقد؛ لأنه أضافه إليها، والإضافة تقتضي التمليك؛
{فإن طبن لكم عن شيء منه}؛
أي:
من الصداق {نفساً}؛ بأن سَمَحْنَ
لكم عن رضا واختيار بإسقاط شيء منه أو تأخيره أو المعاوضة عنه؛
{فكلوه هنيئاً مريئاً}؛
أي:
لا حرج عليكم في ذلك ولا تَبِعَة. وفيه دليل على أن للمرأة
التصرف في مالها ولو بالتبرع إذا كانت رشيدةً؛ فإن لم تكن كذلك؛
فليس لعطيَّتِها حكم، وأنه ليس لوليها من الصداق شيء غير ما طابت
به. وفي قوله:
{فانكحوا ما طاب لكم من النساء}:
دليلٌ على أن نكاح الخبيثة غير مأمور به، بل منهيٌّ عنه كالمشركة
وكالفاجرة؛ كما قال تعالى:
{ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمنَّ}، وقال:
{الزانية لا ينكحها إلا زانٍ أو مشركٌ}.
(4) Dan karena banyak orang-orang
(laki-laki) menzhalimi para wanita dan
menindas hak-hak mereka, khususnya mahar yang berjumlah banyak
yang diberikan dalam satu pemberian saja hingga memberatkan
suami untuk menyerahkannya kepada istri, maka Allah
memerintahkan dan menganjurkan kepada para suami untuk
memberikan kepada istri-istri, ﴾ صَدُقَٰتِهِنَّ
﴿ "maskawin kepada wanita
(yang kamu nikahi)," yaitu,
mahar-mahar mereka, ﴾
نِحۡلَةٗۚ
﴿ "se-bagai pemberian dengan penuh kerelaan," maksudnya, dari
kelapangan dada dan ketenangan jiwa. Janganlah kalian
menzhalimi mereka dan berlaku curang sedikit pun pada mahar
tersebut. Ayat ini menunjukkan bahwa mahar itu diberikan
kepada istri apabila ia telah menjadi wanita yang mukallaf dan
bahwa mahar tersebut telah menjadi hak miliknya dengan adanya
akad nikah, karena suami telah memberikannya kepada istrinya,
dan pemberian itu menunjukkan kepemilikan. ﴾
فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَيۡءٖ مِّنۡهُ
﴿ "Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu," yaitu, dari mahar tersebut, ﴾
نَفۡسٗا
﴿ "dengan senang hati," maksudnya dengan membiarkan untuk
kalian atas dasar kerelaan dan pilihan sendiri untuk
menggugurkan sedikit darinya atau menunda membayar atau
menggantinya, ﴾
فَكُلُوهُ هَنِيٓـٔٗا مَّرِيٓـٔٗا
﴿ "maka makanlah (ambillah) pemberian
itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya." Artinya tidak ada dosa atas kalian dalam hal
itu dan tidak pula tanggung jawab. Ayat ini adalah dalil yang
menunjukkan bahwa seorang istri boleh membelanjakan hartanya
sendiri hingga untuk sumbangan sekalipun, apabila ia telah
dewasa. Namun bila ia belum dewasa, maka pemberiannya itu
tidaklah memiliki hukum apa-apa, dan wali wanita tersebut juga
tidak memiliki hak apa-apa dari mahar tersebut kecuali apa
yang diberikan secara sukarela oleh wanita tersebut. Dan ayat,
﴾
فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
﴿ "Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi" adalah dalil
yang menunjukkan bahwa menikahi wanita-wanita yang buruk,
tidaklah dianjurkan bahkan dilarang, seperti wanita musyrik,
atau wanita pezina; sebagaimana Firman Allah تعالى, ﴾
وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ
﴿ "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman."
(Al-Baqarah: 221). Dan FirmanNya, ﴾
وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٞۚ ﴿
"Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik."
(An-Nur: 3).
Dan Firman Allah سبحانه وتعالى,
{وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ
اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ
وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
(5)}
.
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja
dan pakaian
(dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik."
(An-Nisa`: 5).
#
{5} السفهاء: جمع سفيه،
وهو من لا يحسن التصرف في المال:
إما لعدم عقله كالمجنون والمعتوه ونحوهما، وإما لعدم رشده؛
كالصغير وغير الرشيد، فنهى الله الأولياء أن يؤتوا هؤلاء
أموالَهم خشيةَ إفسادها وإتلافها؛ لأنَّ الله جعل الأموال قياماً
لعباده في مصالح دينهم ودنياهم، وهؤلاء لا يُحْسِنُون القيام
عليها وحفظَها، فأمر الله الولي أن لا يؤتيهم إياها، بل يرزقهم
منها ويكسوهم ويبذل منها ما يتعلَّق بضروراتهم وحاجاتهم
الدينيَّة والدنيويَّة، وأن يقولوا لهم قولاً معروفاً؛ بأن
يعدوهم إذا طلبوها أنهم سيدفعونها لهم بعد رُشْدِهم ونحوِ ذلك،
ويلطفوا لهم في الأقوال جبراً لخواطرهم. وفي إضافته تعالى
الأموال إلى الأولياء إشارة إلى أنه يجب عليهم أن يعملوا في
أموال السفهاء ما يفعلونه في أموالهم من الحفظ والتصرف وعدم
التعريض للأخطار. وفي الآية دليل على أن نفقة المجنون والصغير
والسفيه في مالهم إذا كان لهم مال،
لقوله:
{وارزقوهم فيها واكسوهم}. وفيه
دليلٌ على أنَّ قول الوليِّ مقبول فيما يدعيه من النفقة الممكنة
والكسوة؛ لأن الله جعله مؤتَمَناً على مالهم، فلزم قبول قول
الأمين.
(5) السُّفَهَاءُ adalah kata jamak dari
سَفِيْهٌ
(orang yang tidak sem-purna akalnya)
yang artinya adalah orang yang tidak becus dalam membelanjakan
hartanya; baik karena tidak ada akalnya seperti orang gila atau
idiot atau semacamnya, atau karena belum sempurna akalnya
seperti anak kecil dan orang yang belum dewasa. Allah melarang
para wali untuk menyerahkan kepada mereka harta-harta mereka
karena takut disia-siakan dan dihabiskan. Karena Allah
menjadikan harta itu untuk memenuhi kebutuhan hamba-hamba-Nya
dalam kemaslahatan agama maupun dunia mereka. Dan mereka itu
tidaklah pandai dalam mengurus
(dan membelanjakan) harta tersebut dan
memeliharanya, oleh karena itu Allah meme-rintahkan kepada
wali
(nya) agar tidak menyerahkan harta
mereka kepada mereka. Akan tetapi ia harus menafkahi mereka dari
harta itu, memberikan pakaian dengannya, serta membelanjakan
harta itu kepada hal-hal yang berkaitan dengan
kebutuhan-kebutuhan mereka, dunia maupun akhirat mereka, dan
agar para wali berkata kepada mereka dengan perkataan yang baik,
yaitu, dengan berjanji kepada mereka apabila mereka meminta
harta mereka itu bahwa para wali itu akan memberikannya setelah
mereka dewasa nanti, atau semacamnya. Dan agar berlaku lemah
lembut dalam berbicara kepada mereka sebagai suatu keharusan
untuk menghibur perasaan hati mereka. Allah menyandarkan
(permasalahan) harta
(orang yang belum sempurna akalnya)
kepada para wali itu berindikasi bahwa mereka wajib
memperlakukan harta orang yang bodoh tersebut sebagai-mana
mereka melakukannya pada harta mereka sendiri berupa penjagaan,
pembelanjaan, dan tidak menghadapkannya kepada hal-hal yang
memusnahkannya. Ayat ini menunjukkan bahwa memberikan nafkah
kepada orang gila, anak kecil, dan idiot itu adalah dari harta
mereka sendiri, bila mereka memiliki harta, sebagaimana Firman
Allah سبحانه وتعالى,﴾ وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ ﴿
"Berilah mereka belanja dan pakaian
(dari hasil harta itu)." Ayat ini juga
menunjukkan bahwa pernyataan wali dapat diterima tentang apa
yang ia nyatakan mengenai nafkah yang me-mungkinkan atau
pakaian, karena Allah telah menjadikan mereka sebagai
orang-orang yang dapat dipercaya atas harta anak yatim itu, oleh
karena itu pernyataan orang-orang yang terpercaya harus
diterima.
{وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ
فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ
أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ
يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ
كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا
دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ
وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا
(6)}
.
"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas
(pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu
makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan
(janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. Barangsiapa
(di antara pemelihara itu) mampu, maka
hendaklah ia menahan diri
(dari memakan harta anak yatim itu) dan
barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu
menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta
kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka.
Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas
(atas persaksian itu)."
(An-Nisa`: 6).
#
{6} الابتلاء هو: الاختبار
والامتحان، وذلك بأن يُدْفَعَ لليتيم المقارب للرشد الممكن رشده
شيء من ماله، ويتصرف فيه التصرف اللائق بحاله، فيتبين بذلك رشده
من سفهه؛ فإن استمر غير محسن للتصرف؛ لم يدفع إليه ماله، بل هو
باق على سفهه، ولو بلغ عمراً كثيراً؛ فإن تبيَّن رشدُه وصلاحُه
في ماله وبلغ النكاح؛
{فادفعوا إليهم أموالهم} كاملة
موفرة،
{ولا تأكلوها إسرافاً}؛
أي:
مجاوزة للحدِّ الحلال الذي أباحه الله لكم من أموالكم إلى الحرام
الذي حرمه الله عليكم من أموالهم؛
{وبِداراً أن يكبروا}،
أي:
ولا تأكلوها في حال صغرهم التي لا يمكنهم فيها أخذها منكم، ولا
منعكم من أكلها تبادرون بذلك أن يكبروا فيأخذوها منكم ويمنعوكم
منها، وهذا من الأمور الواقعة من كثير من الأولياء الذين ليس
عندهم خوف من الله ولا رحمة ومحبة للمولَّى عليهم، يرون هذه
الحالَ حالَ فرصةٍ، فيغتنمونها ويتعجلون ما حرم الله عليهم، فنهى
الله تعالى عن هذه الحالة بخصوصها.
(6) اَلْإِبْتِلَاءُ
(ujian) adalah cobaan dan latihan. Yang
demikian itu adalah dengan menyerahkan sesuatu dari hartanya
kepada anak yatim yang telah mendekati kedewasaan, lalu ia
membelanjakan uang itu untuk kebutuhannya dengan sepatutnya
menurut kondi-sinya saat itu, hingga jelaslah saat itu antara
kedewasaannya atau-pun ketidakmampuannya membelanjakan menurut
yang sepatut-nya. Bila ia masih belum mampu dalam membelanjakan
harta, maka hartanya tidak diberikan kepadanya, dan ia masih
dinyatakan tetap dalam kondisi tidak mampu membelanjakan
hartanya dengan baik, walaupun ia telah mencapai umur yang cukup
dewasa. Apabila telah terbukti kedewasaan dan kemampuannya dalam
membelan-jakan harta dengan sepatutnya serta telah mencapai
cukup usia untuk menikah, ﴾ فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ
أَمۡوَٰلَهُمۡۖ
﴿ "maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya," secara
sempurna dan seluruhnya. ﴾
وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافٗا
﴿ "Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan," yakni, melampaui batas yang halal yang dibolehkan
oleh Allah untuk kalian dari harta mereka, kepada yang haram
yang telah diharamkan oleh Allah atas kalian dari harta
mereka. ﴾
وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْۚ ﴿ "Dan
(janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanja-kannya) sebelum mereka
dewasa," maksudnya, janganlah kalian makan harta mereka saat
mereka masih kecil, di mana mereka saat itu belum mampu
mengambilnya dari kalian dan mereka juga tidak mampu melarang
kalian memakannya, secara tergesa-gesa sebelum mereka menjadi
dewasa, di mana mereka mengambil harta mereka dari kalian dan
melarang kalian dari memakannya. Yang seperti ini adalah perkara
nyata yang terjadi pada seba-gian besar para wali yang tidak
memiliki rasa takut kepada Allah dan tidak memiliki rasa kasih
sayang terhadap orang-orang yang ia lindungi tersebut. Para wali
itu melihat bahwa hal tersebut adalah suatu kesempatan bagi
mereka hingga mereka memanfaatkannya sebaik mungkin, dan dengan
tergesa-gesa mereka mengambil apa yang diharamkan oleh Allah
atas mereka. Itulah sebabnya Allah سبحانه وتعالى melarang dari
perbuatan seperti itu secara khusus.
{لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ
الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ
كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
(7)}
.
"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang
telah ditetapkan."
(An-Nisa`: 7).
#
{7} كان العرب في الجاهلية من
جبريَّتِهم وقسوتهم لا يورِّثون الضعفاء كالنساء والصبيان،
ويجعلون الميراث للرجال الأقوياء؛ لأنهم بزعمهم أهل الحرب
والقتال والنهب والسلب، فأراد الرب الرحيم الحكيم أن يشرع لعباده
شرعاً يستوي فيه رجالهم ونساؤهم وأقوياؤهم وضعفاؤهم، وقدم بين
يدي ذلك أمراً مجملاً لتتوطَّن على ذلك النفوس فيأتي التفصيل بعد
الإجمال قد تشوقت له النفوس وزالت الوحشة التي منشؤها العادات
القبيحة، فقال:
{للرجال نصيب}؛
أي:
قسط وحصة، {مما ترك}؛
أي:
خلَّفَ، {الوالدان}؛
أي:
الأب والأم، {والأقربون}؛ عموماً
بعد خصوص،
{وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والأقربون}، فكأنه قيلَ: هل ذلك النصيب راجعٌ إلى
العُرف والعادة وأن يرضخوا لهم ما يشاؤون أو شيئاً
مقدَّراً؟ فقال تعالى:
{نصيباً مفروضاً}؛
أي:
قد قدَّره العليم الحكيم. وسيأتي إن شاء الله تقدير ذلك.
وأيضاً؛ فهنا توهُّم آخر: لعل أحداً
يتوهَّم أن النساء والولدان ليس لهم نصيب إلا من المال
الكثير، فأزال ذلك بقوله:
{مما قلَّ منه أو كَثُر}؛ فتبارك
الله أحسن الحاكمين.
(7) Dahulu orang-orang Arab pada zaman
jahiliyah disebab-kan karena kesewenang-wenangan dan kekejaman
mereka, mereka tidak mewariskan harta mereka kepada orang-orang
yang lemah, dari kaum wanita dan anak-anak, namun mereka
menetapkan warisan hanya untuk kaum laki-laki yang kuat. Hal
tersebut me-nurut mereka adalah karena laki-laki yang kuat itu
adalah pelaku peperangan, pembunuhan, perampasan, dan
pengambilan. Maka Allah, Rabb Yang Maha Penyayang lagi
Mahabijaksana berkehen-dak membuat suatu syariat di mana dalam
syariat itu kaum laki-laki maupun kaum wanitanya adalah sama dan
kaum yang lemah sama dengan kaum yang kuat. Dan Allah memulai
dengan pen-dahuluan dalam masalah itu secara global, agar
jiwa-jiwa manusia mampu menerimanya kemudian akhirnya
perinciannya hadir setelah disebutkan secara global, yang telah
dirindukan kedatangan-nya oleh jiwa-jiwa tersebut, hingga
lenyaplah kondisi yang liar ter-sebut, yang bersumber dari adat
istiadat yang buruk. Lalu Allah berfirman, ﴾ لِّلرِّجَالِ
نَصِيبٞ
﴿ "Bagi laki-laki ada hak bagian," yaitu, kadar dan jumlah,
﴾
مِّمَّا تَرَكَ
﴿ "dari harta peninggalan," yaitu, apa yang ditinggalkan,
﴾
ٱلۡوَٰلِدَانِ
﴿ "kedua orangtua," yaitu, ibu dan ayah, ﴾
وَٱلۡأَقۡرَبُونَ
﴿ "dan kerabatnya," ini adalah bentuk redaksi penyebutan umum
setelah khusus. ﴾
وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ
وَٱلۡأَقۡرَبُونَ
﴿ "Dan bagi wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya." Seolah-olah dikatakan, apakah hal
tersebut menurut adat istiadat, dan mereka tunduk pada apa
yang mereka kehendaki ataukah itu adalah per-kara yang telah
ditentukan? Lalu Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا
﴿ "Menurut bagian yang telah ditetapkan," yaitu, yang telah
ditentukan oleh Yang Maha Me-ngetahui lagi Mahabijaksana.
Ketentuan-ketentuan tersebut akan hadir insya Allah. Dan dalam
hal ini ada dugaan yang lain, yaitu, bahwa ke-mungkinan saja
ada seseorang yang mengira bahwa wanita dan anak-anak tidak
memiliki bagian kecuali bila harta yang ditinggal-kan itu
berjumlah besar. Maka Allah menghapus dugaan tersebut dengan
FirmanNya, ﴾
مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ ﴿ "baik sedikit atau banyak."
Maka Mahaluhur Allah, Dia-lah sebaik-baik Pembuat ketentuan.
{وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ
قَوْلًا مَعْرُوفًا (8)}
.
"Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim,
dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(se-kedarnya) dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang baik."
(An-Nisa`: 8).
#
{8} وهذا من أحكام الله الحسنة
الجليلة الجابرة للقلوب، فقال:
{وإذا حضر القسمة}؛
أي:
قسمة المواريث،
{أولو القربى}؛
أي:
الأقارب غير الوارثين بقرينة قوله:
{القسمة}؛ لأن الوارثين من المقسوم
عليهم، {واليتامى والمساكين}؛
أي:
المستحقون من الفقراء؛
{فارزقوهم منه}؛
أي:
أعطوهم ما تيسَّر من هذا المال الذي جاءكم بغير كدٍّ ولا تعب ولا
عَناءٍ ولا نَصَبٍ؛ فإنَّ نفوسَهم متشوفةٌ إليه وقلوبَهم
متطلعةٌ؛ فاجبُروا خواطرهم بما لا يضركم وهو نافعهم. ويؤخذ من
المعنى أنَّ كل مَنْ له تطلُّع وتشوُّف إلى ما حضر بين يدي
الإنسان ينبغي له أن يعطِيَهُ منه ما تيسَّر؛ كما كان النبي -
صلى الله عليه وسلم - يقول:
«إذا جاء أحدكم خادمه بطعامه؛ فليُجْلِسْه معه؛ فإن لم
يُجْلِسْه معه؛ فليناوله لقمة أو لقمتين»
، أو كما قال. وكان الصحابة رضي الله عنهم إذا بدأت باكورة
أشجارهم؛ أتوا بها رسول الله - صلى الله عليه وسلم -، فَبَرَّكَ
عليها، ونظر إلى أصغر وليد عنده، فأعطاه ذلك؛ علماً منه بشدة
تشوفه لذلك، وهذا كله مع إمكان الإعطاء؛ فإن لم يمكن ذلك لكونه
حقَّ سفهاء أو ثَمَّ أهمُّ من ذلك؛ فليقولوا لهم
{قولاً معروفاً}؛ يردُّونهم ردًّا
جميلا بقول حسن غير فاحش ولا قبيح.
(8) Ini adalah di antara
ketentuan-ketentuan Allah yang baik lagi luhur dan menghibur
hati, di mana Dia berfirman,﴾ وَإِذَا حَضَرَ ٱلۡقِسۡمَةَ
﴿ "Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir," yaitu, pembagian
harta warisan ﴾
أُوْلُواْ ٱلۡقُرۡبَىٰ
﴿ "kerabat," yaitu, sanak famili yang tidak termasuk ahli
waris, dengan landasan Firman Allah, ﴾
ٱلۡقِسۡمَةَ
﴿ "se-waktu pembagian"; karena para ahli waris adalah
orang-orang yang mendapat bagian, ﴾
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينُ
﴿ "anak yatim dan orang miskin," yaitu, orang-orang yang
berhak (menerima sedekah) dari
orang-orang fakir, ﴾
فَٱرۡزُقُوهُم مِّنۡهُ
﴿ "maka berilah mereka dari harta itu
(sekedar-nya)," maksudnya, berikanlah
mereka ala kadarnya dari harta ter-sebut yang kalian dapatkan
tanpa usaha, tanpa lelah, tanpa susah, dan tanpa perjuangan,
karena sesungguhnya jiwa mereka menatap kepadanya dan hati
mereka memandangnya. Karena itu, hiburlah hati mereka dengan
sesuatu yang tidak memudharatkan kalian dan bermanfaat bagi
mereka. Dengan demikian dapat diambil suatu hal dari makna
tersebut, bahwa setiap orang yang memandang dan menyaksikan
apa yang ada di tangan manusia, seyogyanya diberi-kan
kepadanya sekedarnya dari hal tersebut, sebagaimana Nabi ﷺ
bersabda, إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ،
فَلْيُجْلِسْهُ مَعَهُ، فَإِنْ لَمْ يُجْلِسْهُ فَلْيُنَاوِلْهُ
لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ. "Apabila datang kepada salah
seorang di antara kalian pembantu-nya membawa makanannya, maka
persilahkanlah ia turut duduk bersa-manya, namun bila ia tidak
mempersilahkannya ikut duduk bersamanya, maka berikanlah
kepadanya satu atau dua suap,"[2] atau
seperti yang beliau ﷺ sabdakan. "Dan dahulu para sahabat رضي
الله عنهم apabila telah tampak pohon mereka mulai berbuah,
mereka menghadirkannya kepada Rasulullah ﷺ lalu beliau
mendoakan agar mendapat berkah lalu beliau melihat kepada
anak-anak yang paling kecil di hadapannya dan memberikan buah
tersebut kepada-nya."[3],
[4] Hal itu karena beliau sangat
mengetahui kalau anak kecil itu sangat menginginkan buah
tersebut. Kondisi ini adalah bila keada-annya memungkinkan
untuk diberikan, namun bila hal tersebut tidak mungkin
diberikan, karena merupakan hak dari orang-orang yang tidak
mampu membelanjakan hartanya dengan baik atau suatu hal yang
lebih penting dari itu, maka harus dikatakan kepada mereka
﴾
قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ﴿ "perkataan yang baik," menolak mereka
dengan penolakan yang baik, perkataan yang lembut tanpa kata
yang keji dan kotor.
{وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ
ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
(9) إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
(10)}
.
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sean-dainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api
yang menyala-nyala
(neraka)."
(An-Nisa`: 9-10).
#
{9} قيل: إن هذا خطاب لمن يحضُرُ
من حَضَرَهُ الموت، وأجنف في وصيته أن يأمره بالعدل في وصيته
والمساواة فيها؛ بدليل قوله:
{وليقولوا قولاً سديداً}؛
أي:
سداداً موافقاً للقسط والمعروف، وأنهم يأمرون من يريد الوصية على
أولاده بما يحبُّون معاملةَ أولادهم بعدهم.
وقيل:
إن المراد بذلك أولياء السفهاء من المجانين والصغار والضعاف أن
يعاملوهم في مصالحهم الدينية والدنيوية بما يحبون أن يعامل به
مَنْ بعدهم مِنْ ذُرِّيَّتهم الضعاف؛
{فليتقوا الله}: في ولايتهم
لغيرهم؛ أي: يعاملونهم بما فيه تقوى
الله من عدم إهانتهم والقيام عليهم وإلزامهم لتقوى الله.
(9) Sebuah pendapat berkata, dialog ini
ditujukan kepada orang yang menjenguk seseorang yang sedang
sekarat dan ia ber-laku berat sebelah dalam wasiatnya agar orang
yang menjenguk itu memerintahkan kepadanya untuk adil dalam
wasiatnya ter-sebut dan berlaku sama rata. Dengan dalil Firman
Allah سبحانه وتعالى, ﴾ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا
﴿ "Dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar,"
yaitu, yang lurus dan sesuai dengan keadilan dan kebaikan, dan
bahwasanya mereka memerintahkan orang yang hendak memberi-kan
wasiat terhadap anak-anaknya dengan perkara seperti yang
mereka sukai dalam bermuamalah terhadap anak-anak mereka
setelah kematian mereka sendiri. Pendapat lain berkata, yang
dimaksudkan dalam ayat itu adalah para wali orang-orang yang
tidak mampu membelanjakan harta dengan baik dari orang gila,
anak kecil, dan orang-orang lemah; agar para wali itu
bermuamalah terhadap mereka dalam hal-hal yang bermanfaat bagi
mereka, baik agama maupun dunia mereka sebagaimana mereka
menginginkan mereka bermuamalah terhadap orang-orang yang
lemah yang datang setelah mereka dari keturunan mereka.
﴾
فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ ﴿ "Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah," dalam status mereka sebagai wali bagi
orang lain, artinya yang memperlakukan mereka dalam suasana
takwa kepada Allah tanpa menghina mereka, mengurus mereka dengan
baik, dan mengharuskan mereka agar bertakwa kepada Allah.
#
{10} ولما أمرهم بذلك زجرهم عن أكل
أموال اليتامى وتوعَّد على ذلك أشد العذاب،
فقال:
{إنَّ الذين يأكلون أموال اليتامى ظلماً}؛ أي: بغير حق، وهذا القيد يخرُجُ به
ما تقدَّم من جواز الأكل للفقير بالمعروف، ومن جواز خلط طعامهم
بطعام اليتامى؛ فمن أكلها ظُلماً؛ فإنما
{يأكلون في بطونهم ناراً}؛
أي:
فإن الذي أكلوه نار تتأجَّج في أجوافهم، وهم الذين أدخلوه في
بطونهم، {وسيصلون سعيراً}؛
أي:
ناراً محرقة متوقدة. وهذا أعظم وعيد ورد في الذنوب يدل على شناعة
أكل أموال اليتامى وقُبحها وأنها موجبة لدخول النار، فدلَّ ذلك
أنها من أكبر الكبائر، نسأل الله العافية.
(10) Dan ketika Allah memerintahkan para
wali kepada hal tersebut, Allah mengingatkan mereka agar tidak
memakan harta anak yatim, dan mengancam orang yang memakannya
dengan se-keras-keras siksaan, seraya berfirman, ﴾ إِنَّ
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا
﴿ "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zhalim" maksudnya, tanpa hak. Ketentuan ini
(yaitu memakan harta anak yatim dengan zhalim), tidak termasuk di dalamnya apa yang telah lewat sebelumnya,
yaitu bolehnya seorang yang fakir untuk memakannya secara
ma'ruf, dan bolehnya makanan pribadinya bercampur dengan
makanan anak yatim. Barangsiapa yang me-makannya dengan
zhalim, sesungguhnya ﴾
يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ
﴿ "mereka itu menelan api sepenuh perutnya," yaitu
sesungguhnya apa yang mereka makan itu adalah api yang
menyala-nyala dalam perut mereka, dan mereka sendirilah yang
memasukkan api itu dalam perut-perut mereka. ﴾
وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا ﴿ "Dan mereka akan masuk ke dalam api
yang menyala-nyala
(neraka)," yaitu, api
yang membakar dan menyala-nyala. Ini merupakan ancaman yang
paling besar yang ditetapkan terhadap suatu dosa, yang
menunjukkan akan keji dan jeleknya memakan harta anak yatim dan
bahwa perbuatan itu mengakibat-kan pelakunya masuk ke dalam api
neraka. Dan itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut termasuk
dalam dosa-dosa yang besar. Kita memohon keselamatan kepada
Allah.
{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ
اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ
وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ
فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ
السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيمًا حَكِيمًا (11) وَلَكُمْ
نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ
وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ
لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ
مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ
دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ
وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ
شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا
أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَلِيمٌ (12)}
.
"Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu.
Yaitu: Bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika
anak itu se-muanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk
dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya
(saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang me-ninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah di-penuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana. Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang diting-galkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. Para
istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seper-delapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempu-nyai
seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara
perempuan
(seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan
tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui
lagi
Maha Penyantun."
(An-Nisa`: 11-12). Ayat-ayat ini dan ayat pada akhir surat ini adalah ayat-ayat
tentang warisan yang mengandung penjelasannya, ditambah hadits
Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما yang termaktub dalam Shahih
al-Bukhari, أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ
فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ. "Serahkan warisan yang telah
ditetapkan itu kepada orangnya yang berhak, dan bila tersisa,
maka untuk para kerabat laki-laki."[5]
Semua dalil di atas mengandung sebagian besar hukum-hukum
warisan, bahkan seluruhnya sebagaimana yang akan Anda lihat
nantinya, kecuali warisan untuk nenek,
(ibunya ibu atau ibu-nya bapak), karena
tidak tersebutkan dalam dalil-dalil di atas. Akan tetapi
terdapat riwayat shahih dalam as-Sunan[6]
dari al-Mughirah bin Syu'bah dan Muhammad bin Maslamah
bahwasanya Nabi ﷺ memberikan kepada nenek seperenam ditambah
dengan adanya ijma' para ulama atas hal tersebut.
#
{11} فقوله تعالى:
{يوصيكم الله في أولادكم}؛
أي:
أولادكم يا معشر الوالدين عندكم ودائع قد وصاكم الله عليهم
لتقوموا بمصالحهم الدينيَّة والدنيويَّة، فتعلِّمونهم
وتؤدِّبونهم وتكفُّونهم عن المفاسد وتأمرونَهم بطاعة الله
وملازمة التقوى على الدوام؛
كما قال تعالى:
{يا أيُّها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم ناراً وَقودها
الناس والحجارةُ}؛ فالأولاد عند والِديهم موصىً بهم؛ فإمَّا أن يقوموا بتلك
الوصية؛ فلهم جزيل الثواب، وإمَّا أن يضيِّعوها؛ فيستحقوا بذلك
الوعيد والعقاب. وهذا مما يدلُّ على أن الله تعالى أرحم بعباده
من الوالِدينِ، حيث أوصى الوالِدينِ مع كمال شفقتهم عليهم. ثم
ذكر كيفية إرثهم، فقال:
{للذكر مثل حظ الأنثيين}؛
أي:
الأولاد للصلب والأولاد للابن، للذكر مثل حظِّ الأنثيين إن لم
يكن معهم صاحبُ فرض، أو ما أبقت الفروض يقتسمونه كذلك، وقد أجمع
العلماء على ذلك، وأنه مع وجود أولاد الصلب؛ فالميراث لهم، وليس
لأولاد الابن شيء؛ حيث كان أولاد الصلب ذكوراً وإناثاً. هذا مع
اجتماع الذكور والإناث. وهنا حالتان:
انفراد الذكور. وسيأتي حكمها، وانفراد الإناث.
وقد ذكره بقوله:
{فإن كنَّ نساءً فوق اثنتين}؛
أي:
بنات صلب أو بنات ابن ثلاثاً فأكثر؛
{فلهن ثلثا ما ترك وإن كانت واحدة}؛ أي: بنتاً أو بنت ابن؛
{فلها النصف}. وهذا إجماع.
بقي أن يُقال:
من أين يُستفاد أنَّ للابنتين الثِّنْتَيْنِ الثلثين بعد الإجماع
على ذلك؟ فالجواب: أنه يستفاد من قوله:
{إن كانت واحدةً فلها النصف}؛
فمفهوم ذلك أنه إن زادت على الواحدة؛ انتقل الفرض عن النصف، ولا
ثَمَّ بعده إلا الثلثان. وأيضاً؛ فقوله:
{للذكر مثل حظ الأنثيين}: إذا
خلَّفَ ابناً وبنتاً؛ فإن الابن له الثلثان، وقد أخبر الله أنه
مثل حظ الأنثيين، فدلَّ ذلك على أن للبنتين الثلثين. وأيضاً؛ فإن
البنت إذا أخذت الثلث مع أخيها وهو أزيد ضرراً عليها من أختها،
فأخْذُها له مع أختها من باب أولى وأحرى. وأيضاً؛
فإن قوله تعالى في الأختين:
{فإن كانتا اثنتينِ فلهما الثلثانِ مما ترك}: نصٌّ في الأختين الثنتين؛ فإذا كان الأختان الثنتان مع بعدهما
يأخذان الثلثين؛ فالابنتان مع قربهما من باب أولى وأحرى. وقد
أعطى النبيُّ - صلى الله عليه وسلم - ابنتي سعد الثلثين؛ كما في
«الصحيح».
بقي أن يُقال:
فما الفائدة في قوله:
{فوق اثنتين}؟
قيل:
الفائدة في ذلك والله أعلم: أنه لِيُعْلَمَ أن الفرض الذي هو
الثلثان لا يزيد بزيادتهن على الثنتين، بل من الثنتين فصاعداً.
ودلت الآية الكريمة أنه إذا وُجِدَ بنتُ صلبٍ واحدة وبنتُ ابن أو
بناتُ ابن؛ فإن لبنت الصلب النصف، ويبقى من الثلثين اللذين
فرضهما الله للبنات أو بنات الابن السدس، فيعطى بنت الابن أو
بنات الابن، ولهذا يسمى هذا السدس تكملةَ الثلثين. ومثل ذلك بنت
الابن مع بنات الابن اللاتي أَنْزَلُ منها.
وتدلُّ الآية أنه متى استغرقَ البناتُ أو بناتُ الابن
الثلثين:
أنه يسقُطُ من دونهنَّ من بنات الابن؛ لأن الله لم يفرض لهن إلا
الثلثين، وقد تم؛ فلو لم يسقطن؛ لزم من ذلك أن يفرضَ لهنَّ أزيدُ
من الثلثين، وهو خلاف النص. وكل هذه الأحكام مجمع عليها بين
العلماء، ولله الحمد. ودل قوله:
{مما ترك}: أن الوارثين يرثون كل
ما خلف الميت من عقار وأثاث وذهب وفضة وغير ذلك، حتى الدية التي
لم تجب إلا بعد موته، وحتى الديون التي في الذمة. ثم ذكر ميراث
الأبوين، فقال:
{ولأبويه}؛
أي:
أبوه وأمه،
{لكل واحد منهما السدس مما ترك إن كان له ولد}؛ أي: ولد صلب أو ولد ابن ذكراً كان أو
أنثى واحداً أو متعدداً: فأما الأم؛ فلا تزيد على السدس مع أحد
من الأولاد، وأما الأب؛ فمع الذكور منهم لا يستحق أزيد من السدس؛
فإن كان الولد أنثى أو إناثاً، ولم يبق بعد الفرض شيء؛ كأبوين
وابنتين؛ لم يبق له تعصيب، وإن بقي بعد فرض البنت أو البنات شيء؛
أخذ الأب السدس فرضاً والباقي تعصيباً؛ لأننا ألحقنا الفروض
بأهلها؛ فما بقي؛ فلأولى رجل ذكر، وهو أولى من الأخ والعم
وغيرهما.
{فإن لم يكن له ولدٌ وورثه أبواه فلأمه الثلث}؛ أي: والباقي للأب؛ لأنه أضاف المال
إلى الأب والأم إضافة واحدة، ثم قدر نصيب الأم، فدل ذلك على أن
الباقي للأب، وعُلم من ذلك أن الأب مع عدم الأولاد لا فرضَ له،
بل يرث تعصيباً المالَ كلَّه، أو ما أبقت الفروض. لكن لو وُجِدَ
مع الأبوين أحدُ الزوجين ـ ويعبَّر عنهما بالعمريَّتين ـ؛ فإن
الزوج أو الزوجة يأخذ فرضه، ثم تأخذ الأم ثلث الباقي والأب
الباقي، وقد دل على ذلك قوله:
{وورثه أبواه فلأمه الثلث}؛
أي:
ثلث ما ورثه الأبوان،
وهو في هاتين الصورتين:
إما سدس في زوج وأم وأب، وإما ربع في زوجة وأم وأب،
فلم تدل الآية على إرث الأم ثلث المال كاملاً مع عدم الأولاد
حتى يقالَ:
إنَّ هاتين الصورتين قد اسْتُثنِيتا من هذا. ويوضح ذلك أن الذي
يأخذه الزوج أو الزوجة بمنزلة ما يأخذه الغرماء، فيكون من رأس
المال، والباقي بين الأبوين. ولأنَّا لو أعطينا الأم ثلث المال؛
لزم زيادتها على الأب في مسألة الزوج أو أخذ الأب في مسألة
الزوجة زيادة عنها نصف السدس، وهذا لا نظير له؛ فإن المعهود
مساواتها للأب أو أخذه ضعف ما تأخذه الأم.
{فإن كان له إخوة فلأمه السدس}:
أشقاء أو لأب أو لأم ذكوراً كانوا أو إناثاً وارثين أو محجوبين
بالأب أو الجد. لكن قد يُقال: ليس ظاهر
قوله: {فإن كان له إخوة}: شاملاً
لغير الوارثين، بدليل عدم تناولها للمحجوب بالنصف؛ فعلى هذا لا
يحجبها عن الثلث من الإخوة إلا الإخوة الوارثون. ويؤيده أن
الحكمة في حجبهم لها عن الثلث لأجل أن يتوفَّر لهم شيء من المال،
وهو معدوم. والله أعلم. ولكن بشرط كونهم اثنين فأكثر. ويشكل على
ذلك إتيان لفظ الإخوة بلفظ الجمع. وأجيب عن ذلك بأن المقصود مجرد
التعدد لا الجمع، ويصدق ذلك باثنين، وقد يطلق الجمع ويراد به
الاثنان؛
كما في قوله تعالى عن داود وسليمان:
{وكُنَّا لِحُكْمِهم شاهدين}.
وقال في الإخوة للأم:
{وإن كان رجل يورَث كَلالةً أو امرأةٌ وله أخ أو أختٌ فلكل
واحد منهما السدس فإن كانوا أكثر من ذلك فهم شركاء في
الثلث}: فأطلق لفظ الجمع، والمراد به اثنان فأكثر بالإجماع. فعلى هذا؛
لو خلَّف أمًّا وأباً وإخوةً؛ كان للأم السدس والباقي للأب،
فحجبوها عن الثلث مع حجب الأب إياهم؛ إلا على الاحتمال الآخر؛
فإن للأم الثلث والباقي للأب.
ثم قال تعالى:
{من بعد وصية يوصى بها أو دين}؛ أي: هذه الفروض والأنصباء والمواريث،
إنما ترد وتستحق بعد نزع الديون التي على الميت لله أو للآدميين،
وبعد الوصايا التي قد أوصى الميت بها بعد موته؛ فالباقي عن ذلك
هو التركة الذي يستحقه الورثة. وقدم الوصية مع أنها مؤخرة عن
الدين للاهتمام بشأنها لكون إخراجها شاقًّا على الورثة، وإلاَّ؛
فالديون مقدَّمة عليها، وتكون من رأس المال، وأما الوصية؛ فإنها
تصح من الثلث فأقل للأجنبي الذي هو غير وارث، وأما غير ذلك؛ فلا
ينفذ إلا بإجازة الورثة. قال تعالى:
{آباؤكم وأبناؤكم لا تدرون أيهم أقرب لكم نفعاً}؛ فلو رُدَّ تقدير الإرث إلى عقولكم واختياركم؛ لحصل من الضرر
ما الله به عليم؛ لِنَقْصِ العقولِ وعدم معرفتها بما هو اللائق
الأحسن في كل زمان ومكان، فلا يدرون أي الأولاد أو الوالدين أنفع
لهم وأقرب لحصول مقاصدهم الدينية والدنيوية.
{فريضة من الله إنَّ الله كان عليماً حكيماً}؛ أي: فرضها الله الذي قد أحاط بكل شيء
علماً وأحكم ما شرعه وقدَّر ما قدَّره على أحسن تقدير، لا تستطيع
العقول أن تقترح مثل أحكامه الصالحة الموافقة لكل زمان ومكان
وحال.
(11) Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ
﴿ "Allah mensya-riatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu."
Mak-sudnya, anak-anak kalian wahai para kedua orang tua, di
mana mereka itu adalah amanah bagi kalian dan sesungguhnya
Allah telah mewasiatkan mereka kepada kalian agar kalian
mengurus kemaslahatan mereka, baik agama maupun dunia mereka,
maka kalian harus mengajar mereka, mendidik mereka, dan
menghalangi mereka dari kerusakan, memerintahkan mereka untuk
taat kepada Allah dan konsisten dalam ketakwaan secara terus
menerus, seba-gaimana Allah berfirman, ﴾
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ
وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ
﴿ "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluarga-mu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu."
(At-Tahrim: 6). Sebenarnya anak-anak telah diwasiatkan kepada orang tua
mereka, bila para orang tua menunaikan wasiat tersebut, maka
mereka mendapat balasan yang berlimpah, dan bila mereka
mela-laikannya, maka mereka berhak menerima ancaman dan
siksaan. Ini di antara yang menunjukkan bahwa Allah سبحانه
وتعالى adalah lebih Pe-nyayang terhadap hamba-hambaNya
daripada kedua orang tua, di mana Allah telah mewasiatkan
kepada kedua orang tua padahal mereka telah memiliki kasih
sayang yang begitu besar terhadap anak-anak mereka. Kemudian
Allah menyebutkan tentang tata cara pewarisan mereka. Allah
berfirman, ﴾
لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
﴿ "Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan," yaitu, anak-anak atau anak dari anak
laki-laki (cucu), bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan bila tidak
ada seorang ahli waris yang memiliki hak tertentu, demikian
juga apa yang tersisa dari pembagian hak-hak tertentu. Para
ulama telah berijma' atas hal tersebut. Dan bahwasanya dengan
adanya anak-anak, maka harta warisan adalah milik mereka dan
tidak ada bagian sama sekali bagi anak-anak dari anak
laki-laki (cucu), di mana anak-anak
tersebut adalah laki-laki dan perempuan. Ini dengan bersatunya
laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini ada dua kondisi; hanya
laki-laki saja, dan akan datang ketentuannya dan hanya
perempuan saja. Allah telah me-nyebutkan hal itu dalam
FirmanNya, ﴾
فَإِن كُنَّ نِسَآءٗ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ
﴿ "Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,"
yaitu, anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki
(cucu perempuan) tiga orang atau
lebih, ﴾
فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ وَإِن كَانَتۡ وَٰحِدَةٗ
﴿ "maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.
Jika anak perempuan itu seorang saja," yaitu, seorang anak
perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki,
(cucu perempuan), ﴾
فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ
﴿ "maka ia memperoleh separuh harta," ini merupakan ijma'.
Penting ditanyakan, dari mana diambil dasar hukum bagi dua
orang anak perempuan mendapatkan duapertiga setelah adanya
ijma' akan hal tersebut? Maka jawabannya adalah; bahwasanya
itu diambil dari Firman Allah, ﴾
وَإِن كَانَتۡ وَٰحِدَةٗ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ
﴿ "Jika anak pe-rempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separuh harta." Itu artinya, jika lebih dari satu maka hak
tertentu itu beralih dari setengah dan urutan persentase
setelah (setengah) tersebut adalah dua
pertiga. Demikian juga Firman Allah, ﴾
لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
﴿ "Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan," apabila seseorang meninggalkan seorang anak
laki-laki dan seorang anak perempuan, maka anak laki-laki itu
mendapatkan dua pertiga. Dan Allah سبحانه وتعالى telah
mengabarkan bahwa bagian anak laki-laki itu seperti bagian dua
anak perempuan, dengan demikian itu menunjukkan bahwa dua anak
perempuan mendapatkan dua pertiga. Begitu juga seorang anak
perempuan apabila mendapatkan bagian sepertiga bersama saudara
laki-lakinya padahal ia lebih besar kemudharat-annya daripada
saudara lainnya yang perempuan, maka bagian sepertiga itu
bersama saudara lain yang perempuan adalah lebih utama dan
lebih patut. Demikian juga Firman Allah تعالى tentang dua
saudara perempuan, ﴾
فَإِن كَانَتَا ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَۚ
﴿ "Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal."
(An-Nisa`: 176). Itu adalah sebuah nash yang jelas tentang dua saudara
perem-puan. Maka apabila dua orang saudara perempuan itu
dengan jauhnya jarak mereka mendapatkan dua pertiga, maka dua
anak perempuan dengan dekatnya jarak adalah lebih utama dan
lebih patut. Nabi ﷺ telah memberikan kedua orang anak
perempuan Sa'd dua pertiga, sebagaimana yang termaktub dalam
kitab ash-Shahih[7]. Lalu apa faidah
dari Firman Allah, ﴾
فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ
﴿ "Lebih dari dua?" Faidah Firman Allah itu -dan hanya Allah
yang lebih Me-ngetahuinya- adalah agar diketahui bahwa hak
tertentu yaitu dua pertiga tersebut tidaklah bertambah dengan
bertambahnya jumlah mereka lebih dari dua orang, akan tetapi
jumlah tersebut untuk dua orang atau lebih. Ayat ini
menunjukkan bahwa apabila didapatkan seorang anak perempuan
dan satu atau beberapa anak perempuan dari anak laki-laki
(cucu), maka anak perempuan itu
mendapatkan setengah dan tersisa dari dua pertiga yang telah
ditetapkan oleh Allah bagi anak-anak perempuan atau anak-anak
perempuan dari anak laki-laki
(cucu) seperenam, lalu diberikanlah
bagian itu kepada seorang anak atau beberapa anak perempuan
dari anak laki-laki (cucu). Oleh
karena itu bagian seperenam tersebut dinamakan pe-lengkap bagi
dua pertiga. Kondisi seperti itu terjadi juga bagi anak
perempuan dari anak laki-laki
(cucu) bersama anak-anak perem-puan
dari anak laki-laki
(anaknya cucu) yang lebih bawah
darinya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa ketika anak-anak
perem-puan itu atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki
itu telah mengambil seluruh bagian dua pertiga itu, maka
hilanglah bagian selain mereka
(di bawah mereka) dari anak-anak
perempuan dari anak laki-laki, karena Allah سبحانه وتعالى
tidak menetapkan bagian mereka kecuali dua pertiga saja dan
bagian itu telah habis mereka ambil. Sekiranya mereka tidak
gugur haknya, niscaya hal itu mengakibat-kan ditetapkannya
bagi mereka lebih banyak lagi dari dua pertiga, dan hal itu
bertentangan dengan nash yang ada. Ketentuan hukum-hukum
tersebut telah disepakati oleh para ulama, dan segala pujian
hanya bagi Allah. Firman Allah, ﴾
مِمَّا تَرَكَ
﴿ "Dari harta yang ditinggalkan" menun-jukkan bahwa seluruh
ahli waris mewarisi apa yang ditinggalkan oleh seorang yang
meninggal, berupa rumah, perabot, emas, perak, ataupun
lainnya, hingga diyat (denda) yang
belum terlaksana kecuali setelah ia meninggal, juga
hutang-hutang yang dipikulnya. Kemudian Allah menyebutkan
warisan kedua orang tua, dalam FirmanNya, ﴾
وَلِأَبَوَيۡهِ
﴿ "Dan untuk dua orang ibu-bapak," yaitu ayah orang yang
meninggal atau ibunya, ﴾
لِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ
لَهُۥ وَلَدٞۚ
﴿ "bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggal-kan, jika yang meninggal itu mempunyai anak," yaitu,
anak-anak si mayit atau cucu-cucunya dari anak laki-lakinya,
yang laki-laki maupun perempuan, seorang ataupun banyak.
Adapun ibu, ia mendapat tidak lebih dari seperenam bersama
dengan adanya salah seorang dari anak-anak si mayit, sedang
ayah, dengan adanya be-berapa anak laki-laki tidak berhak
mendapat lebih dari seperenam. Apabila anak tersebut seorang
perempuan atau beberapa perem-puan dan tidak ada lagi warisan
yang tersisa setelah pembagian hak-hak yang tertentu, seperti
kedua orang tua dan dua orang anak perempuan, maka mereka
tidak mempunyai bagiannya lagi dari 'Ashabah
(sisa pembagian), dan apabila masih
tersisa setelah pem-bagian hak seorang anak perempuan atau
beberapa anak perem-puan, maka ayah mendapatkan seperenam
karena hak tertentu dan sisa pembagian karena 'Ashabah. Hal
itu karena kita telah membe-rikan hak-hak tertentu kepada
pemiliknya, dan apa yang tersisa darinya maka yang lebih
berhak adalah yang laki-laki, dan ayah lebih berhak lebih
dahulu daripada saudara si mayit, pamannya, atau yang lainnya.
﴾
فَإِن لَّمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٞ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ
فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ
﴿ "Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga." Maksudnya, yang tersisa
adalah ayah; karena Allah menyandarkan harta kepada ayah,
sedang ibu hanya dengan satu kali sandaran saja. Kemudian
Allah menentukan hak bagian ibu. Itu menunjukkan bahwa sisanya
adalah hak ayah. Dengan demikian diketahui bahwa ayah dalam
kondisi tidak adanya anak-anak dari si mayit tidak memiliki
hak tertentu, akan tetapi ia me-warisi dengan cara 'Ashabah
seluruh harta atau apa-apa yang tersisa dari pembagian hak-hak
yang tertentu. Akan tetapi apabila didapatkan bersama kedua
orang tua salah seorang dari suami atau istrinya dari si mayit
-yang diistilah-kan dengan sebutan Umariyatain- maka suami
atau istri mengambil haknya yang tertentu, kemudian ibu
mengambil sepertiga dari sisa pembagian itu dan ayah mendapat
sisanya. Ini berlandaskan Firman Allah, ﴾
وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ
﴿ "Dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat
sepertiga," yaitu, sepertiga dari apa yang akan diwarisi oleh
kedua orang tua tersebut.
Dan itu terwujud dalam kedua kondisi berikut:
Seperenam pada kondisi
(yang men-jadi ahli waris adalah)
suami, ayah dan ibu atau seperempat pada kondisi
(yang mewarisi adalah) istri, ayah dan
ibu. Ayat itu tidak menunjukkan bahwa ibu mewarisi sepertiga
dari harta secara penuh dengan tidak adanya anak-anak si
mayit, hingga dikatakan, sesungguhnya kedua kondisi itu telah
dikecuali-kan dari hal tersebut. Dan penjelasan dari hal itu
adalah bahwa apa yang diambil oleh suami atau istri seperti
apa yang diambil oleh orang-orang yang memiliki hutang atas si
mayit, yaitu diambil dari jumlah harta si mayit secara
keseluruhan, dan sisa dari itu adalah hak kedua orang tua. Dan
didasari pula oleh karena bila kita memberikan ke-pada ibu
sepertiga harta warisan, pastilah bagian ibu lebih banyak dari
ayah pada kondisi adanya suami, atau ayah akan mengambil pada
kondisi adanya istri lebih banyak dari ibu setengah dari
se-perenam. Ini tidak ada kesamaannya, dan yang seharusnya
adalah persamaannya dengan ayah atau ayah mengambil dua kali
lipat dari apa yang diambil oleh ibu. ﴾
فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخۡوَةٞ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُۚ
﴿ "Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam," baik saudara kandung atau seayah
atau seibu, laki-laki maupun perempuan, yang mendapat warisan
atau terhalang mendapat warisan dengan adanya ayah atau kakek.
Akan tetapi mungkin akan dikatakan oleh sebagian orang, bahwa
Firman Allah, ﴾
فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخۡوَةٞ
﴿ "Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara" tidak
secara zahir men-cakup orang-orang yang tidak mendapat
warisan, dengan dalil bahwa dalam ayat itu tidak terkandung
orang yang terhalang oleh orang yang berhak mendapat setengah.
Dengan demikian saudara tidaklah terhalang dari sepertiga
kecuali saudara yang mendapat warisan saja. Ini didukung oleh
kenyataan bahwa hikmah terha-langnya mereka dari sepertiga
adalah agar saudara yang mewarisi itu mendapatkan sejumlah
harta yang cukup dan hal itu tidak ada. Wallahu a'lam, akan
tetapi dengan syarat jumlah mereka dua atau lebih. Hal itu
menjadi lebih rumit, karena lafazh "saudara" dalam ayat
tersebut dengan lafazh jamak. Itu dapat dijawab dengan
ke-nyataan bahwa maksud dari lafazh itu adalah hanya untuk
menun-jukkan jumlah bukan jamak, dan hal ini ditegaskan dengan
lafazh "dua," dan terkadang lafazh jamak itu dimaksudkan dan
diartikan dengan dua, sebagaimana dalam Firman Allah سبحانه
وتعالى tentang Dawud dan Sulaiman عليهما السلام, ﴾
وَكُنَّا لِحُكۡمِهِمۡ شَٰهِدِينَ 78
﴿ "Dan Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka
itu."
(Al-Anbiya`: 78). Dan Allah berfirman tentang saudara seibu,﴾
وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ
أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن
كَانُوٓاْ أَكۡثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ
﴿ "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai se-orang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka
masing-masing dari kedua jenis saudara itu mendapatkan
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu."
Allah menggunakan lafazh jamak, dan yang dimaksudkan adalah
dua atau lebih menu-rut ijma'. Dengan dasar ini, maka apabila
seorang mayit meninggalkan ibu, ayah dan beberapa saudara,
maka hak ibu adalah seperenam, dan sisanya adalah hak ayah.
Beberapa saudara itu menghalangi ibu mendapatkan sepertiga dan
ayah menghalangi mereka men-dapat bagian, kecuali dengan
adanya kemungkinan lain, yaitu hak ibu adalah sepertiga dan
sisanya adalah hak ayah.[8] Kemudian
Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصَىٰ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ
﴿ "Se-sudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutang-nya," maksudnya, hak-hak tertentu tersebut,
bagian-bagiannya dan warisan-warisan itu sesungguhnya dapat
berlaku dan terjadi setelah dipotong oleh hutang yang
ditanggung oleh mayit; hak milik Allah atau milik manusia
lain. Dan juga setelah pelaksanaan wasiat yang telah
diwasiatkan oleh mayit setelah meninggalnya. Sisa dari itu
semualah yang menjadi harta peninggalan yang berhak diwarisi
oleh para ahli waris. Dan wasiat didahulukan dalam ayat ini
padahal pelaksana-annya diakhirkan setelah hutang agar
diperhatikan dengan baik, karena merealisasikan wasiat itu
sangatlah berat bagi para ahli waris, dan bila tidak demikian,
maka hutang-hutang adalah dida-hulukan dari wasiat, dan
diambil dari harta yang ada. Sedangkan wasiat adalah sah
dengan hanya sepertiga saja atau kurang dari itu, bagi orang
di luar keluarga yang tidak menjadi ahli waris. Selain dari
itu tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan izin dari para
ahli waris. Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ
لَكُمۡ نَفۡعٗاۚ
﴿ "(Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu." Sekiranya ketentuan pembagian warisan itu
dikembalikan kepada akal pikiran dan pilihan kalian, niscaya
akan terjadi kemu-dharatan di mana hanya Allah saja yang
mengetahuinya, karena tidak sempurnanya akal pikiran dan tidak
adanya pengetahuan-nya tentang hal-hal yang patut dan baik
dalam segala waktu dan tempat. Mereka tidak mengetahui anak
yang mana atau orang tua yang mana yang lebih berguna bagi
mereka dan lebih dekat kepada tercapainya tujuan-tujuan
mereka, baik agama maupun dunia. ﴾
فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ﴿
"Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana." Maksud-nya, telah ditentukan
oleh Allah yang meliputi segala sesuatu de-ngan ilmuNya, dan
berlaku bijaksana dalam segala syariatNya, dan menentukan apa
yang telah ditetapkanNya dengan sebaik-baik ketentuan. Akal
manusia tidaklah mampu untuk menghadirkan seperti hukum-hukumNya
yang baik dan sesuai bagi setiap zaman dan tempat, serta
kondisi.
#
{12} ثم قال تعالى:
{ولكم} أيها الأزواج
{نصف ما ترك أزواجكم إن لم يكن لهن ولد فإن كان لهن ولد فلكم
الربع مما تركن من بعد وصية يوصين بها أو دين ولهن الربع مما
تركتم إن لم يكن لكم ولد، فإن كان لكم ولد فلهن الثمن مما
تركتم من بعد وصية توصون بها أو دين}، ويدخل في مسمى الولد المشروط وجوده أو عدمه ولد الصلب، أو ولد
الابن، الذكر والأنثى، الواحد، والمتعدد الذي من الزوج أو من
غيره، ويخرج عنه ولد البنات إجماعاً.
ثم قال تعالى:
{وإن كان رجل يورث كلالة أو امرأة وله أخ أو أخت}؛ أي: من أم؛ كما هي في بعض القراءات،
وأجمع العلماء على أن المراد بالإخوة هنا الإخوة للأم؛ فإذا كان
يورث كلالة؛ أي: ليس للميت والد ولا
ولد؛ أي: لا أب ولا جد ولا ابن ولا ابن
ابن ولا بنت ولا بنت ابن وإن نزلوا، وهذه هي الكلالة كما فسرها
بذلك أبو بكر الصديق رضي الله عنه، وقد حصل على ذلك الاتفاق ولله
الحمد، {فلكل واحد منهما}؛ أي؛ من
الأخ والأخت
{السدس، فإن كانوا أكثر من ذلك}؛ أي: من واحد؛
{فهم شركاء في الثلث}؛
أي:
لا يزيدون على الثلث ولو زادوا عن اثنين.
ودل قوله:
{فهم شركاء في الثلث}: أن ذكرهم
وأنثاهم سواء؛ لأن لفظ الشريك يقتضي التسوية. ودل لفظ
{الكلالة} على أن الفروع وإن
نزلوا، والأصول الذكور وإن علوا، يسقطون أولاد الأم؛ لأن الله لم
يورثهم إلا في الكلالة؛ فلو لم يكن يورث كلالة؛ لم يرثوا منه
شيئاً اتفاقاً. ودل قوله:
{فهم شركاء في الثلث}: أن الإخوة
الأشقاء يسقطون في المسألة المسماة بالحمارية،
وهي زوج وأم وإخوة لأم وإخوة أشقاء:
للزوج النصف، وللأم السدس، وللإخوة للأم الثلث، ويسقط الأشقاء
لأن الله أضاف الثلث للإخوة من الأم؛ فلو شاركهم الأشقاء؛ لكان
جمعاً لما فرق الله حكمه. وأيضاً؛ فإن الإخوة للأم أصحاب فروض
والأشقاء عصبات، وقد قال النبي - صلى الله عليه وسلم -:
«ألحقوا الفرائض بأهلها؛ فما بقي؛ فلأولى رجل ذكر». وأهل الفروض هم الذين قدر الله أنصباءهم؛ ففي هذه المسألة لا
يبقى بعدهم شيء، فيسقط الأشقاء، وهذا هو الصواب في ذلك. وأما
ميراث الإخوة والأخوات الأشقاء أو لأب؛
فمذكور في قوله:
{يستفتونك قل الله يفتيكم في الكلالة ... }
الآية؛ فالأخت الواحدة شقيقة أو لأب لها النصف، والثنتان لهما
الثلثان، والشقيقة الواحدة مع الأخت للأب أو الأخوات تأخذ النصف
والباقي من الثلثين للأخت أو أخوات الأب وهوالسدس تكملة الثلثين،
وإذا استغرقت الشقيقات الثلثين؛ تسقط الأخوات للأب؛ كما تقدم في
البنات وبنات الابن، وإن كان الإخوة رجالاً ونساء؛ فللذكر مثل حظ
الأنثيين. فإن قيل: فهل يستفاد حكم
ميراث القاتل والرقيق والمخالف في الدين والمُبَعَّضُ والخنثى
والجد مع الإخوة لغير أُمٍّ والعَوْل والردِّ وذوي الأرحام وبقية
العَصَبة والأخوات لغير أم مع البنات أو بنات الابن من القرآن أم
لا؟ قيل: نعم فيه تنبيهات وإشارات دقيقة
يَعْسُرُ فهمُها على غير المتأمل تدلُّ على جميع المذكورات: فأما
القاتل والمخالف في الدين؛ فيُعْرَفُ أنهما غير وارثين من بيان
الحكمة الإلهية في توزيع المال على الورثة بحسَبِ قربهم ونفعهم
الديني والدنيوي،
وقد أشار تعالى إلى هذه الحكمة بقوله:
{لا تدرونَ أيُّهم أقربُ لكم نفعاً}، وقد عُلِمَ أن القاتلَ قد سعى لموروثه بأعظم الضَّرر، فلا
ينتهضُ ما فيه من موجب الإرث أن يقاوم ضرر القتل الذي هو ضد
النفع الذي رُتِّبَ عليه الإرثُ،
فُعِلمَ من ذلك أن القتل أكبر مانع يمنع الميراث ويقطع الرحم
الذي قال الله فيه:
{وأولو الأرحام بعضُهم أولى ببعضٍ في كتاب الله}،
مع أنه قد استقرَّتِ القاعدة الشرعية:
أن من استعجل شيئاً قبل أوانه؛ عوقب بحرمانه. وبهذا ونحوه
يُعْرَفُ أن المخالف لدين الموروث لا إرثَ له، وذلك أنه قد تعارض
الموجبُ الذي هو اتصال النسب الموجب للإرث والمانعُ الذي هو
المخالفة في الدين الموجبةُ للمباينة من كلِّ وجه، فقوي المانع،
ومنع موجِبَ الإرث الذي هو النسب، فلم يعمل الموجِبُ لقيام
المانع. يوضِّحُ ذلك أن الله تعالى قد جعل حقوق المسلمين أولى من
حقوق الأقارب الكفار الدنيوية؛ فإذا مات المسلم؛ انتقلَ مالُهُ
إلى من هو أولى وأحق به،
فيكون قوله تعالى:
{وأولو الأرحام بعضُهم أولى ببعض في كتاب الله}: إذا اتَّفقت أديانُهم، وأما مع تبايُنِهِم؛ فالأخوَّةُ
الدينيةُ مقدَّمة على الأخوَّة النسبيَّة المجرَّدة. قال ابن
القيم في «جلاء الأفهام»: «وتأمَّل هذا
المعنى في آية المواريث وتعليقه سبحانه التوارثَ فيها بلفظِ
الزوجة دون المرأةِ؛ كما في قوله تعالى:
{وَلكم نصفُ ما تَرَكَ أزواجكم}:
إيذانٌ بأن هذا التوارثَ إنَّما وقع بالزوجيةِ المقتضيةِ للتشاكل
والتناسب، والمؤمِنُ والكافر لا تشاكلَ بينهما ولا تناسبَ، فلا
يقع بينهما التوارثُ، وأسرار مفردات القرآن ومركباته فوق عقول
العالمين». انتهى. وأما الرقيق؛
فإنه لا يَرِثُ ولا يورث:
أما كونه لا يورث؛ فواضحٌ؛ لأنه ليس له مال يورث عنه، بل كل ما
معه فهو لسيده. وأما كونه لا يرث؛ فلأنه لا يملك؛ فإنه لو ملك
لكان لسيده، وهو أجنبيٌّ من الميت،
فيكون مثل قوله تعالى:
{للذكر مثل حظ الأنثيين}
{ولكم نصف ما ترك أزواجكم}
{فلكل واحد منهما السدس} ....
ونحوها لمن يتأتَّى منه التملُّك، وأما الرقيق؛ فلا يتأتَّى منه
ذلك، فعُلِمَ أنه لا ميراث له. وأما من بعضُهُ حرٌّ وبعضُهُ
رقيقٌ؛ فإنَّه تتبعَّض أحكامُه؛ فما فيه من الحرية يستحقُّ بها
ما رتبه الله في المواريث؛ لكون ما فيه من الحرية قابلاً
للتملُّك وما فيه من الرقِّ؛ فليس بقابل لذلك؛ فإذاً يكون
المبَعَّض يرث ويورِّث ويحجب بقدر ما فيه من الحرية، وإذا كان
العبد يكون محموداً ومذموماً مثاباً ومعاقباً بقدر ما فيه من
موجبات ذلك؛ فهذا كذلك. وأمَّا الخنثى؛ فلا يخلو إما أن يكون
واضحاً ذكوريَّته أو أنوثيَّته أو مشكلاً؛ فإن كان واضحاً؛
فالأمر فيه واضحٌ:
إن كان ذكراً؛ فله حكم الذكور، ويشمله النص الوارد فيهم، وإن
كانت أنثى؛ فلها حكم الإناث، ويشملها النص الوارد فيهن. وإن كان
مشكلاً؛ فإن كان الذكر والأنثى لا يختلف إرثهما ـ كالإخوة للأم
ـ؛ فالأمر فيه واضح، وإن كان يختلف إرثه بتقدير ذكوريَّته
وبتقدير أنوثيَّته، ولم يبق لنا طريق إلى العلم بذلك؛ لم نعطه
أكثر التقديرين لاحتمال ظلم من معه من الورثة، ولم نعطه الأقل
لاحتمال ظلمنا له، فوجب التوسُّط بين الأمرين وسلوك أعدل
الطريقين، قال تعالى:
{اعْدِلوا هو أقربُ للتقوى}؛ فليس
لنا طريق إلى العدل في مثل هذا أكثر من هذا الطريق المذكور، ولا
يكلفُ الله نفساً إلا وسعها؛ فاتقوا الله ما استطعتم. وأما ميراث
الجد مع الإخوة الأشقاء أو لأب، وهل يرثون معه أم لا؟ فقد دلَّ
كتاب الله على قول أبي بكر الصديق رضي الله عنه ، وأن الجد يحجب
الإخوة أشقاء أو لأب أو لأم كما يحجبهم الأبُ، وبيان ذلك أن الجد
أبٌ في غير موضع من القرآن؛
كقوله تعالى:
{إذ حَضَرَ يعقوبَ الموتُ إذ قال لبنيه ما تعبدون من بعدي
قالوا نعبد إلهك وإله آبائك إبراهيم وإسماعيل وإسحق ...
}
الآية، وقال يوسف عليه السلام:
{واتبعتُ ملة آبائي إبراهيم وإسحق ويعقوب}، فسمى الله الجدَّ وجدَّ الأب أباً، فدل ذلك على أن الجد
بمنزلة الأب، يرث ما يرثه الأب، ويحجب من يحجبه، وإذا كان
العلماء قد أجمعوا على أن الجدَّ حكمُهُ حكم الأب عند عدمه في
ميراثه مع الأولاد وغيرهم من بين الإخوة والأعمام وبنيهم وسائر
أحكام المواريث؛ فينبغي أيضاً أن يكون حكمُهُ حكمَهُ في حجب
الإخوة لغير أم، وإذا كان ابن الأب بمنزلة ابن الصلب؛ فلم لا
يكون الجد بمنزلة الأب؟ وإذا كان جد الأب مع ابن الأخ قد اتفق
العلماء على أنه يحجبه؛ فلم لا يحجب جد الميت أخاه؟ فليس مع من
يورِّث الإخوة مع الجدِّ نصٌّ ولا إشارة ولا تنبيه ولا قياس
صحيح. وأمَّا مسائل العَوْل؛ فإنه يُستفاد حكمها من القرآن، وذلك
أن الله تعالى قد فرض وقدر لأهل المواريث أنصباء،
وهم بين حالتين:
إما أن يحجب بعضهم بعضاً، أو لا؛ فإن حجب بعضهم بعضاً؛ فالمحجوب
ساقط لا يزاحم ولا يستحق شيئاً، وإن لم يحجب بعضهم بعضاً؛
فلا يخلو:
إما أن لا تستغرق الفروض التركة، أو تستغرقها من غير زيادة ولا
نقص، أو تزيد الفروض على التركة؛ ففي الحالتين الأوليين كلٌّ
يأخذ فرضَه كاملاً، وفي الحالة الأخيرة، وهي ما إذا زادت الفروض
على التركة؛ فلا يخلو من حالين: إما أن
ننقص بعض الورثة عن فرضه الذي فرضه الله له ونكمل للباقين منهم
فروضهم، وهذا ترجيحٌ بغير مرجح، وليس نقصان أحدهم بأولى من
الآخر، فتعينت الحال الثانية، وهو أننا نعطي كل واحد منهم نصيبه
بقدر الإمكان، ونحاصص بينهم؛ كديون الغرماء الزائدة على مال
الغريم، ولا طريق موصل إلى ذلك إلا بالعول، فعلم من هذا أن العول
في الفرائض قد بينه الله في كتابه. وبعكس هذه الطريقة بعينها
يُعْلَمُ الردُّ؛ فإن أهل الفروض إذا لم تستغرق فروضُهم التركة،
وبقي شيءٌ ليس له مستحقٌّ من عاصبٍ قريب ولا بعيد؛ فإن ردَّه على
أحدهم ترجيح بغير مرجِّح،
وإعطاءه غيرهم ممن ليس بقريب للميت جَنَفٌ وميل ومعارضة
لقوله:
{وأولو الأرحام بعضهم أولى ببعض في كتاب الله}، فتعيَّن أن يُرَدَّ على أهل الفروض بقدر فروضهم، ولما كان
الزوجان ليسا من القرابة؛ لم يستحق الزيادة على فرضهم المقدَّر
[عند القائلين بعدم الرد عليهم، وأما على القول الصحيح أن حكم
الزوجين حكم باقي الورثة في الرد؛ فالدليل المذكور شامل للجميع
كما شملهم دليل العول]. وبهذا يُعْلَمُ أيضاً ميراث ذوي الأرحام؛ فإنَّ الميت إذا لم
يخلِّف صاحب فرض ولا عاصباً، وبقي الأمر دائراً بين كون ماله
يكون لبيت المال لمنافع الأجانب وبين كون ماله يرجع إلى أقربائه
المُدْلين بالورثة المجمع عليهم؛ تعين الثاني،
ويدل على ذلك قوله تعالى:
{وأولو الأرحام بعضُهم أولى ببعضٍ في كتاب الله}، فصرفه لغيرهم تركٌ لمن هو أولى من غيره، فتعيَّن توريثُ ذوي
الأرحام، وإذا تعيَّن توريثُهم؛ فقد علم أنه ليس لهم نصيب مقدر
بأعيانهم في كتاب الله، وأن بينهم وبين الميت وسائط صاروا بسببها
من الأقارب، فينزَّلُون منزلة من أدْلَوا به من تلك الوسائط.
والله أعلم. وأمّا ميراث بقية العَصَبَة؛ كالبنوة والأخوة وبنيهم
والأعمام وبنيهم ... إلخ؛ فإن النبي - صلى الله عليه وسلم -
قال:
«ألحقوا الفرائض بأهلها، فما بقي؛ فلأولى رجل ذكر»
، وقال تعالى:
{ولكلٍّ جعلنا موالي مما ترك الوالدان والأقربون}؛ فإذا ألحقنا الفروض بأهلها ولم يبق شيءٌ؛ لم يستحق العاصب
شيئاً، وإن بقي شيءٌ؛ أخذه أولي العَصَبة بحسب جهاتهم
ودرجاتهم؛ فإنَّ جهات العصوبة خَمْسٌ:
البنوة، ثمَّ الأبوة، ثمَّ الأخوة وبنوهم، ثمَّ العمومة وبنوهم،
ثمَّ الولاء، ويقدم منهم الأقرب جهة؛ فإن كانوا في جهة واحدة؛
فالأقرب منزلة؛ فإن كانوا بمنزلة واحدة؛ فالأقوى، وهو الشقيق؛
فإن تساووا من كل وجه؛ اشتركوا؛ والله أعلم. وأمَّا كون الأخوات
لغير أم مع البنات أو بنات الابن عصبات يأخذن ما فضل عن
فروضهنَّ؛ فلأنه ليس في القرآن ما يدل على أن الأخوات يَسْقُطْن
بالبنات؛ فإذا كان الأمر كذلك، وبقي شيء بعد أخذ البنات فرضهنَّ؛
فإنه يُعطى للأخوات ولا يُعْدَلُ عنهنَّ إلى عَصَبَةٍ أبعد منهن
كابن الأخ والعم ومن هو أبعد منهم. والله أعلم.
(12) Kemudian Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾ وَلَكُمۡ
﴿ "dan bagimu" wahai para suami, ﴾
نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٞۚ
فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٞ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡنَۚ
مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِينَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۚ وَلَهُنَّ
ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّكُمۡ وَلَدٞۚ
فَإِن كَانَ لَكُمۡ وَلَدٞ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكۡتُمۚ
مِّنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ تُوصُونَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۗ
﴿ "seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Sebaliknya) para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempu-nyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu." Termasuk dalam konteks anak yang
di-syaratkan adanya atau tidak adanya adalah anak mayit atau
anak dari anak laki-laki mayit (cucu),
laki-laki maupun perempuan, satu maupun banyak, yang ada dari
suami maupun dari selainnya. Dan tidak termasuk dalam hal ini
anak dari anak perempuan mayit menurut ijma' ulama. Kemudian
Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ
أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ
﴿ "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja)," maksudnya,
dari satu ibu, sebagaimana dalam seba-gian qira'at. Para ulama
telah bersepakat bahwa maksud dari sau-dara Di sini adalah
saudara seibu. Apabila seorang mayit dalam kondisi kalalah,
artinya, tidak meninggalkan anak dan tidak pula ayah,
maksudnya, tidak ayah, tidak kakek, tidak anak laki-laki,
tidak cucu laki-laki dari anak laki-laki, tidak pula anak
perempuan, tidak pula cucu perempuan dari anak laki-laki dan
seterusnya ke bawah. Inilah maksud kalalah sebagaimana yang
ditafsirkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq رضي الله عنه, dan para
ulama telah sepakat atas hal tersebut dan segala puji hanya
milik Allah. ﴾
فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا
﴿ "Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu,"
yaitu, dari saudara laki-laki atau saudara perempuan,﴾
ٱلسُّدُسُۚ فَإِن كَانُوٓاْ أَكۡثَرَ مِن ذَٰلِكَ
﴿ "seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari itu" yaitu lebih dari satu orang, ﴾
فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ
﴿ "maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu." Maksudnya
mereka mendapatkan tidak lebih dari sepertiga walaupun mereka
lebih dari dua orang. Dan Firman Allah, ﴾
فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ
﴿ "Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,"
menunjukkan bahwa, laki-laki
(di antara) mereka sama dengan
perempuan (di antara) mereka, karena
lafazh bersekutu itu menunjukkan persamaan. Lafazh, ﴾
كَلَٰلَةً
﴿ "Kalalah" menunjukkan bahwa cabang
(keturunan) dan seterusnya ke bawah,
dan (keluarga) pokok, yang laki-laki
dan seterusnya ke atas meng-halangi anak-anak ibu, karena
Allah tidaklah menjadikan mereka ahli waris kecuali dalam
kondisi kalalah, dan bila mereka tidak me-warisi secara
kalalah, maka mereka tidaklah mendapatkan warisan sama sekali
menurut kesepakatan ulama. Firman Allah, ﴾
فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ
﴿ "Maka mereka bersekutu da-lam yang sepertiga itu"
menunjukkan bahwa saudara kandung laki-laki akan terhalang
dalam kondisi yang bernama al-Hamariyah, yaitu suami, ibu,
saudara seibu dan saudara sekandung; suami mendapatkan
setengah, ibu seperenam, saudara seibu sepertiga; maka saudara
sekandung gugur, karena Allah سبحانه وتعالى telah
menyan-darkan bagian sepertiga kepada saudara seibu. Sekiranya
saudara sekandung bersekutu dengan mereka, niscaya itu
merupakan penyatuan yang telah dipisahkan ketentuannya oleh
Allah. Dan juga karena sesungguhnya saudara seibu adalah di
antara pemilik hak-hak yang ditentukan sedang saudara
sekandung adalah Asha-bah
(pemilik sisa warisan), dan
sesungguhnya Nabi ﷺ bersabda, أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ
بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ.
"Serahkan hak-hak warisan yang ditentukan kepada orang yang
berhak, dan yang tersisa adalah milik kerabat laki-laki yang
paling dekat."[9] Pemilik hak-hak yang
tertentu adalah mereka yang telah Allah tetapkan bagian-bagian
mereka, dalam kondisi seperti ini tidak ada yang tersisa
setelah mereka hingga saudara kandung gugur, dan inilah yang
benar dalam hal ini. Adapun warisan untuk saudara laki-laki
dan saudara perem-puan kandung atau seayah adalah tersebutkan
dalam FirmanNya, ﴾
يَسۡتَفۡتُونَكَ قُلِ ٱللَّهُ يُفۡتِيكُمۡ فِي ٱلۡكَلَٰلَةِۚ . . .
.
﴿ "Mereka meminta fatwa kepadamu
(tentang kalalah). Katakanlah, 'Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah...'."
(An-Nisa`: 176). Seorang saudara kandung perempuan atau seayah berhak
mendapat setengah, dan dua orang berhak mendapat dua pertiga.
Seorang saudara perempuan kandung bersama seorang saudara
perempuan seayah atau lebih, mereka berhak mendapat setengah
dan sisa dari dua pertiga adalah hak seorang saudara perempuan
seayah atau lebih, bagian itu adalah seperenam yang
menyempur-nakan (sisa dari) dua
pertiga, apabila beberapa saudara perempuan sekandung
menyempurnakan bagian dua pertiga, maka saudara perempuan
seayah menjadi gugur, sebagaimana yang telah berlalu pada anak
perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki, dan apabila
saudara itu laki-laki dan perempuan, maka ketentuannya adalah
bagian laki-laki seperti bagian dua orang perempuan. Bila
dikatakan; apakah landasan hukum warisan seorang pembunuh,
budak, lain agama, setengah budak, banci, kakek ber-sama
saudara-saudara selain seibu, al-'Aul, ar-Rad, sanak famili,
'Ashabah yang tersisa, saudara-saudara perempuan selain seibu
bersama beberapa anak perempuan atau cucu-cucu perempuan dari
anak laki-laki diambil dari al-Qur`an atau tidak? Menurut suatu pendapat:
Ya, di dalamnya terdapat peringatan-peringatan dan
indikasi-indikasi yang terperinci yang sangat sulit dipahami
oleh orang yang tidak merenung tentangnya yang menunjukkan
tentang segala yang disebutkan di atas. Tentang seorang
pembunuh atau yang berlainan agama, diketahui
(secara umum) bahwa mereka tidak
termasuk ahli waris, hal itu dari penjelasan hikmah Allah
dalam pembagian harta wa-risan terhadap para ahli waris
menurut kedekatan mereka, manfaat mereka secara agama maupun
dunia. Allah سبحانه وتعالى telah mengisyaratkan akan hikmah
tersebut dengan FirmanNya, ﴾
لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ لَكُمۡ نَفۡعٗاۚ
﴿ "Kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu." Dan
telah diketahui bahwa pelaku pembunuh-an telah berusaha
menjerumuskan orang yang akan diwarisinya kepada kemudharatan
yang paling besar. Apa yang menjadi dasar hak warisan itu
tidaklah dapat dikuatkan untuk menolak bahaya-nya pembunuhan
yang merupakan kebalikan dari manfaat yang merupakan akibat
dari warisan itu. Maka dari hal itu dapat di-ketahui bahwa
pembunuhan itu adalah penghalang terbesar yang menghalangi
dari mendapatkan warisan dan memotong tali sila-turahim di
mana Allah berfirman tentangnya, ﴾
وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي
كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ
﴿ "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam
Kitab Allah."
(Al-Anfal: 75). Padahal telah ada kaidah syariat yang telah baku yang
ber-bunyi; bahwa barangsiapa yang tergesa-gesa terhadap
sesuatu se-belum waktunya, maka ia dihukum dengan tidak
mendapatkannya. Karena itulah dan karena yang semacamnya dapat
diketahui bahwa orang yang berlainan agama dengan orang yang
akan diwarisi maka dia tidak mendapat warisan. Yang demikian
itu dikarenakan ia telah bertentangan dengan perkara yang
harus ada yaitu bersambungnya garis keturunan yang
mengharuskannya memperoleh warisan, dan penghalang yang berupa
pertentangan pada agama yang mengakibatkan pemisahan yang
jelas dari segala sisi. Penghalang yang begitu besar telah
menghalangi perkara yang mengharuskannya memperoleh warisan
yaitu keturunan. Maka perkara yang mengakibatkan warisan itu
tidaklah dapat diberlaku-kan karena adanya penghalang tadi.
Hal itu dapat dijelaskan, bahwa Allah سبحانه وتعالى telah
membuat hak-hak kaum Muslimin lebih utama daripada hak-hak
kekerabatan yang kafir di dunia, maka apabila seorang Muslim
meninggal, niscaya hartanya akan berpindah kepada seseorang
yang lebih utama dan lebih berhak, sehingga Firman Allah
سبحانه وتعالى menjadi, ﴾
وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي
كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ
﴿ "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam
kitab Allah."
(Al-Anfal: 75), apabila agama mereka sama. Adapun bila saling berbeda maka
persaudaraan seagama adalah didahulu-kan daripada persaudaraan
sedarah semata. Ibnu al-Qayyim berkata dalam Jala`
al-Afham[10], "Renungkanlah makna ini
dalam ayat warisan ini di mana Allah mengikat hubung-an waris
mewarisi ini dengan lafazh "istri" dan bukan perempuan
sebagaimana dalam FirmanNya, ﴾
وَلَكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ
﴿ "dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu," sebuah
indikasi bahwa waris mewarisi ini sesungguhnya terlaksana
dengan perkawinan yang mengharuskan adanya saling berbaur dan
saling berhubungan nasab, sedang seorang Mukmin dan seorang
kafir tidak ada persaudaraan (iman) di
antara kedua-nya dan tidak pula saling bernasab, maka tidak
ada saling mewa-risi di antara keduanya, dan rahasia kata-kata
al-Qur`an dan tata kalimatnya jauh melampaui akal seluruh
alam." Mengenai budak, ia tidak mewarisi dan tidak pula
diwarisi, bahwa ia tidak diwarisi, itu sudah sangat jelas,
karena ia tidak mempunyai harta yang dapat diwarisi, bahkan
apa yang ada ber-samanya itu adalah milik tuannya. Sedangkan
mengenai ia tidak mewarisi, karena ia tidak memiliki dan bila
saja ia memiliki, maka semuanya milik tuannya, maka dia adalah
seorang yang ajnabi
(bukan mahram) bagi mayit, maka ia
seperti Firman Allah, ﴾
لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
﴿ "Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan" dan, ﴾
وَلَكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ
﴿ "dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu" dan, ﴾
فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ
﴿ "maka bagi masing-masing dari kedua jenis sau-dara itu
seperenam harta" ... dan semacamnya, terhadap orang-orang yang
berpeluang memiliki. Sedangkan budak tidak berpeluang untuk
itu, karena itu jelaslah bahwa ia tidak mendapatkan warisan.
Mengenai seseorang yang setengah merdeka dan setengah budak,
ia memiliki hukum yang terbagi-bagi. Adapun yang pada dirinya
ada kebebasan, maka dengan hal itu ia berhak mendapat-kan apa
yang telah Allah tetapkan dalam warisan, karena ada
kemerdekaan pada dirinya yang berpeluang untuk memiliki. Dan
apa yang ada padanya dari perbudakan, maka ia tidak berpeluang
untuk itu. Oleh karena itu seseorang yang setengah budak dan
setengah merdeka, mereka mewarisi, diwarisi, dan menghalangi
lainnya sesuai dengan kadar kemerdekaan yang ada padanya, dan
apabila seorang hamba dapat terpuji dan tercela, diberi pahala
dan dihukum menurut apa yang ada padanya dari hal-hal yang
mengakibatkan perkara tersebut, maka ini pun demikian adanya.
Tentang orang banci, tidak terlepas kondisinya itu dari tiga
kemungkinan, yaitu, sangat nyata kelelakiannya, atau
kewanitaan-nya, atau tidak jelas yang dominan. Apabila nyata,
perkaranya adalah sudah jelas; apabila jantan, maka ia
termasuk dalam hukum laki-laki, dan akan tercakup dalam
nash-nash yang menerangkan tentang mereka, namun apabila
perempuan, maka baginya hukum pihak perempuan dan terkait
dengan nash-nash yang menerang-kan tentang mereka. Apabila dia
Musykil
(tidak ada yang dominan antara kedua jenis kelamin), tetapi antara pihak laki-laki dan pe-rempuan tidak berbeda
warisannya -seperti saudara seibu-, maka perkaranya juga
jelas. Adapun apabila warisannya berbeda dengan kadar
kelaki-lakiannya dan kadar keperempuan-annya, sedangkan kita
belum punya cara untuk mengetahui hal itu, maka kita tidak
memberikan kepadanya kadar yang paling terbesar dari keduanya,
karena adanya kemungkinan berbuat zhalim terhadap ahli waris
lain, dan juga kita tidak memberikannya kadar terkecil karena
takut menzhalimi dirinya, sehingga wajib ditegakkan
pertengahan antara kedua perkara itu dan menempuh salah satu
di antara dua jalan yang paling adil, Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾
ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ
﴿ "Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa."
(Al-Ma`idah: 8). Maka kita tidak memiliki jalan kepada keadilan dalam
masa-lah seperti ini yang lebih baik dari jalan tersebut, dan
Allah tidak membebankan kepada suatu jiwa kecuali yang mampu
diemban-nya, maka bertakwalah kepada Allah sesuai dengan
kemampuan kalian. Adapun warisan kakek bersama saudara
laki-laki sekan-dung atau seayah, apakah kakek ikut menjadi
ahli waris bersama mereka ataukah tidak? Sesungguhnya
kitabullah telah menunjuk-kan pada apa yang dikatakan oleh Abu
Bakar ash-Shiddiq رضي الله عنه,[11]
bahwasanya kakek menghalangi
(bagian harta warisan) saudara
laki-laki sekandung atau seayah atau seibu sebagaimana ayah
menghalangi mereka, dan penjelasan akan hal itu adalah bahwa
kakek itu merupakan ayah seperti disebutkan dalam beberapa
tempat dalam al-Qur`an, seperti Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾
إِذۡ حَضَرَ يَعۡقُوبَ ٱلۡمَوۡتُ إِذۡ قَالَ لِبَنِيهِ مَا
تَعۡبُدُونَ مِنۢ بَعۡدِيۖ قَالُواْ نَعۡبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ
ءَابَآئِكَ إِبۡرَٰهِـۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ
﴿ "Ketika Ya'qub kedatangan
(tanda-tanda) maut, ketika ia berkata
kepada anak-anaknya, 'Apa yang kamu sembah sepeninggalku?'
Mereka menjawab, 'Kami akan menyembah Rabbmu dan Rabb nenek
moyangmu, Ibrahim, Isma'il, dan Ishaq'."
(Al-Baqarah: 133). Dan Yusuf عليه السلام berkata, ﴾
وَٱتَّبَعۡتُ مِلَّةَ ءَابَآءِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَإِسۡحَٰقَ
وَيَعۡقُوبَۚ
﴿ "Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishaq
dan Ya'qub." (Yusuf: 38). Allah telah
menamakan kakek dan kakeknya ayah dengan ayah, hal itu
menunjukkan bahwa kakek adalah dalam posisi ayah, ia mewarisi
apa yang diwarisi oleh ayah dan menghalangi orang yang
dihalangi oleh ayah. Dan apabila para ulama telah bersepakat
bahwa hukum kakek adalah hukum ayah ketika ayah tidak ada
dalam harta peninggalan bersama anak-anaknya dan selain mereka
dari beberapa saudara, paman-paman dan anak-anak laki-laki
mereka serta seluruh hukum-hukum warisan, maka seyogyanya
hukum kakek juga adalah hu-kum ayah dalam menghalangi
saudara-saudara selain seibu. Dan apabila anaknya ayah adalah
sederajat dengan anaknya yang kandung, maka kenapa kakek tidak
sederajat dengan posisi ayah? Dan apabila kakeknya ayah dengan
anak laki-lakinya saudara laki-laki telah disepakati oleh para
ulama bahwa ia menghalanginya, lalu kenapa kakeknya mayit
tidak menghalangi saudara si mayit? Dan orang-orang yang
berpendapat bahwa saudara mendapatkan harta waris bersama
kakek tidak memiliki nash, tidak juga isyarat, ataupun
indikasi, apalagi qiyas yang shahih. Adapun masalah al-'Aul,
hukumnya diambil dari al-Qur`an, yang demikian itu adalah
bahwa Allah سبحانه وتعالى telah mewajibkan dan menentukan
bagian-bagian bagi seluruh ahli waris, dan mereka itu terbagi
dalam dua kondisi; kondisi sebagian mereka menghalangi
sebagian yang lain atau tidak, apabila sebagian mereka
mengha-langi sebagian lain, maka orang yang terhalang itu
gugur, tidak ikut menunggu bagian dan tidak berhak atas apa
pun, namun bila sebagian mereka tidak menghalangi sebagian
yang lain,
maka kondisi ini dalam beberapa bentuk; pertama:
Hak-hak tertentu itu tidak menghabiskan seluruh harta
warisan, kedua: Menghabiskan-nya
dengan tanpa ada kekurangan dan kelebihan,
ketiga:
Hak-hak tertentu itu melebihi harta warisan. Maka pada kondisi
yang pertama dan kedua, setiap ahli waris mendapatkan hak
bagiannya secara sempurna, namun pada bentuk yang ketiga yaitu
apabila hak-hak tertentu itu melebihi harta warisan, maka hal
ini tidak lepas dari dua kondisi; pertama, mengurangi hak
sebagian ahli waris dari hak-hak mereka yang telah ditentukan
oleh Allah bagi mereka dan menyempurnakan hak bagi sebagian
yang lain, hal ini adalah sebuah tindakan keber-pihakan yang
tidak ada dalil yang menguatkannya, dan bukanlah kekurangan
salah seorang ahli waris dari hak-haknya adalah lebih baik
dari sebagian lainnya, karena itu wajiblah tertuju kepada
kondisi yang kedua, yaitu bahwa kita memberikan setiap ahli
waris dari mereka menurut keadaan yang memungkinkan dan kita
bagi-bagikan harta tersebut kepada seluruh ahli waris, seperti
hutang bagi pemilik-pemiliknya yang melebihi dari harta orang
yang berhutang, dan tidak ada jalan lain untuk mencapai kepada
hal itu kecuali dengan cara al-'Aul, dengan demikian
diketahuilah bahwa al'Aul[12] dalam
ilmu Fara'idh telah dijelaskan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam
kitabNya. Dan dengan kebalikan dari cara di atas, maka
diketahui cara ar-Radd[13],
sesungguhnya pemilik-pemilik hak-hak tertentu itu apa-bila
tidak menghabiskan seluruh harta warisan menurut bagian-bagian
masing-masing, lalu tersisa dari harta warisan itu beberapa
harta yang tidak ada pemiliknya berupa 'Ashabah yang dekat
mau-pun yang jauh, dan mengembalikan harta sisa itu kepada
salah seorang ahli waris saja adalah suatu tindakan
keberpihakan yang tidak memiliki dalil, dan sebagaimana
memberikan sisa harta itu kepada seseorang yang bukan sanak
famili adalah suatu tindakan kesewenang-wenangan,
keberpihakan, dan bertentangan dengan Firman Allah, ﴾
وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي
كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ
﴿ "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam
Kitab Allah."
(Al-Anfal: 75), maka pastilah sisa harta itu harus dikembalikan lagi kepada
ahli-ahli waris menurut hak-hak tertentu mereka, dan karena
suami atau istri adalah bukan dari sanak famili, maka mereka
tidak berhak atas tambahan dari sisa harta itu menurut hak
tertentu mereka,
(menurut kelompok yang berpendapat bahwa tidak ada ar-Radd
bagi mereka berdua), adapun menurut pendapat yang shahih bahwa hukum suami dan
istri adalah sama dengan hukum ahli waris yang lain dalam
perkara ar-Radd, maka dalil yang disebutkan tadi mencakup
seluruh ahli waris sebagaimana dalil al'Aul menca-kup mereka
semua.[14] Dengan hal ini dapat
diketahui juga bagian dari Dzawu al-Arham
(setiap kerabat mayit yang tidak mendapatkan hak tertentu
ataupun Ashabah), yaitu bila seorang mayit tidak meninggalkan ahli waris yang
memiliki hak tertentu dan tidak juga Ashabah, dan perkara
hartanya berputar antara ditujukan kepada Baitul Mal untuk
manfaat orang lain atau ditujukan kepada sanak familinya yang
telah disepakati yang lebih condong mendapat harta tersebut,
maka yang terakhir ini adalah yang wajib dan hal tersebut
dapat dimengerti dari Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾
وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي
كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ
﴿ "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam
Kitab Allah."
(Al-Anfal: 75). Memberikan harta tersebut kepada selain mereka adalah
sebuah tindakan meninggalkan orang-orang yang lebih berhak
dari selainnya, maka dari itu telah jelas wajibnya harta
warisan tersebut diberikan untuk Dzawu al-Arham, lalu apabila
telah pasti pewarisan mereka, padahal telah diketahui bahwa
mereka tidak memiliki bagian tertentu dalam Kitabullah, dan
bahwa antara me-reka dengan mayit ada penghubung hingga
menjadikan mereka termasuk dalam sanak familinya, maka mereka
itu diposisikan seperti orang-orang yang menjadi penghubung
antara mereka dengan mayit. Wallahu a'lam. Adapun warisan bagi
sisa Ashabah yang tersisa seperti anak, saudara dan anak-anak
mereka, paman-paman dan anak-anak mereka... dst, sesungguhnya
Nabi ﷺ telah bersabda, أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا،
فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ. "Serahkan hak-hak
tertentu itu kepada pemiliknya, dan apa yang tersisa maka
milik kerabat laki-laki."[15] Dan
Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
وَلِكُلّٖ جَعَلۡنَا مَوَٰلِيَ مِمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ
وَٱلۡأَقۡرَبُونَۚ ﴿ "Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta
yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan
pewaris-pewarisnya."
(An-Nisa`: 33).
Bila kita telah menyerahkan hak-hak tertentu itu kepada
pemilik-pemiliknya dan tidak terdapat sisa sedikit pun, maka
ahli Ashabah tidak berhak atas sesuatu pun, namun bila terdapat
sisa, maka menjadi hak Ashabah menurut posisi dan derajat
mereka, karena sesungguhnya posisi Ashabah itu ada lima; anak
kemudian ayah lalu saudara dan anak-anak mereka, kemudian paman
dan anak-anak mereka, lalu perwalian. Dan yang didahulukan
adalah yang paling terdekat posisinya, dan bila mereka pada satu
posisi, maka yang paling dekat derajatnya, dan apabila mereka
dalam satu derajat, maka yang paling kuat yaitu sekandung, dan
apabila mereka sama dari setiap hal, maka mereka bersekutu
padanya. Wallahu a'lam. Sedangkan kondisi beberapa saudara
perempuan selain seibu bersama anak-anak perempuan atau beberapa
cucu perempuan dari anak laki-laki termasuk dalam Ashabah, di
mana saudara-sau-dara perempuan selain seibu tersebut berhak
atas apa yang lebih dari hak-hak tertentu mereka, karena tidak
ada satu pun dalil dalam al-Qur`an yang menunjukkan bahwa
saudara perempuan itu gugur karena adanya anak perempuan, namun
bila perkaranya memang demikian, lalu harta warisan setelah
anak-anak perem-puan itu mendapatkan hak tertentu mereka tersisa
sedikit, maka sisa tersebut diberikan kepada saudara-saudara
perempuan dan tidak berpindah dari mereka kepada Ashabah yang
lebih jauh dari mereka seperti anak laki-laki dari saudara
laki-laki atau paman dan orang-orang yang lebih jauh lagi dari
mereka. Wallahu a'lam.
{تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
(13) وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا
فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
(14)}
.
"
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah
dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang
mengalir di bawah-nya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar
ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di da-lamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan."
(An-Nisa`: 13-14).
#
{13} أي: تلك التفاصيل التي ذكرها
في المواريث حدود الله التي يجب الوقوف معها، وعدم مجاوزتها ولا
القصور عنها، وفي ذلك دليل على أن الوصية للوارث منسوخة بتقديره
تعالى أنصباء الوارثين. ثم قوله تعالى:
{تلك حدود الله فلا تعتدوها}؛
فالوصية للوارث بزيادة على حقه يدخل في هذا التعدي مع قوله - صلى
الله عليه وسلم -: «لا وصيةَ لوارث». ثم
ذكر طاعة الله ورسوله ومعصيتهما عموماً؛ ليدخل في العموم لزوم
حدوده في الفرائض أو ترك ذلك، فقال:
{ومن يطع الله ورسوله}: بامتثال
أمرهما الذي أعظمه طاعتهما في التوحيد ثم الأوامر على اختلاف
درجاتها، واجتناب نهيهما الذي أعظمه الشرك بالله ثم المعاصي على
اختلاف طبقاتها.
{يُدْخِلْهُ جناتٍ تجري من تحتها الأنهار خالدين فيها}: فمن أدَّى الأوامر واجتنب النواهي؛ فلا بد له من دخول الجنة
والنجاة من النار.
{وذلك الفوز العظيم}: الذي حصل به
النجاة من سخطه وعذابه والفوز بثوابه ورضوانه بالنعيم المقيم
الذي لا يصفه الواصفون.
(13) Perincian tersebut yang disebutkan
dalam masalah warisan merupakan hukum-hukum Allah yang harus
dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan atau dilalaikan, hal
ini adalah dalil bahwa wasiat untuk ahli waris telah dimansukh
dengan penentuan dari Allah تعالى tentang bagian-bagian tertentu
mereka, kemudian Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾ تِلۡكَ حُدُودُ
ٱللَّهِۚ
﴿ "(Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah," maka wasiat untuk ahli waris
de-ngan melebihi dari haknya telah termasuk sebagai suatu
tindakan melampaui batas terhadap sabda beliau ﷺ; لَا
وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ. "Tidak ada wasiat untuk ahli waris."[16]
Kemudian Allah menyebutkan tentang ketaatan kepadaNya dan
kepada RasulNya serta bermaksiat kepada keduanya secara umum,
agar termasuk dalam perkara umum itu pelaksanaan akan
hukum-hukum tersebut dalam perkara warisan atau meninggalkan
hal tersebut, Allah berfirman, ﴾
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ
﴿ "Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya" dengan
menunaikan perintah keduanya yang mana ketaatan terbesar
kepada keduanya adalah dalam per-kara tauhid, kemudian
perintah-perintah mereka berdua dengan perbedaan
tingkatan-tingkatannya, dan meninggalkan larangan keduanya
yang mana kemaksiatan terbesar kepada keduanya ada-lah
kesyirikan kepada Allah kemudian kemaksiatan-kemaksiatan dalam
segala perbedaan tingkatannya, ﴾
يُدۡخِلۡهُ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ
خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ
﴿ "niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya."
Barangsiapa yang menunaikan segala perintah dan meninggalkan
segala larangan, maka pastilah ia masuk dalam surga dan
selamat dari neraka, ﴾
وَذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ﴿ "dan itulah kemenangan yang
besar" dengan memperoleh keselamatan dari murka Allah dan
siksaanNya serta kemenangan dengan pahalaNya dan keridhaanNya
dengan kenikmatan abadi yang tidak dapat diungkapkan oleh lisan
manusia.
#
{14}
{ومن يعص الله ورسوله ... } إلخ،
ويدخل في اسم المعصية الكفر فما دونه من المعاصي؛ فلا يكون فيها
شبهة للخوارج القائلين بكفر أهل المعاصي؛ فإنَّ الله تعالى رتَّب
دخول الجنة على طاعته وطاعة رسوله، ورتب دخول النار على معصيته
ومعصية رسوله؛ فمن أطاعه طاعة تامة؛ دخل الجنة بلا عذاب، ومن عصى
الله ورسوله معصية تامة يدخل فيها الشرك فما دونه؛ دخل النار
وخُلِّد فيها، ومن اجتمع فيه معصية وطاعة؛ كان فيه من موجب
الثواب والعقاب بحسب ما فيه من الطاعة والمعصية. وقد دلت النصوص
المتواترة على أن الموحِّدين الذين معهم طاعةُ التوحيد غيرُ
مخلَّدين في النار؛ فما معهم من التوحيد مانع لهم من الخلود
فيها.
(14) ﴾ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ
﴿ "Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya ... dst)
dan termasuk dalam kategori maksiat adalah kekufuran dan
kemaksiatan lain yang lebih ringan darinya, sehingga tidak ada
suatu syubhat pun dalam ayat itu bagi Khawarij yang berpendapat
bahwa pelaku-pelaku maksiat adalah kafir, karena Allah سبحانه
وتعالى telah menyiapkan surga bagi orang yang taat kepa-daNya
dan kepada RasulNya, dan menyiapkan neraka bagi yang durhaka
kepadaNya dan kepada RasulNya, maka barangsiapa yang menaati
Allah dengan ketaatan yang sempurna, ia akan masuk surga tanpa
siksaan, dan barangsiapa yang durhaka kepada Allah dengan
kedurhakaan yang sempurna dan termasuk dalam hal itu adalah
kesyirikan ataupun selainnya, ia akan masuk neraka dan ia kekal
di dalamnya, sedangkan barangsiapa yang bercampur pada-nya
kemaksiatan dan ketaatan, maka ia memiliki penyebab pahala dan
siksaan menurut apa yang ada padanya dari ketaatan dan
kemaksiatan tersebut. Dan sesungguhnya telah banyak nash-nash
mutawatir yang menunjukkan bahwa
(ahli maksiat dari kalangan) orang-orang
yang bertauhid yang melakukan ketaatan tauhid tidaklah kekal
dalam neraka, dan siapa pun yang memiliki ketauhidan, maka ia
menjadi penghalang baginya dari kekekalan dalam neraka.
{وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ
فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ
شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى
يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ
سَبِيلًا (15) وَاللَّذَانِ
يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا
وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ
تَوَّابًا رَحِيمًا (16)}
.
"Dan
(terhadap) para wanita yang
mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di
antara kamu
(yang me-nyaksikannya).
Kemudian apabila mereka telah memberi persak-sian, maka
kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai
mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain
kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji
di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian
jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang."
(An-Nisa`: 15-16).
#
{15} أي: النساء
{اللاتي يأتين الفاحشة}؛
أي:
الزنا، فوصفها بالفاحشة لشناعتها وقبحها.
{فاستشهدوا عليهن أربعة منكم}؛ أي: من رجالكم المؤمنين العدول.
{فإن شهدوا فأمسكوهنَّ في البيوت}؛ أي: احبسوهن عن الخروج الموجب
للريبة، وأيضاً؛ فإن الحبس من جملة العقوبات.
{حتَّى يتوفاهنَّ الموت}؛
أي:
هذا منتهى الحبس.
{أو يجعلَ الله لهن سبيلاً}؛
أي:
طريقاً غير الحبس في البيوت. فهذه الآية ليست منسوخة؛ فإنَّما هي
مُغَيَّاة إلى ذلك الوقت، فكان الأمر في أول الإسلام كذلك، حتى
جعل الله لهن سبيلاً، وهو رجم المحصن وجلد غير المحصن.
(15) Maksudnya adalah para wanita, ﴾
وَٱلَّٰتِي يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ
﴿ "yang mengerjakan perbuatan keji," yaitu zina, dan
menyebutnya se-bagai suatu yang keji akibat dari keberadaannya
yang menjijikkan dan keburukannya, ﴾
فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ
﴿ "maka hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu
(yang menyaksikannya)," yaitu dari
kaum laki-laki kalian yang beriman dan adil, ﴾
فَإِن شَهِدُواْ فَأَمۡسِكُوهُنَّ فِي ٱلۡبُيُوتِ
﴿ "kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah,"
yaitu tahanlah mereka agar tidak keluar yang menyebabkan
keraguan, dan juga bahwa penahanan itu termasuk di antara
hukuman untuk mereka, ﴾
حَتَّىٰ يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلۡمَوۡتُ
﴿ "sampai mereka menemui ajalnya" maksudnya, hal itu adalah
akhir dari penahanan tersebut, ﴾
أَوۡ يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلٗا ﴿ "atau sampai Allah
memberi jalan lain kepadanya," yaitu cara lain menghu-kum mereka
selain penahanan dalam rumah. Ayat ini tidaklah dimansukh, namun
sesungguhnya ayat itu terpulang kepada masa saat itu, di mana
pada masa awal-awal Islam, perkara hukuman itu adalah seperti
dalam ayat tersebut hingga Allah memberi jalan lain bagi mereka,
yaitu hukum rajam bagi yang telah berkeluarga dan cambuk bagi
yang belum menikah.
#
{16}
{و} كذلك
{اللذان يأتيانها}؛
أي:
الفاحشة {منكم}: من الرجال
والنساء. {فآذوهما}: بالقول
والتوبيخ والتعيير والضرب الرادع عن هذه الفاحشة. فعلى هذا يكون
الرجال إذا فعلوا الفاحشة يؤذَوْن والنساء يُحْبَسْن ويؤذين؛
فالحبس غايته للموت ، والأذية نهايتها إلى التوبة والإصلاح.
ولهذا قال:
{فإن تابا}؛
أي:
رجعا عن الذنب الذي فعلاه وندما عليه وعزما أن لا يعودا،
{وأصلحا}: العمل الدالَّ على صدق
التوبة. {فأعرضوا عنهما}؛
أي:
عن أذاهما.
{إن الله كان تواباً رحيماً}؛
أي:
كثير التوبة على المذنبين الخطائين، عظيم الرحمة والإحسان الذي
من إحسانه، وفَّقهم للتوبة، وقبلها منهم، وسامحهم عن ما صدر
منهم. ويؤخذ من هاتين الآيتين أن بَيِّنة الزنا
[لابُدَّ] أن تكون أربعة رجال مؤمنين،
ومن باب أولى وأحرى اشتراط عدالتهم؛ لأن الله تعالى شدَّد في أمر
هذه الفاحشة ستراً لعباده، حتى إنه لا يقبل فيها النساء منفردات
ولا مع الرجل ولا مع دون أربعة،
ولا بد من التصريح بالشهادة كما دلت على ذلك الأحاديث الصحيحة
وتومئ إليه هذه الآية:
لِمَا قال:
{فاستشهدوا عليهن أربعة منكم}؛ لم
يكتف بذلك، حتى قال:
{فإن شهدوا}؛
أي:
لا بدَّ من شهادة صريحة عن أمر يشاهد عِياناً من غير تعريض ولا
كناية. ويؤخذ منهما أن الأذَّية بالقول والفعل والحبس قد شرعه
الله تعزيراً لجنس المعصية التي يحصل به الزجر.
(16) ﴾ و ó
﴿ "Dan" demikian juga, ﴾ ا ل ّ َ ذ َ ا ن
ِ يَأۡتِيَٰنِهَا
﴿ "terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji" yaitu
zina, ﴾
مِنكُمۡ
﴿ "di antara kalian" dari kaum laki-laki maupun wanita,
﴾
فَـَٔاذُوهُمَاۖ
﴿ "maka berilah hukuman kepada keduanya" dengan perkataan,
ejekan, penghinaan, dan pemukulan yang mendidik untuk menjauhi
kekejian tersebut, dengan dasar ini, maka laki-laki yang
melakukan kekejian tersebut dihukum
(dengan hal-hal tersebut di atas)
sedangkan wanita di-tahan dan dihukum, dan penahanan itu
ujungnya adalah kematian sedangkan hukuman ujungnya adalah
taubat dan memperbaiki diri, karena itulah Allah berfirman,
﴾
فَإِن تَابَا
﴿ "Kemudian jika kedua-nya bertaubat" yaitu kembali dari dosa
yang telah mereka lakukan dan mereka menyesali perbuatan itu
lalu mereka bertekad untuk tidak mengulanginya kembali,
﴾
وَأَصۡلَحَا
﴿ "dan memperbaiki" perbuatan yang menunjukkan akan kebenaran
taubat mereka, ﴾
فَأَعۡرِضُواْ عَنۡهُمَآۗ
﴿ "maka biarkanlah mereka" yaitu dari menghukum
mereka.﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ تَوَّابٗا رَّحِيمًا
﴿ "Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang" yaitu banyak sekali menerima taubat yang dilakukan
orang-orang yang berdosa dan bersalah, sangat besar kasih
sayang dan perbuatan baikNya, di mana di antara perbuatan
baikNya itu adalah menganugerahkan kepada mereka untuk
bertaubat, lalu Allah menerima taubat mereka dan memaafkan apa
yang telah mereka lakukan. Faidah yang dapat diambil dari
kedua ayat tersebut adalah bahwa saksi perzinaan itu harus
terdiri dari empat orang laki-laki Mukmin, dan yang lebih
utama dan lebih patut adalah mensyarat-kan pada mereka adanya
sifat adil, karena Allah سبحانه وتعالى telah mengetat-kan
perkara kekejian ini demi menutup aib hamba-hambaNya, sehingga
Allah tidak akan menerima dalam perkara itu saksi dari empat
wanita saja, tidak pula bersama seorang laki-laki, dan tidak
juga kurang dari empat orang. Dan dalam bersaksi harus jelas
dan terang-terangan sebagaimana yang ditunjukkan oleh
hadits-hadits yang shahih dan diisyaratkan juga oleh ayat ini
ketika Allah ber-firman, ﴾
فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ
﴿ "Hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu
(yang menyaksikannya)" dan tidaklah
Allah mencukup-kan hanya sampai di situ hingga berfirman,
﴾
فَإِن شَهِدُواْ ﴿ "Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian" yaitu harus ada kesaksian yang pasti tentang suatu
perkara yang disaksikannya dengan mata kepala tanpa ada
kesamaran dan ketidakjelasan. Dan dapat diambil dari kedua ayat
itu juga bahwa hukuman dengan perkataan dan perbuatan serta
penahanan telah disyariat-kan oleh Allah sebagai suatu hukuman
bagi suatu bentuk kemak-siatan yang mengandung pelajaran
padanya.
{إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ
السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ
فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ
عَلِيمًا حَكِيمًا (17) وَلَيْسَتِ
التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى
إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ
وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ
أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
(18)}
.
"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi
orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang
kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang
diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari
orang-orang yang mengerjakan kejahatan
(yang) hingga apabila datang ajal kepada
seseorang di antara mereka,
(barulah) ia
me-ngatakan, 'Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.' Dan tidak
(pula diterima taubat) orang-orang yang
mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu
telah Kami sediakan siksa yang pedih."
(An-Nisa`: 17-18).
#
{17 ـ 18} توبة الله على عباده
نوعان: توفيقٌ منه للتوبة، وقبول لها بعد وجودها من العبد. فأخبر
هنا أن التوبة المستحقَّة على الله حقًّا أَحقَّه على نفسه كرماً
منه وجوداً لمن عمل السوء؛ أي: المعاصي
{بجهالة}؛
أي:
جهالة منه لعاقبتها وإيجابها لسخط الله وعقابه، وجهل منه لنظر
الله ومراقبته له، وجهل منه بما تؤول إليه من نقص الإيمان أو
إعدامه؛ فكل عاصٍ لله فهو جاهل بهذا الاعتبار وإن كان عالماً
بالتحريم، بل العلم بالتحريم شرطٌ لكونها معصيةً معاقَب عليها.
{ثم يتوبون من قريبٍ}: يُحتمل أن
يكونَ المعنى: ثمَّ يتوبون قبل معاينة الموت؛ فإن الله يقبل توبة
العبد إذا تاب قبل معاينة الموت والعذاب قطعاً، وأما بعد حضور
الموت؛ فلا يُقْبَلُ من العاصين توبةٌ ولا من الكفار رجوعٌ؛
كما قال تعالى عن فرعون:
{فلمَّا أدركَه الغرقُ قال آمنتُ أنه لا إله إلا الذي آمنت به
بنو إسرائيل وأنا من المسلمين ... }
الآية، وقال تعالى:
{فلما رأوا بأسنا قالوا آمنّا بالله وحده وكفرنا بما كنّا به
مشركين. فلم يكن ينفعُهم إيمانُهم لمَّا رأوا بأسنا سنةَ الله
التي قد خلتْ في عبادِهِ}، وقال هنا:
{وليست التوبة للذين يعملون السيئات}؛ أي: المعاصي فيما دون الكفر.
{حتى إذا حضر أحدهم الموت قال إني تبت الآن ولا الذين يموتون
وهم كفار فأولئك أعتدنا لهم عذاباً أليماً}، وذلك أن التوبة في هذه الحال توبةُ اضطرارٍ لا تنفع صاحِبَها،
إنما تنفع توبةُ الاختيار.
ويُحتمل أن يكون معنى قوله:
{من قريبٍ}؛
أي:
قريب من فعلهم للذنب الموجب للتوبة،
فيكون المعنى:
أنَّ مَن بادر إلى الإقلاع من حين صدور الذنب وأناب إلى الله
وندم عليه؛ فإنَّ الله يتوبُ عليه؛ بخلاف من استمرَّ على ذنبه
وأصرَّ على عيوبه حتى صارت فيه صفات راسخة؛ فإنه يَعْسُرُ عليه
إيجاد التوبة التامة، والغالب أنه لا يوفَّق للتوبة ولا ييسَّر
لأسبابها؛ كالذي يعمل السوء على علم قائم ويقين متهاون بنظر الله
إليه؛ فإنه يسدُّ على نفسه باب الرحمة. نعم؛ قد يوفِّق اللهُ
عبده المصرَّ على الذنوب عن عمد ويقينٍ للتوبة النافعة التي يمحو
بها ما سَلَفَ من سيئاته وما تقدَّم من جناياتِهِ، ولكنَّ الرحمة
والتوفيق للأول أقرب،
ولهذا ختم الآية الأولى بقوله:
{وكان الله عليماً حكيماً}؛ فمن
علمِهِ أنه يعلم صادقَ التوبة وكاذبَها، فيجازي كلاًّ منهما بحسب
ما استحقَّ بحكمتِهِ، ومن حكمته أن يوفِّق من اقتضت حكمتُهُ
ورحمتُهُ توفيقَه للتوبة، ويخذلَ من اقتضت حكمتُهُ وعدلُهُ عدم
توفيقه. والله أعلم.
(17) Taubat dari Allah terhadap
hamba-hambaNya ada dua macam; pertama, taufik dariNya untuk
melakukan taubat itu sendiri, dan kedua, penerimaanNya akan
taubat tersebut setelah dilakukan oleh sang hamba. Di sini,
Allah mengabarkan bahwa taubat yang hanya berhak dialamatkan
kepada Allah adalah haq yang hanya Allah peruntukkan bagi
DiriNya, sebagai kebaikan dan anugerah dariNya bagi orang yang
melakukan perbuatan dosa, yaitu kemaksiatan ﴾ بِجَهَٰلَةٖ
﴿ "lantaran kejahilan" yaitu kebodohan darinya akan akibat
perbuatan itu dan konsekuensi kemurkaan dan siksaan Allah
terhadapnya, kebodohannya akan pengawasan dan pengamatan Allah
terhadap dirinya, kebodohannya akan hasil dari perbuatannya
itu berupa berkurangnya atau hilangnya iman darinya, maka
setiap pelaku kemaksiatan terhadap Allah adalah jahil dengan
kondisi seperti itu walaupun ia mengetahui akan keharamannya,
bahkan mengetahui keharaman sesuatu adalah syarat suatu
kemaksiatan yang mendapat hukuman karenanya, ﴾
ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٖ
﴿ "yang kemudian mereka bertaubat dengan segera" kemungkinan
maknanya adalah; kemudian mereka bertaubat sebelum menyaksikan
kematian, karena Allah menerima taubat seorang hamba apabila
ia bertaubat sebelum ada kepastian bahwa ia akan mati dan
sebelum ada siksaan secara pasti, sedangkan se-telah hadirnya
kematian, maka tidaklah akan diterima dari pelaku kemaksiatan
suatu taubat pun dan tidak akan diterima pula ke-imanan dari
orang kafir, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang
Fir'aun, ﴾
حَتَّىٰٓ إِذَآ أَدۡرَكَهُ ٱلۡغَرَقُ قَالَ ءَامَنتُ أَنَّهُۥ
لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱلَّذِيٓ ءَامَنَتۡ بِهِۦ بَنُوٓاْ
إِسۡرَٰٓءِيلَ وَأَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ 90
﴿ "Hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam, berkatalah
dia, 'Saya percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Rabb yang
dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang
yang berserah diri (ke-pada Allah)'."
(Yunus: 90). Dan Allah تعالى berfirman
﴾
فَلَمَّا رَأَوۡاْ بَأۡسَنَا قَالُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ
وَحۡدَهُۥ وَكَفَرۡنَا بِمَا كُنَّا بِهِۦ مُشۡرِكِينَ 84 فَلَمۡ
يَكُ يَنفَعُهُمۡ إِيمَٰنُهُمۡ لَمَّا رَأَوۡاْ بَأۡسَنَاۖ سُنَّتَ
ٱللَّهِ ٱلَّتِي قَدۡ خَلَتۡ فِي عِبَادِهِۦۖ
﴿ "Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata,
'Kami ber-iman hanya kepada Allah saja, dan kami kafir kepada
sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.'
Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka
telah melihat siksa Kami. Itulah sun-nah Allah yang telah
berlaku terhadap hamba-hambaNya."
(Al-Mu`min: 84-85). Dan Allah berfirman di sini, ﴾
وَلَيۡسَتِ ٱلتَّوۡبَةُ لِلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ
﴿ "Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang
yang menger-jakan kejahatan," yaitu kemaksiatan-kemaksiatan
selain kekufuran, ﴾
حَتَّىٰٓ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ إِنِّي تُبۡتُ
ٱلۡـَٰٔنَ وَلَا ٱلَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمۡ كُفَّارٌۚ
أُوْلَٰٓئِكَ أَعۡتَدۡنَا لَهُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا
﴿ "hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara
mereka, (barulah) ia mengatakan,
'Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.' Dan tidak
(pula diterima taubat) orang-orang
yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang
itu telah Kami sediakan siksa yang pedih," yang demikian itu
karena taubat dalam kondisi seperti itu adalah taubat yang
terpaksa yang tidak berguna bagi pelakunya, padahal
sesungguhnya yang bermanfaat itu hanyalah taubat pilihan atau
kesadaran. Dan kemungkinan[17] juga
makna FirmanNya, ﴾
مِن قَرِيبٖ
﴿ "Dengan segera" yaitu segera setelah perbuatan dosa
tersebut yang meng-haruskan adanya taubat, maka maknanya
adalah, bahwa barang-siapa yang bersegera dalam menarik diri
sejak timbulnya dosa dan berserah diri kepada Allah serta
menyesali perbuatan itu, maka sesungguhnya Allah akan
mengampuni dosanya, berbeda halnya dengan orang yang terus
menerus dengan dosanya dan berkelan-jutan dalam aib-aibnya itu
hingga menjadi sebuah sifat yang me-nempel pada dirinya, maka
sesungguhnya akan sulit baginya untuk bertaubat secara total,
bahkan biasanya ia tidak mendapatkan taufik taubat dan tidak
dimudahkan kepada sebab-sebabnya, seperti seseorang yang
melakukan perbuatan dosa atas dasar ilmu yang jelas dan
keyakinan yang dibarengi dengan sikap meremehkan pengawasan
Allah terhadapnya, maka sesungguhnya ia telah me-nutup pintu
rahmat bagi dirinya sendiri. Memang benar, bahwa Allah
terkadang memberikan taufik kepada hambaNya yang selalu
melakukan dosa dan maksiat dengan kesengajaan dan keyakinan
menuju taubat yang berguna di mana Allah akan menghapus dengan
taubat itu apa-apa yang telah lalu berupa dosa-dosa dan
kejahatan-kejahatannya, akan tetapi rahmat dan taufik itu
lebih dekat kepada orang yang pertama, oleh karena itulah
Allah menutup ayat pertama tersebut dengan FirmanNya, ﴾
وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا ﴿ "Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Mahabijaksana" dan di antara ilmu Allah adalah bahwa Dia
mengetahui orang yang benar dalam bertaubat dan orang yang
berdusta, dan akan membalas setiap dari kedua orang tersebut
sesuai dengan hak keduanya menurut hikmahNya, dan di antara
hikmahNya adalah Allah akan memberikan taufik kepada orang yang
hikmah dan rahmatNya menghendaki orang tersebut kepada taubat,
dan Allah akan menghinakan orang yang hikmah dan keadilanNya
meng-hendaki tidak memberi taufik kepadanya, Wallahu a'lam.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ
تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ
لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ
يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ
تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
(19) وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ
زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا
فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا
وَإِثْمًا مُبِينًا (20) وَكَيْفَ
تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
(21)}
.
"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mem-pusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyu-sahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah), karena mungkin kamu
tidak menyukai se-suatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak. Dan jika kamu ingin mengganti istrimu
dengan istri yang lain, se-dang kamu telah memberikan kepada
seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah
kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta
dan dengan
(menang-gung) dosa yang
nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-istri? Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat."
(An-Nisa`: 19-21).
#
{19} كانوا في الجاهلية إذا مات
أحدهم عن زوجته؛ رأى قريبُهُ كأخيه وابن عمه ونحوهما ـ أنه أحقُّ
بزوجته من كل أحدٍ، وحماها عن غيره، أحبت أو كرهت؛ فإن أحبَّها؛
تزوجها على صداق يحبُّه دونها، وإن لم يرضها؛ عَضَلَها فلا
يزوِّجها إلاَّ مَن يختاره هو، وربما امتنع من تزويجها حتى تبذل
له شيئاً من ميراث قريبه أو من صداقها. وكان الرجل أيضاً يعضُلُ
زوجته التي يكون يكرهُها ليذهبَ ببعض ما آتاها.
فنهى الله المؤمنين عن جميع هذه الأحوال إلا حالتين:
إذا رضيت واختارت نكاح قريب زوجها الأول كما هو مفهومُ قولِهِ:
{كَرْهاً}. وإذا أتَيْنَ بفاحشة
مبيِّنةٍ كالزنا والكلام الفاحش وأذيتها لزوجها؛ فإنه في هذه
الحال يجوز له أن يعضُلَها عقوبةً لها على فعلها، لتفتدي منه إذا
كان عضلاً بالعدل. ثم قال:
{وعاشروهنَّ بالمعروف}: وهذا يشمل
المعاشرةَ القوليَّة والفعليَّة، فعلى الزوج أن يعاشر زوجته
بالمعروف من الصحبة الجميلة وكفِّ الأذى وبذل الإحسان وحسن
المعاملة، ويدخل في ذلك النفقة والكسوة ونحوهما، فيجب على الزوج
لزوجته المعروف من مثلِهِ لمثلها في ذلك الزمان والمكان، وهذا
يتفاوت بتفاوت الأحوال.
{فإن كرهتموهنَّ فعسى أن تكرهوا شيئاً ويجعلَ الله فيه خيراً
كثيراً}؛ أي: ينبغي لكم أيها الأزواج أن
تُمْسِكوا زوجاتِكم مع الكراهة لهنَّ؛
فإنَّ في ذلك خيراً كثيراً:
من ذلك امتثالُ أمر الله وقَبولُ وصيَّته التي فيها سعادة الدنيا
والآخرة. ومنها: أن إجباره نفسه مع عدم
محبَّته لها فيه مجاهدةُ النفس والتخلُّق بالأخلاق الجميلة،
وربما أن الكراهة تزول وتخلُفُها المحبةُ كما هو الواقع في ذلك،
وربما رُزِقَ منها ولداً صالحاً، نفع والديه في الدنيا والآخرة.
(19) Pada zaman jahiliyah, bila salah
seorang di antara mereka meninggal dunia dengan meninggalkan
seorang istri, nis-caya karib-kerabatnya seperti saudara
laki-lakinya, anak laki-laki pamannya atau semisalnya memandang
bahwa dialah yang paling berhak atas diri istri mayit tersebut
dari siapa pun, dan melindu-nginya dari selain dirinya, baik ia
suka maupun tidak, dan bila ia menyukai istri mayit tersebut,
maka akan dinikahinya dengan mahar yang dikehendakinya tanpa
persetujuan wanita tersebut, namun bila ia tidak menyukainya, ia
akan menjauhinya dan tidak akan ia kawinkan kecuali dengan
seseorang yang menjadi pilihan-nya sendiri, atau bahkan ia tidak
akan mengawinkannya hingga ia diberi oleh wanita itu beberapa
harta dari warisan karibnya yang meninggal tadi atau dari
maharnya, dan seorang laki-laki juga akan menjauhi istrinya yang
ia benci agar ia dapat pergi dengan sebagian harta yang telah ia
berikan kepada istrinya tersebut. Allah سبحانه وتعالى kemudian
melarang kaum Muslimin dari melakukan hal-hal seperti itu
kecuali dalam dua kondisi; apabila ia rela dan memilih untuk
menikah dengan kerabat suaminya yang pertama sebagaimana
pemahaman terbalik,
(Mafhum Mukhalafah) dari Fir-manNya, ﴾
كَرۡهٗاۖ
﴿ "Dengan jalan paksa." Dan bila mereka melakukan kekejian
yang nyata seperti perzinaan, perkataan yang keji dan
perlakuan buruk terhadap suaminya, maka dalam kondisi seperti
ini boleh baginya menyusahkan wanita tersebut sebagai suatu
hukuman baginya karena perbuatannya tersebut, dan agar ia
me-nebus kesalahan dirinya, tetapi dengan syarat tindakan
menyusah-kan istri tersebut dilakukan secara adil. Kemudian
Allah berfirman, ﴾
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
﴿ "Dan bergaullah dengan mereka secara patut," hal ini
mencakup pergaulan dengan perkataan maupun perbuatan, karena
itu suami wajib menggauli istrinya dengan baik, berupa
hubungan yang baik, mencegah ada-nya gangguan, memberikan
kebaikan, dan ramah dalam bermua-malah, dan termasuk dalam hal
itu juga adalah memberi nafkah serta pakaian dan semacamnya.
Suami wajib memberikan kebu-tuhan istri sesuai standar
(istri semisalnya) yang disesuaikan
dengan kemampuan suami pada masa dan tempat tersebut, dan hal
ini tentunya akan berbeda sesuai dengan perbedaan kondisinya.
﴾
فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـٔٗا
وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا ﴿ "Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah), karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak," maksudnya, seyogyanya bagi kalian wahai
para suami untuk tetap bersama istri-istri kalian walaupun
kalian membenci mereka, karena dalam hal tersebut tersimpan
kebaikan yang banyak, dan di antara kebaikan itu adalah
pelaksanaan perintah Allah dan menerima wasiatNya, di mana dalam
hal itu menjadi penyebab kebahagiaan dunia dan akhirat. Di
samping itu pemaksaan dirinya untuk bertahan padahal ia
membencinya adalah sebuah perjuangan melawan hawa nafsu dan
menghiasi diri dengan akhlak yang luhur, dan mungkin saja
kebencian itu akan lenyap dan akan diganti dengan kecintaan
sebagaimana yang nyata terjadi, dan mungkin juga darinya ia akan
diberikan rizki yaitu anak yang shalih yang berguna bagi kedua
orang tuanya di dunia dan akhirat.
#
{20} وهذا كله مع الإمكان في
الإمساك وعدم المحذور، فإنْ كان لا بدَّ من الفراق وليس للإمساك
محلٌّ؛ فليس الإمساك بلازم، بل متى
{أردتم استبدال زوج مكان زوج}؛ أي: تطليق زوجة وتزوُّج أخرى؛
أي:
فلا جُناح عليكم في ذلك ولا حرج، ولكن إذا
{آتيتم إحداهن}؛
أي:
المفارِقة أو التي تزوجها
{قنطاراً}؛
أي:
مالاً كثيراً.
{فلا تأخذوا منه شيئاً}، بل
وفِّروه لهن ولا تَمْطُلوا بهنَّ. وفي هذه الآية دلالة على عدم
تحريم كثرة المهر، مع أن الأفضل واللائق الاقتداء بالنبي - صلى
الله عليه وسلم - في تخفيف المهر، ووجه الدلالة أنَّ الله أخبر
عن أمر يقعُ منهم ولم ينكِرْه عليهم، فدل على عدم تحريمه. لكن قد
ينهى عن كثرة الصداق إذا تضمن مفسدة دينية وعدم مصلحةٍ
تقاوم. ثم قال:
{أتأخذونه بهتاناً وإثماً مبيناً}؛
فإنَّ هذا لا يحلُّ، ولو تحيَّلتم عليه بأنواع الحيل؛ فإن إثمه
واضح.
(20) Ini semua dengan kondisi yang
memungkinkan bagi-nya untuk tetap bersama dan tidak adanya
perkara yang diharam-kan, namun bila harus berpisah dan tidak
mungkin untuk bersama lagi, maka tidaklah wajib untuk bertahan
bersama, akan tetapi ketika ﴾ أَرَدتُّمُ ٱسۡتِبۡدَالَ زَوۡجٖ
مَّكَانَ زَوۡجٖ
﴿ "kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain,"
yaitu mentalak seorang istri dan menikahi wanita yang lain,
artinya tidak ada dosa bagi kalian dalam hal ter-sebut dan
tidak ada salahnya, akan tetapi bila ﴾
وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَىٰهُنَّ
﴿ "telah memberikan kepada seseorang di antara mereka," yaitu
yang kalian talak atau yang kalian nikahi, ﴾
قِنطَارٗا
﴿ "harta yang banyak," yaitu harta yang banyak, ﴾
فَلَا تَأۡخُذُواْ مِنۡهُ شَيۡـًٔاۚ
﴿ "maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikit pun," akan tetapi kalian harus membiarkan itu semua
untuknya dan janganlah kalian mengung-kit-ungkitnya. Ayat ini
menunjukkan bahwa tidaklah haram memberikan mahar yang besar,
walaupun sesungguhnya lebih baik dan lebih utama adalah
mencontoh Nabi ﷺ dalam meringankan mahar. Dan hal itu dapat
dipahami dari ayat ini bahwa Allah mengabarkan tentang suatu
perkara yang terjadi pada mereka namun tidak mengingkari
mereka akan hal tersebut, dengan demikian hal itu menunjukkan
bahwa perkara tersebut tidaklah haram hukumnya. Akan tetapi
mahar yang besar dapat saja dilarang apabila mengandung
kemudharatan dalam agama dan tidak ada maslahat yang sepadan,
kemudian Allah berfirman, ﴾
أَتَأۡخُذُونَهُۥ بُهۡتَٰنٗا وَإِثۡمٗا مُّبِينٗا ﴿ "Apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan
(menanggung) dosa yang nyata?"
Karena sesung-guhnya hal tersebut tidaklah halal, walaupun
kalian melakukan tipu daya dengan berbagai trik; sesungguhnya
dosanya telah jelas.
#
{21} وقد بيَّن تعالى حكمة ذلك
بقوله:
{وكيف تأخذونه وقد أفضى بعضكم إلى بعض وأخذن منكم ميثاقاً
غليظاً}، وبيان ذلك أن الزوجة قبل عقد النكاح محرمةٌ على الزوج، ولم
ترضَ بحلِّها له إلا بذلك المهر الذي يدفعُهُ لها؛ فإذا دخل بها
وأفضى إليها وباشرها المباشرة التي كانت حراماً قبل ذلك والتي لم
ترض ببذلها إلاَّ بذلك العوض؛ فإنَّه قد استوفى المعوَّض، فثبت
عليه العِوَض؛ فكيف يَسْتَوفي المعوَّض ثم بعد ذلك يرجع على
العوض؟ هذا من أعظم الظلم والجور، وكذلك أخذ الله على الأزواج
ميثاقاً غليظاً بالعقد والقيام بحقوقها.
ثم قال تعالى:
(21) Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى
telah menjelaskan hikmah akan hal tersebut dengan FirmanNya,﴾
وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ
وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا ﴿ "Bagaimana kamu akan
mengambilnya kem-bali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-istri. Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat." Penjelasannya adalah bahwa istri
sebelum akad nikah adalah haram bagi suami, dan tidaklah ia
merelakan dirinya agar halal baginya kecuali dengan mahar
tersebut yang telah diberikan suami kepadanya, dan bila ia telah
bercampur dengannya, menggaulinya dan menyentuhnya dengan
sentuhan yang awalnya adalah haram sebelum itu dan tidaklah ia
mau menyerahkannya kecuali dengan kompensasi, sesungguhnya ia
telah merenggut hal yang harus diberi kompensasi, maka wajiblah
atasnya memberikan kompensasi tersebut, lalu bagaimana mungkin
ia mengambil hal yang harus diberikan kompensasi kemudian
setelah itu ia mau menarik kembali kompensasi itu darinya?
Inilah kezhaliman dan kesewenang-wenangan yang paling besar,
Allah juga telah mengambil perjanjian yang kuat dari para suami
dengan adanya akad dan
(perintah untuk) memenuhi hak-hak
istrinya, kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman,
{وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا
وَسَاءَ سَبِيلًا (22)}
.
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
se-buruk-buruk jalan
(yang ditempuh)."
(An-Nisa`: 22).
#
{22} أي: لا تتزوَّجوا من النساء
ما تزوَّجهنَّ آباؤكم؛ أي: الأب وإن
علا. {إنه كان فاحشة}؛
أي:
أمراً قبيحاً يفحُشُ ويعظُمُ قبحُهُ.
{ومَقْتاً}: من الله لكم، ومن
الخلق، بل يَمْقُتُ بسبب ذلك الابن أباه والأب ابنه مع الأمر
ببرِّه. {وساء سبيلاً}؛
أي:
بئس الطريق طريقاً لمن سلكه؛ لأنَّ هذا من عوائد الجاهلية التي
جاء الإسلام بالتنزُّه عنها والبراءة منها.
(22) Maksudnya, janganlah kalian
menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh bapak-bapak
kalian, artinya ayah dan se-terusnya ke atas, ﴾ إِنَّهُۥ كَانَ
فَٰحِشَةٗ
﴿ "sesungguhnya perbuatan itu amat keji" yaitu perkara yang
buruk, di mana hal itu adalah keji dan keburukannya pun sangat
besar, ﴾
وَمَقۡتٗا
﴿ "dan dibenci" oleh Allah dan makhluk, bahkan karena hal itu
seorang anak akan membenci ayahnya, dan seorang bapak akan
membenci anaknya padahal ada perintah untuk berbakti
kepadanya, ﴾
وَسَآءَ سَبِيلًا ﴿ "dan seburuk-buruk jalan
(yang ditempuh)" yaitu jalan terjelek
bagi orang yang menempuh jalan tersebut, karena hal tersebut di
antara kebiasaan-kebiasaan jahiliyah di mana Islam datang untuk
membersihkannya dan melepaskan diri darinya.
{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ
الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي
أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي
حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا
مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
(23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ
تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا
تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (24)}
.
"Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan,
ibu-ibu istrimu
(mertua), anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri; tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu menga-wininya;
(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak
kandungmu
(menantu), dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perem-puan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lam-pau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa`: 23-24). "Dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita
yang ber-suami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah mene-tapkan hukum itu)
sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan diha-lalkan bagi kamu selain
yang demikian
(yaitu) mencari
istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.
Maka istri-istri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikan-lah
kepada mereka maharnya
(dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang
kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana."
(An-Nisa`: 24).
#
{23} فأما المحرمات في النسب؛
فهنَّ السبعُ اللاتي ذكرهنَّ الله:
الأمُّ: يدخل فيها كلُّ من لها عليك ولادةٌ وإن بَعُدَتْ. ويدخل
في البنت كلُّ من لك عليها ولادة. والأخوات الشقيقات أو لأبٍ أو
لأمٍ. والعمة: كلُّ أختٍ لأبيك أو
لجدِّك وإن علا. والخالة: كلُّ أخت
لأمِّك أو جدَّتك وإن علت وارثة أم لا. وبناتُ الأخ وبناتُ
الأخت؛ أي: وإن نزلت. فهولاء هنَّ
المحرَّمات من النسب بإجماع العلماء؛ كما هو نصُّ الآية الكريمة،
وما عداهنَّ؛ فيدخُلُ في قولِهِ:
{وأحِلَّ لكم ما وراء ذلكم}، وذلك
كبنت العمَّة والعمِّ وبنت الخال والخالة. وأما المحرَّمات
بالرَّضاع؛ فقد ذكر الله منهنَّ الأمَّ والأخت، وفي ذلك تحريم
الأم، مع أنَّ اللبن ليس لها، إنَّما هو لصاحب اللبن، دلَّ
بتنبيهه على أن صاحب اللبن يكون أباً للمرتضع؛ فإذا ثبتت الأبوة
والأمومة؛ ثبت ما هو فرعٌ عنهما؛ كأخوتهما وأصولهما وفروعهما ،
وقال النبي - صلى الله عليه وسلم -:
«يحرُمُ من الرَّضاع ما يحرُمُ من النسب»
، فينتشر التحريم من جهة المرضعة ومَن له اللبن كما ينتشر في
الأقارب وفي الطفل المرتضع إلى ذريَّته فقط، لكن بشرط أن يكون
الرضاعُ خمسَ رَضَعات في الحولين؛ كما بيَّنت السنة. وأما
المحرمات بالصهر؛ فهنَّ أربع: حلائل
الآباء وإن علوا، وحلائل الأبناء وإن نزلوا وارثين أو محجوبين،
وأمهات الزوجة وإن علون؛ فهؤلاء الثلاث يَحْرُمْنَ بمجرَّد
العقد، والرابعة الربيبة، وهي بنت زوجته وإن نزلت؛ فهذه لا
تحرُمُ حتى يدخلَ بزوجتِهِ؛
كما قال هنا:
{وربائبُكُمُ اللاَّتي في حجورِكُم من نسائِكُمُ اللاتي دخلتم
بهن ... }
الآية. وقد قال الجمهور: إن قوله:
{اللاتي في حجوركم}: قيدٌ خَرَجَ
بمخرَج الغالب لا مفهوم له؛ فإن الربيبة تحرُمُ ولو لم تكن في
حجره، ولكن للتقييد بذلك فائدتان:
إحداهما: [فيه] التنبيه على الحكمة في
تحريم الربيبة، وأنها كانت بمنزلة البنت؛ فمن المستقبح
إباحتها. والثانية: فيه دلالة على جواز
الخَلْوة بالربيبة، وأنها بمنزلة من هي في حجره من بناته ونحوهن.
والله أعلم. وأمّا المحرمات بالجمع؛ فقد ذكر الله الجمع بين
الأختين وحرَّمه، وحرَّم النبي - صلى الله عليه وسلم - الجمع بين
المرأة وعمتها أو خالتها ؛ فكل امرأتين بينهما رحمٌ محرَّم، لو
قُدِّرَ إحداهُما ذكراً والأخرى أنثى حَرُمَتْ عليه؛ فإنه يحرُمُ
الجمع بينهما، وذلك لما في ذلك من أسباب التقاطع بين الأرحام.
(23) Ayat-ayat yang mulia ini mengandung
penjelasan tentang wanita-wanita yang diharamkan karena
pertalian darah, dan wanita-wanita yang diharamkan karena
persusuan dan wanita-wanita yang diharamkan karena perkawinan
dan wanita-wanita yang diharamkan karena penyatuan dan juga
wanita-wanita yang dihalalkan. Adapun wanita-wanita yang
diharamkan karena pertalian darah, mereka ada tujuh kelompok
sebagaimana yang disebutkan oleh Allah,
yaitu:
Ibu, dan termasuk dalam makna ibu adalah setiap orang yang
menjadi sebab kelahiran dirimu walaupun jauh. Kemudian anak
perempuan, dan termasuk dalam makna anak perempuan adalah setiap
orang yang engkau menjadi penyebab kelahirannya. Saudara
perempuan kandung atau seayah atau seibu. Saudara perempuan ayah
yaitu seluruh saudara perempuan ayah Anda atau kakek Anda dan
seterusnya ke atas. Saudara perempuan ibu, yaitu setiap saudara
perempuan ibu Anda atau nenek Anda dan seterusnya ke atas yang
menjadi ahli waris ataupun tidak. Keponakan perempuan dari
saudara laki-laki dan keponakan perempuan dari saudara perempuan
dan seterusnya ke bawah. Mereka semua itu adalah wanita-wanita
yang diharamkan karena pertalian darah menurut ijma' para ulama,
sebagaimana juga nash ayat yang mulia di atas, sedangkan selain
dari mereka, maka ter-masuk dalam Firman Allah, ﴾ وَأُحِلَّ
لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ
﴿ "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian" yang
demikian itu seperti anak perem-puan bibi atau paman dari ayah
atau anak perempuan bibi atau paman dari ibu. Adapun
wanita-wanita yang diharamkan karena persusuan, maka
sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى telah menyebutkan pada ayat
di atas yaitu di antara mereka adalah ibu dan saudara
perempuan, hal itu adalah sebuah dalil tentang haramnya
menikahi ibu, padahal hak air susunya bukanlah miliknya,
sesungguhnya air susu itu adalah hak yang memiliki susu,
indikasi ayat tersebut menunjukkan bahwa pemilik dari air susu
itu adalah ayah bagi anak susuan tersebut, lalu bila telah
terbukti dalam hal tersebut penamaan ayah dan ibu, maka harus
terbukti pula hal-hal yang menjadi cabang dari kedua label
tersebut, seperti saudara-saudara perempuan keduanya, kakek
nenek keduanya, dan keturunan keduanya, dan Nabi ﷺ telah
bersabda, يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ
النَّسَبِ. "Diharamkan dari persusuan apa yang diharamkan dari
keturunan."[18] Dengan demikian
tersebarlah pengharaman itu dari pihak ibu yang menyusui dan
pemilik air susu tersebut, sebagaimana juga tersebar pada
sanak famili pada anak tersebut hingga kepada anak
keturunannya saja, akan tetapi dengan syarat persusuan
tersebut adalah sebanyak lima kali susuan dalam usia dua
tahun, sebagai-mana yang telah dijelaskan oleh sunnah."[19]
Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena pernikahan adalah
empat kelompok, yaitu istri-istri bapak dan seterusnya ke
atas, istri-istri anak dan seterusnya ke bawah, baik yang
menjadi ahli waris maupun yang terhalang, ibu dari istri dan
seterusnya ke atas, dan mereka yang disebut tadi adalah
diharamkan dengan sempurnanya akad nikah, sedangkan yang
keempat adalah anak perempuan tiri, yaitu anak perempuan
istrinya dan seterusnya ke bawah, kelompok yang satu ini
tidaklah haram kecuali bila suami telah menggauli istrinya,
sebagaimana Allah berfirman dalam ayat ini, ﴾
وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ
ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ
﴿ "Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri
yang telah kamu campuri" dan jumhur ulama juga telah berkata,
"Sesungguhnya Firman Allah, ﴾
ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم ﴿ "Yang dalam pemeliharaanmu" sebuah
pengikatan yang keluar dari perkara yang sering terjadi hingga
tidak memiliki arti dan makna, karena sesungguhnya anak
perempuan tiri itu tetap haram
(dinikahi) walaupun tidak berada dalam
pemeliharaan. Namun ikatan tersebut memiliki dua faidah;
pertama, menyimpan sebuah indikasi tentang hikmah dari
pengharaman anak perem-puan tiri dan bahwa ia adalah dalam
posisi anak kandung, maka sangatlah jelek menjadikannya halal
untuk dinikahi, kedua; ikatan itu menyimpan sebuah isyarat
tentang bolehnya berkhalwat dengan anak perempuan tiri, karena
ia adalah dalam posisi orang-orang yang ada dalam
pemeliharaannya seperti anak-anak perempuan-nya sendiri dan
semisalnya, Wallahu a'lam. Sedangkan wanita-wanita yang
diharamkan karena peng-himpunan, maka Allah telah menyebutkan
tentang penyatuan dua saudara perempuan kemudian Allah
mengharamkannya, dan Nabi ﷺ juga telah mengharamkan penyatuan
antara seorang perempuan dengan ammah
(bibi dari pihak ayah atau khalah (bibi dari pihak ibu)[20], maka setiap dua perempuan yang
disatukan yang memiliki ikatan pertalian darah adalah
diharamkan, seandainya diumpama-kan salah seorangnya adalah
laki-laki dan lainnya adalah perem- puan, maka yang perempuan
haram bagi yang laki-laki, karena itu diharamkan menyatukan
antara keduanya, yang demikian itu karena akan menjadi salah
satu sebab di antara sebab-sebab putus-nya tali kekeluargaan.
#
{24} ومن المحرَّمات في النكاح
{المحصناتُ من النساء}؛
أي:
ذوات الأزواج؛ فإنَّه يَحْرُمُ نكاحهنَّ ما دمنَ في ذمة الزوج
حتى تَطْلُقَ وتنقضيَ عِدَّتُها؛
{إلا ما ملكت أيمانكُم}؛
أي:
بالسبي؛ فإذا سُبِيَتِ الكافرةُ ذات الزوج؛ حلَّت للمسلمين بعد
أن تُسْتَبْرأ، وأما إذا بيعت الأمة المزوَّجةَ أو وُهِبَتْ؛
فإنَّه لا ينفسخُ نكاحُها؛ لأنَّ المالك الثاني نزل منزلة الأول،
ولقصة بَريرة حين خيَّرها النبيُّ - صلى الله عليه وسلم -.
وقوله:
{كتاب الله عليكم}؛
أي:
الزموه واهتدوا به؛ فإن فيه الشفاء والنور، وفيه تفصيل الحلال من
الحرام. ودخل في قوله:
{وأحِلَّ لكم ما وراء ذلكم}: كلُّ
ما لم يُذْكَرْ في هذه الآية؛ فإنه حلال طيب؛ فالحرام محصورٌ،
والحلال ليس له حدٌّ ولا حصرٌ؛ لطفاً من الله ورحمة وتيسيراً
للعباد. وقوله:
{أن تبتغوا بأموالكم}؛
أي:
تطلُبوا مَن وَقَعَ عليه نظرُكُم واختيارُكُم من اللاتي أباحهنَّ
الله لكم حالة كونكم
{محصنينَ}؛
أي:
مستعفين عن الزنا ومعفين نساءكم.
{غير مسافحين}: والسفحُ سفحُ الماء
في الحلال والحرام؛ فإنَّ الفاعل لذلك لا يحصن زوجته؛ لكونه وضع
شهوته في الحرام، فتضعف داعيته للحلال، فلا يبقى محصناً لزوجته.
وفيها دلالة على أنه لا يزوَّج غيرُ العفيف؛
لقوله تعالى:
{الزاني لا ينكح إلا زانيةً أو مشركةً والزانيةُ لا ينكِحُها
إلا زانٍ أو مشركٌ}. {فما استمتعتم به منهن}؛
أي:
من تزوَّجْتُموها.
{فآتوهنَّ أجورهنَّ}؛
أي:
الأجور في مقابلة الاستمتاع، ولهذا إذا دخل الزوج بزوجته؛ تقرَّر
عليه صداقها {فريضةً}؛
أي:
إتيانكم إياهنَّ أجورهنَّ فرضٌ فرضه الله عليكم، ليس بمنزلة
التبرُّع الذي إن شاء أمضاه وإن شاء ردَّه،
أو معنى قوله:
{فريضةً}؛
أي:
مقدَّرة، قد قدَّرتموها، فوجبت عليكم؛ فلا تنقصوا منها شيئاً.
{ولا جُناح عليكم فيما تراضيتم به من بعد الفريضة}؛ أي: بزيادةٍ من الزوج أو إسقاطٍ من
الزوجة عن رضا وطيب نفس. هذا قولُ كثيرٍ من المفسِّرين.
وقال كثيرٌ منهم:
إنها نزلت في متعة النساء التي كانت حلالاً في أول الإسلام، ثم
حرَّمها النبي - صلى الله عليه وسلم -، وأنه يؤمر بتوقيتها
وأجرها، ثم إذا انقضى الأمد الذي بينهما، فتراضيا بعد الفريضة؛
فلا حرج عليهما. والله أعلم.
{إنَّ الله كان عليماً حكيماً}؛ أي: كامل العلم واسعه، كامل الحكمة؛
فمن علمه وحكمته شرع لكم هذه الشرائع، وحدَّ لكم هذه الحدود
الفاصلة بين الحلال والحرام.
ثم قال تعالى:
(24) Dan di antara wanita-wanita yang
diharamkan dinikahi adalah, ﴾ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ
﴿ "dan
(diharamkan juga kamu mengawini)
wanita yang bersuami" yaitu wanita-wanita yang telah memiliki
suami, sesungguhnya diharamkan untuk menikahi mereka selama
masih dalam pengayoman suami mereka hingga mereka diceraikan
dan selesai masa iddahnya, ﴾
إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۖ
﴿ "kecuali budak-budak yang kamu miliki" yaitu
(yang didapatkan) dari bagian tawanan
pe-rang, artinya bila seorang perempuan kafir yang bersuami
tertawan, maka halal bagi kaum Muslimin setelah perempuan itu
dinyatakan terlepas dari kehamilan, adapun bila seorang budak
perempuan yang telah menikah dijual atau dihibahkan, maka
status pernikah-annya tidaklah batal, karena pemilik yang
kedua
(yang membeli-nya atau menerimanya)
berposisi seperti posisi pemilik pertama
(yaitu hanya pemilik). Ini berdasarkan
kisah budak perempuan Barirah ketika Nabi ﷺ memberikannya
pilihan[21]. FirmanNya, ﴾
كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡۚ
﴿ "(Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapanNya atas kamu" yaitu, konsistenlah padanya
dan tetapilah ia sebagai petunjuk, karena hal itu mengandung
penyem-buhan dan cahaya, dan juga mengandung penjelasan secara
rinci antara yang halal dan yang haram. Dan termasuk dalam
FirmanNya, ﴾
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ
﴿ "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian," setiap
perempuan yang tidak disebutkan dalam ayat tersebut adalah
halal lagi baik, jadi yang haram itu terbatas, sedangkan yang
halal tidaklah memiliki batas, sebagai sebuah kasih sayang
dari Allah dan rahmat serta ke-mudahan bagi hamba. Firmannya,
﴾
أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم
﴿ "(Yaitu) mencari istri-istri dengan
hartamu" yaitu kalian memilih perempuan yang menjadi pilihan
dan kesukaan kalian dari perempuan-perempuan yang telah
dihalalkan oleh Allah bagi kalian ketika kalian dalam keadaan
﴾
مُّحۡصِنِينَ
﴿ "ingin mengawini mereka" yakni menjaga diri dari perzinaan
dan menjaga diri istri-istri kalian, ﴾
غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ
﴿ "bukan untuk berzina" as-Safhu adalah menumpahkan air
sperma pada yang halal maupun yang haram, sesungguhnya pelaku
hal tersebut (perzinaan) tidaklah
dikatakan menjaga istrinya, karena ia telah melampiaskan
syahwatnya pada yang haram, hingga lemahlah hasratnya kepada
yang halal, akhirnya tidaklah ia mampu menjaga dirinya untuk
istrinya. Di dalam ayat ini juga terdapat isyarat yang
menunjukkan bahwa orang yang tidak menjaga dirinya janganlah
dinikahi, atas dasar Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾
ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةٗ
وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٞۚ
﴿ "Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang
ber-zina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik."
(An-Nur: 3).
﴾
فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ
﴿ "Maka istri-istri yang telah kamu nikmati
(cam-puri) di antara mereka" yaitu
perempuan-perempuan yang telah kalian nikahi, ﴾
فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
﴿ "berikanlah kepada mereka maharnya,
(dengan sempurna)" yaitu imbalan
sebagai suatu timbal-balik
(boleh-nya) menikmati, oleh karena itu
apabila seorang suami telah men-campuri istrinya, maka
wajiblah atasnya memberikan mahar ke-padanya, ﴾
فَرِيضَةٗۚ
﴿ "sebagai suatu kewajiban," maksudnya pemberian mahar yang
dilakukan oleh kalian kepada mereka adalah sebuah kewajiban
yang telah diwajibkan oleh Allah atas kalian, dan bukan bentuk
penghibahan di mana bila mau ia membayarkannya dan bila
menghendaki ia menahannya, atau arti dari Firman Allah سبحانه
وتعالى, ﴾
فَرِيضَةٗۚ
﴿ "Sebagai suatu kewajiban," yaitu yang telah ditentukan, di
mana kalian telah menentukannya, maka wajiblah atas kalian
(untuk membayarnya) dan janganlah
kalian kurangi darinya sedikit pun. ﴾
وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا تَرَٰضَيۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ
ٱلۡفَرِيضَةِۚ
﴿ "Dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
telah saling merelakannya," yaitu dengan tambahan oleh pihak
suami atau pengguguran dari pihak istri atas dasar keridhaan
dan kerelaan jiwa, inilah pendapat dari sebagian besar para
ulama ahli tafsir. Dan sebagian besar dari me-reka berkata
bahwa sesungguhnya ayat ini turun untuk menerang-kan tentang
Nikah Mut'ah terhadap perempuan di mana pada awal-awal Islam
hukumnya adalah halal, kemudian Nabi ﷺ mengharam-kannya, bahwa
beliau ﷺ memerintahkan agar menentukan waktu dan maharnya,
kemudian bila telah berlalu masa yang ada di antara keduanya
dan mereka berdua saling ridha setelah menentukan mahar
tersebut, maka itu tidaklah haram bagi mereka berdua, Wallahu
a'lam. ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana" yaitu ilmu yang sempurna dan luas
serta hikmah yang sempurna, dan di antara ilmu dan hikmahNya
adalah Allah mensyariatkan bagi kalian syariat-syariat ini, dan
menentukan hukum-hukum yang menjelaskan secara terperinci antara
halal dan haram, kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman,
{وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ
الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ
أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ
وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ
أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى
الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ
الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (25)}
.
"Dan barangsiapa di antara kamu
(orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia
boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu
miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebagian kamu adalah dari
sebagian yang lain, karena itu kawini-lah mereka dengan seizin
tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut,
sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan
pezina dan bukan
(pula) wanita yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka
telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan
perbuatan yang keji
(zina), maka mereka
mendapatkan separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka
yang bersuami.
(Kebolehan mengawini budak) itu, adalah
bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri
(dari perbuatan zina) di antara kamu,
dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa`: 25).
#
{25} أي: ومن لم يستطع الطَّول ـ
الذي هو المهر ـ لنكاح المحصنات؛ أي:
الحرائر المؤمنات، وخاف على نفسه العنت؛
أي:
الزنا والمشقة الكثيرة؛ فيجوز له نكاح الإماء المملوكات
المؤمنات، وهذا بحسب ما يظهر، وإلاَّ؛ فالله أعلم بالمؤمن الصادق
من غيره؛ فأمور الدنيا مبنيَّة على ظواهر الأمور، وأحكام الآخرة
مبنيَّة على ما في البواطن.
{فانكِحوهنَّ}؛
أي:
المملوكات {بإذن أهلهنَّ}؛
أي:
سيِّدهن واحداً أو متعدداً.
{وآتوهنَّ أجورهنَّ بالمعروف}؛ أي: ولو كنَّ إماءً؛ فإنه كما يجب
المهر للحرة؛ فكذلك يجب للأمة، ولكن لا يجوز نكاح الإماء إلاَّ
إذا كنَّ {محصنات}؛
أي:
عفيفات عن الزنا،
{غير مسافِحاتٍ}؛
أي:
زانيات علانية،
{ولا متَّخذاتِ أخدانٍ}؛
أي:
أخلاء في السرِّ.
فالحاصل أنه لا يجوز للحرِّ المسلم نكاح أمةٍ إلاَّ بأربعة
شروط ذكرها الله:
الإيمان بهنّ، والعفة ظاهراً وباطناً، وعدم استطاعة طَوْل الحرة،
وخوف العنت؛ فإذا تمت هذه الشروط؛ جاز له نكاحهنَّ، ومع هذا؛
فالصبر عن نكاحهنَّ أفضلُ؛ لما فيه من تعريض الأولاد للرقِّ،
ولما فيه من الدناءة والعيب، وهذا إذا أمكن الصبر؛ فإن لم يمكن
الصبر عن الحرام إلاَّ بنكاحهنَّ؛ وجب ذلك،
ولهذا قال:
{وأن تصبروا خير لكم والله غفور رحيم}. وقوله:
{فإذا أحْصِنَّ}؛
أي:
تزوَّجن أو أسلمن؛ أي: الإماء. فعليهن
نصف ما على المحصنات؛ أي: الحرائر
{من العذاب}. وذلك الذي يمكن
تنصيفُهُ وهو الجلد، فيكون عليهن خمسون جلدةً، وأما الرجم؛ فليس
على الإماء رجمٌ؛ لأنه لا يتنصَّف؛
فعلى القول الأول:
إذا لم يتزوَّجن؛ فليس عليهن حدٌّ، إنما عليهن تعزيرٌ يردعهنَّ
عن فعل الفاحشة. وعلى القول الثاني: إن
الإماء غير المسلمات إذا فعلن فاحشةً أيضاً عزِّرْن.
وختم هذه الآية بهذين الاسمين الكريمين:
الغفور، والرحيم؛ لكون هذه الأحكام رحمة بالعباد وكرماً وإحساناً
إليهم، فلم يضيِّق عليهم، بل وسَّع غاية السعة. ولعل في ذكر
المغفرة بعد ذكر الحدِّ إشارة إلى أن الحدود كفاراتٌ يغفرُ الله
بها ذنوبَ عباده كما وردَ بذلك الحديث. وحُكم العبد الذَّكر في
الحد المذكور حُكم الأمة لعدم الفارق بينهما.
(25) Yaitu barangsiapa yang tidak mampu
memberikan belanja -maksudnya adalah mahar- untuk menikahi
wanita-wanita merdeka, artinya wanita-wanita Mukminat yang
merdeka, dan ia khawatir dirinya terjerumus ke dalam kebinasaan
yaitu perbuatan zina dan kesulitan yang banyak, maka boleh
baginya menikahi budak wanita yang beriman, hal ini menurut apa
yang nampak secara lahiriyah, dan bila tidak demikian, maka
Allah adalah lebih mengetahui tentang seorang Mukmin yang benar
dari selainnya, karena perkara-perkara dunia dibangun atas dasar
apa yang nam-pak, sedangkan perkara-perkara akhirat dibangun
atas dasar apa yang ada dalam batin, ﴾ فَٱنكِحُوهُنَّ
﴿ "karena itu kawinilah mereka" yaitu budak-budak wanita yang
beriman, ﴾
بِإِذۡنِ أَهۡلِهِنَّ
﴿ "dengan seizin tuan mereka" yaitu tuan mereka, baik satu
orang atau lebih, ﴾
وَءَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
﴿ "dan berilah maskawin mereka menurut yang patut" maksudnya,
walaupun mereka itu adalah budak-budak wanita, sebagaimana
mahar itu wajib bagi wanita merdeka, demikian pula mahar wajib
bagi wanita budak, akan tetapi tidak dibolehkan menikahi budak
wanita kecuali bila mereka, ﴾
مُحۡصَنَٰتٍ
﴿ "memelihara diri" yaitu men-jaga diri mereka dari perbuatan
zina, ﴾
غَيۡرَ مُسَٰفِحَٰتٖ
﴿ "bukan pezina" yaitu pelacur secara terang-terangan,
﴾
وَلَا مُتَّخِذَٰتِ أَخۡدَانٖۚ
﴿ "dan bukan (pula) wanita yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya," yaitu kekasih
rahasia. Pada intinya, seorang Muslim yang merdeka tidak boleh
me-nikahi seorang budak wanita kecuali dengan empat syarat
yang telah disebutkan oleh Allah سبحانه وتعالى yaitu:
Keimanan mereka, pemeliha-raan diri, baik secara lahir maupun
batin, ketidakmampuan dalam memberikan mahar kepada wanita
merdeka dan khawatir akan perzinaan. Bila syarat-syarat
tersebut terpenuhi, maka boleh bagi-nya menikahi budak wanita,
walaupun demikian kesabaran untuk tidak menikahi mereka adalah
lebih utama, karena pernikahan itu akan menjatuhkan
anak-anaknya ke dalam perbudakan, sebagai-mana juga pernikahan
itu mengandung kehinaan dan aib. Akan tetapi yang demikian itu
bila ia mampu bersabar, namun bila ia tidak mampu bersabar
dari hal yang haram kecuali harus menikahi budak wanita, maka
harus ia lakukan, karena itulah Allah berfir-man, ﴾
وَأَن تَصۡبِرُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡۗ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
﴿ "Dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." Dan FirmanNya, ﴾
فَإِذَآ أُحۡصِنَّ
﴿ "Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin,"
maksudnya, apabila para budak wanita itu telah menikah atau
masuk Islam, maka mereka mendapatkan setengah dari apa yang
ditanggung oleh wanita-wanita merdeka yang telah bersuami,
﴾
مِنَ ٱلۡعَذَابِۚ ﴿ "dari hukuman." Yang demikian itu adalah
perkara yang mungkin dibagi dua yaitu cambuk, karena itu
hu-kuman mereka adalah lima puluh kali cambukan, sedangkan hukum
rajam tidak berlaku untuk budak wanita, karena rajam tidak dapat
dibagi dua, maka atas dasar pandangan pertama; apabila mereka
belum menikah, maka tidak ada had atas mereka, hanya saja
me-reka harus diberikan hukuman yang membuat mereka jera agar
tidak kembali pada perbuatan keji tersebut, sedangkan atas dasar
pandangan kedua; sesungguhnya budak wanita selain Muslimah
apabila melakukan perbuatan keji harus diberikan hukuman juga.
Ayat ini ditutup dengan dua Nama Allah yang mulia yaitu Yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, hal itu karena
ke-tetapan-ketetapan tersebut di atas merupakan rahmat bagi
seluruh manusia, sebuah karunia, dan kebaikan untuk mereka,
karena Allah tidak akan mempersulit mereka, akan tetapi Allah
memberikan kelapangan kepada mereka dengan seluas-luasnya. Dan
kemung-kinan dalam penyebutan ampunan setelah penyebutan had
meru-pakan suatu indikasi bahwa had-had tersebut merupakan
penggu-gur dosa, di mana Allah akan mengampuni dosa-dosa
hamba-hambaNya dengan had-had tersebut sebagaimana yang
dijelaskan dalam hadits tentang hal tersebut.
[22]
Dan hukum seorang budak laki-laki dalam perkara had ter-sebut
adalah sama seperti hukum budak wanita, karena tidak ada
perbedaan antara kedua jenis tersebut.
{يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ (26) وَاللَّهُ
يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ
يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا
(27) يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ
عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
(28)}
.
"Allah hendak menerangkan
(hukum syariatNya) kepadamu, dan
menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu
(para nabi dan shalihin) dan
(hendak) menerima taubatmu. Dan Allah
Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan Allah hendak menerima
taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya
bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya. Allah hendak
memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat
lemah."
(An-Nisa`: 26-28).
#
{26} يخبر تعالى بمنَّته العظيمة
ومنحته الجسيمة وحسن تربيته لعباده المؤمنين وسهولة دينه،
فقال:
{يريد الله لِيبيِّنَ لكم}؛
أي:
جميع ما تحتاجون إلى بيانه من الحق والباطل والحلال والحرام.
{ويهدِيَكم سنن الذين من قبلكم}؛ أي: الذين أنعم الله عليهم من
النبيِّين وأتباعهم في سِيَرِهم الحميدة وأفعالهم السديدة
وشمائلهم الكاملة وتوفيقهم التام؛ فلذلك نفَّذ ما أراده، ووضَّح
لكم، وبيَّن بياناً كما بين لمن قبلكم، وهداكم هدايةً عظيمة في
العلم والعمل.
{ويتوبَ عليكم}؛
أي:
يلطف [بكم] في أحوالكم وما شَرَعَه لكم،
حتى تتمكَّنوا من الوقوف على ما حدَّه الله والاكتفاء بما
أحلَّه، فتقلَّ ذنوبُكم بسبب ما يسَّر الله عليكم؛ فهذا من توبته
على عباده، ومن توبته عليهم أنهم إذا أذنبوا فتح لهم أبواب
الرحمة، وأوزع قلوبَهم الإنابة إليه والتذلُّل بين يديه، ثم يتوب
عليهم بقبول ما وفَّقهم له؛ فله الحمد والشكر على ذلك.
وقوله:
{والله عليم حكيم}؛
أي:
[كامل العلم]، كامل الحكمة؛ فمن علمه أن
عَلَّمكم ما لم تكونوا تعلمون، ومنها هذه الأشياء والحدود. ومن
حكمته أنه يتوبُ على من اقتضت حكمته ورحمته التوبة عليه، ويخذلُ
من اقتضت حكمته وعدلُه أن لا يصلُحَ للتوبة.
(26) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan
tentang karuniaNya yang besar, pemberianNya yang agung,
pemeliharaanNya yang terbaik terha-dap kaum Mukminin dan
kemudahan agamaNya seraya berfirman, ﴾ يُرِيدُ ٱللَّهُ
لِيُبَيِّنَ لَكُمۡ
﴿ "Allah hendak menerangkan
(hukum syariatNya) ke-padamu" yaitu
seluruh perkara yang kalian butuhkan penjelasan-nya berupa
kebenaran dan kebatilan, halal dan haram, ﴾
وَيَهۡدِيَكُمۡ سُنَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ
﴿ "dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu
(para nabi dan shalihin)," maksudnya
adalah orang-orang yang telah diberi kenikmatan oleh Allah,
yaitu para Nabi, beserta para pengikut mereka dalam sejarah
hidup mereka yang terpuji, perbuatan-perbuatan mereka yang
lurus, akhlak-akhlak mereka yang sempurna, dan taufik mereka
yang menyeluruh, karena itulah Allah merealisasikan apa yang
dikehendakiNya lalu menjelaskannya kepada kalian dan
menerangkan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana Allah telah
menjelaskannya kepada orang-orang sebelum kalian, kemudian
Allah memberi hidayah kepada kalian dengan hidayah yang agung
dalam ilmu dan perbuatan. ﴾
وَيَتُوبَ عَلَيۡكُمۡۗ
﴿ "Dan (hendak) menerima taubatmu"
yaitu berlaku lemah lembut
(terhadap kalian)[23] pada keadaan kalian dan perkara
yang disyariatkanNya bagi kalian, hingga kalian mampu
melak-sanakan apa yang telah Allah tetapkan dan merasa cukup
dengan apa yang telah Allah halalkan, hingga dosa-dosa kalian
menjadi sedikit karena apa yang telah Allah mudahkan atas
kalian, inilah di antara penerimaan taubat oleh Allah atas
hamba-hambaNya. Dan juga di antara penerimaan taubat Allah
atas mereka adalah bahwa bila mereka berbuat dosa, niscaya
Allah akan membuka pintu-pintu rahmat bagi mereka, dan
menurunkan kepada jiwa-jiwa mereka akan penyerahan diri dan
sikap merendahkan diri di hadapanNya, kemudian Allah
mengampuni mereka dengan menerima perkara yang Dia bimbing
kepadanya, karena itu hanya bagiNya segala puji dan syukur
atas semua itu. Dan FirmanNya, ﴾
وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ﴿ "Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana" yaitu ilmu yang sempurna, kebijaksanaan yang
sempurna, dan di antara ilmuNya adalah Allah mengajarkan kepada
kalian apa yang tidak kalian ketahui, di antaranya adalah
hal-hal yang seperti tersebut di atas dan juga had-had. Dan di
antara hikmahNya adalah bahwa Allah mengampuni orang yang hikmah
dan rahmatNya mene-tapkan adanya ampunan baginya, dan
menghinakan orang yang hikmah dan keadilanNya menetapkan bahwa
ia tidak pantas me-nerima ampunan.
#
{27} وقوله:
{والله يريدُ أن يتوبَ عليكم}؛ أي: توبةً تلمُّ شَعَثَكُم وتجمع
متفرِّقكم وتقرِّب بعيدكم.
{ويريد الذين يتَّبِعون الشهواتِ}؛ أي: يميلون معها حيث مالت،
ويقدِّمونها على ما فيه رضا محبوبهم ويعبُدون أهواءَهم من أصناف
الكَفَرَةِ والعاصينَ المقدِّمين لأهوائهم على طاعة ربهم؛ فهؤلاء
يريدون
{أن تميلوا ميلاً عظيماً}؛
أي:
أن تنحرِفوا عن الصراط المستقيم إلى صراط المغضوب عليهم
والضالين، يريدون أن يصرفوكم عن طاعة الرحمن إلى طاعة الشيطان،
وعن التزام حدود مَن السعادةُ كلُّها في امتثال أوامره إلى مَن
الشقاوة كلُّها في اتباعه؛ فإذا عرفتم أنَّ الله تعالى يأمرُكم
بما فيه صلاحُكم وفلاحُكم وسعادتكم، وأنَّ هؤلاء المتبعين
شهواتهم يأمرونكم بما فيه غايةُ الخَسَارِ والشقاء؛ فاختاروا
لأنفسكم أَوْلَى الداعيين وتخيَّروا أحسن الطريقتين.
(27) Dan FirmanNya, ﴾ وَٱللَّهُ يُرِيدُ
أَن يَتُوبَ عَلَيۡكُمۡ
﴿ "Dan Allah hen-dak menerima taubatmu," yaitu ampunan yang
menghimpun keter-cerai-beraian kalian, menyatukan perbedaan
kalian, dan mendekat-kan yang jauh dari kalian, ﴾
وَيُرِيدُ ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلشَّهَوَٰتِ
﴿ "sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya" yaitu
mereka condong bersama nafsunya ke manapun ia condong, dan
mereka mendahulukan nafsunya di atas perkara yang mengandung
keridhaan Allah, serta menyembah hawa nafsu mereka. Mereka
adalah orang-orang kafir dan orang-orang ahli maksiat dari
berbagai macam jenisnya yang mementingkan hawa nafsu mereka
saja daripada ketaatan kepada Rabb mereka, mereka itu
menghendaki ﴾
أَن تَمِيلُواْ مَيۡلًا عَظِيمٗا ﴿ "supaya kamu berpaling
sejauh-jauhnya
(dari kebenaran)," yaitu
agar kalian menyimpang dari jalan yang lurus kepada jalan
orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang tersesat, mereka
menghendaki agar kalian menyimpang dari ketaatan kepada Allah
menuju ketaatan kepada setan, dan dari hukum-hukum Dzat yang
seluruh kebaha-giaan itu berada pada pelaksanaan perintah dan
laranganNya menuju kepada setan yang seluruh kesengsaraan berada
ketika mengikutinya. Apabila kalian telah mengetahui bahwa Allah
سبحانه وتعالى memerintah-kan kalian kepada perkara yang terdapat
padanya kemaslahatan, keberhasilan, dan kebahagiaan buat kalian,
dan bahwasanya orang-orang yang mengikuti hawa nafsu mereka
memerintahkan kalian kepada perkara yang terdapat padanya
kerugian dan kesengsa-raan, maka pilihlah yang paling utama
untuk diri kalian di antara dua pendorong tersebut dan carilah
yang terbaik dari dua jalan tersebut.
#
{28}
{يريدُ الله أن يخفِّفَ عنكم}؛ أي: بسهولة ما أمركم به وما نهاكم
عنه، ثم مع حصول المشقة في بعض الشرائع أباح لكم ما تقتضيه
حاجتكم كالميتة والدم ونحوهما للمضطر وكتزوج الأمة للحر بتلك
الشروط السابقة وذلك لرحمته التامة وإحسانه الشامل وعلمه وحكمته
بضعف الإنسان من جميع الوجوه، ضعف البنية وضعف الإرادة وضعف
العزيمة وضعف الإيمان وضعف الصبر فناسب ذلك أن يخفف الله عنه ما
يضعف عنه، وما لا يطيقه إيمانه وصبره وقوته.
(28) ﴾ يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ
عَنكُمۡۚ ﴿ "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu" yaitu
dengan mudahnya perkara yang Allah perintah-kan kalian kepadanya
dan perkara yang kalian dilarang darinya, kemudian bersamaan
dengan adanya kesulitan pada beberapa syariat, Allah membolehkan
juga bagi kalian apa yang sangat dibutuhkan oleh keterdesakan
kebutuhan kalian, seperti bangkai, darah, dan semacamnya bagi
orang yang terpaksa, atau seperti menikahi budak wanita bagi
seorang laki-laki merdeka dengan syarat-syarat yang telah
disebutkan terdahulu, semua itu karena rahmat Allah yang
sempurna, kebaikanNya yang menyeluruh dan ilmu serta hikmahNya
akan kelemahan manusia dari berbagai segi, lemah dari segi
postur tubuhnya, lemah dalam kehendak, lemah dalam bertekad,
lemah dalam keimanan, lemah dalam kesabaran, lalu untuk
menyesuaikan hal itu, Allah meringankan apa yang mereka lemah
padanya, dan apa yang tidak bisa dilakukan oleh keimanan,
kesabaran, dan kekuatannya.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29) وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ
نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
(30)}
.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan
melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan mema-sukkannya ke
dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."
(An-Nisa`: 29-30).
#
{29} ينهى تعالى عباده المؤمنين أن
يأكلوا أموالهم بينهم بالباطل، وهذا يشمل أكلَها بالغصوب
والسرقات وأخذَها بالقمار والمكاسب الرديئة، بل لعله يدخل في ذلك
أكل مال نفسِك على وجه البطر والإسراف؛ لأن هذا من الباطل، وليس
من الحق. ثم إنه لما حرَّم أكلها بالباطل؛ أباح لهم أكلها
بالتجارات والمكاسب الخالية من الموانع المشتملة على الشروط من
التراضي وغيره.
{ولا تقتلوا أنفسكم}؛
أي:
لا يقتل بعضكم بعضاً، ولا يقتل الإنسان نفسه، ويدخل في ذلك
الإلقاء بالنفس إلى التهلكة وفعل الأخطار المفضية إلى التلف
والهلاك
{إنَّ الله كان بكم رحيماً}: ومن
رحمته أن صان نفوسَكم وأموالكم ونهاكم عن إضاعتها وإتلافها
ورتَّب على ذلك ما رتَّبه من الحدود. وتأمل هذا الإيجاز والجمع
في قوله {لا تأكلوا أموالكم}
{ولا تقتلوا أنفسكم}؛
كيف شمل أموال غيرك ومال نفسك وقتل نفسك وقتل غيرك بعبارة أخصر
من قوله:
لا يأكل بعضكم مال بعض ولا يقتل بعضكم بعضاً؛ مع قصور هذه
العبارة على مال الغير ونفس الغير، مع أن إضافة الأموال والأنفس
إلى عموم المؤمنين فيه دلالة على أنَّ المؤمنين في توادِّهم
وتراحمهم وتعاطفهم ومصالحهم كالجسد الواحد؛ حيث كان الإيمان
يجمعهم على مصالحهم الدينية والدنيوية. ولما نهى عن أكل الأموال
بالباطل التي فيها غاية الضرر عليهم، على الآكل ومن أخذ ماله؛
أباح لهم ما فيه مصلحتهم من أنواع المكاسب والتجارات وأنواع
الحرف والإجارات، فقال:
{إلا أن تكون تجارةً عن تراضٍ منكم}؛ أي: فإنها مباحة لكم. وشَرَطَ
التراضي مع كونها تجارةً لدلالة أنه يشترط أن يكون العقد غير عقد
رباً، لأنَّ الربا ليس من التجارة، بل مخالفٌ لمقصودها، وأنه لا
بدَّ أن يرضى كلٌّ من المتعاقدين ويأتي به اختياراً، ومن تمام
الرِّضا أن يكون المعقودُ عليه معلوماً؛ لأنه إذا لم يكن كذلك؛
لا يتصوَّرُ الرِّضا، مقدوراً على تسليمه؛ لأنَّ غير المقدور
عليه شبيهٌ ببيع القمار؛ فبيع الغرر بجميع أنواعه خالٍ من
الرِّضا فلا ينفذ عقده. وفيها أنه تنعقد العقودُ بما دلَّ عليها
من قول أو فعل؛ لأن الله شرط الرِّضا، فبأيِّ طريق حصل الرِّضا؛
انعقد به العقد. ثم ختم الآية بقوله:
{إن الله كان بكم رحيماً}: ومن
رحمتِهِ أن عصم دماءكم وأموالَكم، وصانَها، ونهاكُم عن
انتهاكِها.
(29) Allah سبحانه وتعالى melarang para
hambaNya yang beriman dari memakan harta di antara mereka dengan
cara yang batil, hal ini mencakup memakan harta dengan cara
pemaksaan, pencurian, mengambil harta dengan cara perjudian dan
pencaharian yang hina, bahkan bisa jadi termasuk juga dalam hal
ini adalah memakan harta sendiri dengan sombong dan
berlebih-lebihan, karena hal tersebut adalah termasuk kebatilan
dan bukan dari kebenaran. Kemudian setelah Allah mengharamkan
memakan harta dengan cara yang batil, Allah membolehkan bagi
mereka memakan harta dengan cara perniagaan dan pencaharian yang
tidak terdapat padanya penghalang-penghalang dan yang mengandung
syarat-syarat seperti saling ridha dan sebagainya. ﴾ وَلَا
تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ
﴿ "Dan janganlah kamu membunuh dirimu," mak-sudnya, janganlah
sebagian kalian membunuh sebagian yang lain, dan janganlah
seseorang membunuh dirinya, dan termasuk dalam hal itu adalah
menjerumuskan diri ke dalam kehancuran dan melakukan
perbuatan-perbuatan berbahaya yang mengakibatkan kematian dan
kebinasaan, ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا
﴿ "Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu," dan di antara
rahmatNya adalah di mana Allah memelihara diri, dan harta
kalian, serta melarang kalian dari menyia-nyiakan dan
membinasakannya, dan Allah menjadi-kan adanya hukuman atas hal
tersebut berupa had-had. Perhatikanlah suatu ringkasan dan
penyatuan dalam Firman Allah, ﴾
لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم
﴿ "Janganlah kamu saling memakan harta sesa-mamu," dan
﴾
وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ
﴿ "dan janganlah kamu membunuh dirimu" bagaimana FirmanNya
itu mencakup harta-harta selain dirimu, harta dirimu sendiri,
membunuh dirimu dan membunuh selain dirimu dengan ungkapan
yang begitu pendek daripada perkataan, "Janganlah sebagian
kalian memakan harta sebagian lain dan janganlah sebagian
kalian membunuh sebagian yang lain," dengan tidak mencakupnya
ungkapan tersebut akan harta orang lain dan membunuh orang
lain, padahal menggabungkan kata harta dan jiwa kepada seluruh
kaum Mukminin merupakan dalil bahwa kaum Mukminin dalam kasih
sayang mereka, mencintai dan me-ngasihi di antara mereka dan
maslahat-maslahat mereka adalah seperti satu tubuh, di mana
keimanan itulah yang menyatukan mereka pada maslahat-maslahat
mereka, dunia maupun akhirat. Dan tatkala Allah melarang
mereka dari memakan harta dengan cara yang batil yaitu suatu
cara yang mengandung mara bahaya atas diri mereka, terhadap
orang yang memakannya dan orang yang mengambil hartanya, lalu
Allah membolehkan bagi mereka perkara yang mengandung
kemaslahatan untuk mereka berupa beberapa bentuk mata
pencaharian dan perniagaan, serta beberapa bentuk profesi dan
persewaan dengan berfirman, ﴾
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ
﴿ "Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu" yaitu bahwasanya hal ter-sebut
adalah boleh bagi kalian. Dan Allah mensyaratkan adanya
keridhaan dari kedua pihak padahal perkara itu adalah sebuah
perniagaan, hal itu menjadi suatu indikasi bahwasanya akad
per-niagaan itu disyaratkan bukan dari akad riba, karena riba
bukan-lah dari perniagaan, bahkan riba itu adalah perkara yang
berten-tangan dengan maksud dari perniagaan. Di dalam
perniagaan harus ada keridhaan dari kedua belah pihak dan
masing-masing pihak melaksanakannya dengan penuh kesadaran dan
pilihannya, dan merupakan kesempurnaan dari saling merelakan
adalah agar apa yang menjadi akad atasnya itu adalah suatu
barang yang diketahui, karena bila tidak diketahui, maka
tidaklah akan ada yang namanya suka sama suka, dan agar barang
tersebut mampu diserahkan, karena barang yang tidak mampu
diserahkan adalah sejenis dengan tindakan perniagaan
perjudian. Dari perniagaan gharar
(yang memiliki unsur penipuan) dengan
segala bentuknya yang tidak mengandung saling suka sama suka,
maka akadnya tidaklah sah. Ayat ini menunjukkan juga bahwa
akad itu akan ter-laksana (sah) dengan
hal apa pun yang menunjukkan kepadanya berupa perkataan maupun
perbuatan, karena Allah telah mensya-ratkan suka sama suka
padanya, maka dengan jalan apa pun ter-capainya suka sama suka
niscaya tercapai pula akadnya dengan hal tersebut. Kemudian
Allah menutup ayat ini dengan FirmanNya,﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepadamu" dan di antara bentuk rahmatNya adalah Allah
melindungi darah dan harta-harta kalian, memeliharanya, dan
melarang kalian dari me-numpahkannya.
#
{30} ثم قال:
{ومَن يفعل ذلك}؛
أي:
أكل الأموال بالباطل وقتل النفوس.
{عدواناً وظلماً}؛
أي:
لا جهلاً ونسياناً
{فسوف نصليه ناراً}؛
أي:
عظيمة كما يفيده التنكير.
{وكان ذلك على الله يسيراً}.
(30) Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَمَن
يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ
﴿ "Dan ba-rangsiapa berbuat demikian" yaitu memakan harta
dengan cara yang batil dan membunuh jiwa, ﴾
عُدۡوَٰنٗا وَظُلۡمٗا
﴿ "dengan melanggar hak dan aniaya" yaitu bukan karena tidak
tahu dan lupa, ﴾
فَسَوۡفَ نُصۡلِيهِ نَارٗاۚ
﴿ "maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka"; yaitu
yang dahsyat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kata yang tak
ter-batas, ﴾
وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا ﴿ "yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah."
{إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ
نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا
كَرِيمًا (31)}
.
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang
dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesa-lahan-kesalahanmu
(dosa-dosamu yang kecil) dan Kami
masukkan kamu ke tempat yang mulia
(surga)."
(An-Nisa`: 31).
#
{31} وهذا من فضل الله وإحسانه على
عباده المؤمنين، وَعَدَهم أنهم إذا اجتنبوا كبائر المنهيَّات؛
غفر لهم جميع الذنوب والسيئات، وأدخلهم مُدخلاً كريماً كثير
الخير، وهو الجنة، المشتملة على ما لا عينٌ رأت ولا أذنٌ سمعت
ولا خطر على قلب بشر. ويدخُلُ في اجتناب الكبائِر فعلُ الفرائض
التي يكون تاركُها مرتكباً كبيرةً؛ كالصَّلوات الخمس والجمعة
ورمضانَ؛ كما قال النبي - صلى الله عليه وسلم -:
«الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى رمضان؛
مكفراتٌ لما بينهن، ما اجتُنِبَتِ الكبائر». وأحسنُ ما حُدَّتْ به الكبائر: أنَّ
الكبيرةَ ما فيه حدٌّ في الدُّنيا أو وعيدٌ في الآخرة أو نفيُ
إيمان أو ترتيبُ لعنةٍ أو غضبٍ عليه.
(31) Ini merupakan karunia Allah dan
kebaikanNya kepada hamba-hambaNya yang beriman, Allah
menjanjikan kepada mereka bahwa bila mereka meninggalkan
dosa-dosa besar, niscaya Allah akan mengampuni seluruh dosa-dosa
dan kesalahan-kesalahan mereka, dan memasukkan mereka kepada
suatu tempat yang mulia lagi banyak kenikmatannya, yaitu surga
yang meliputi hal-hal yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak
pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas sama
sekali di benak manusia. Dan termasuk dalam perkara meninggalkan
dosa-dosa besar adalah menunaikan kewajiban-kewajiban, di mana
orang yang me-ninggalkannya berarti telah melakukan dosa besar,
seperti shalat lima waktu, shalat Jum'at, dan puasa Ramadhan,
sebagaimana Nabi ﷺ bersabda, اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ
وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ
مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ.
"Shalat lima waktu, Jum'at menuju Jum'at berikutnya, dan puasa
Ramadhan menuju Ramadhan berikutnya, adalah menggugurkan dosa
yang terjadi di antaranya selama dosa-dosa besar
ditinggalkan."
[24] Dan definisi bagi
dosa-dosa besar yang paling baik adalah perkara yang
mengakibatkan adanya had di dunia atau adanya ancaman di akhirat
atau peniadaan iman atau adanya kata laknat atau kemurkaan
atasnya.
{وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ
عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا
وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ
مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
(32)}
.
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikarunia-kan
Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.
(Karena) bagi orang laki-laki ada bagian
dari apa yang me-reka usahakan, dan bagi para wanita
(pun) ada bagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
(An-Nisa`: 32).
#
{32} ينهى تعالى المؤمنين عن أن
يتمنَّى بعضُهم ما فضَّل الله به غيره من الأمور الممكنة وغير
الممكنة؛ فلا تتمنَّى النساءُ خصائص الرجال التي بها فضَّلهم على
النساء، ولا صاحب الفقر والنقص حالة الغنيِّ والكامل تمنياً
مجرداً؛ لأنَّ هذا هو الحسد بعينه؛ تمني نعمة الله على غيرك أن
تكونَ لك ويُسْلَبَ إياها، ولأنه يقتضي السَّخَطَ على قدر الله،
والإخلاد إلى الكسل، والأماني الباطلة التي لا يقترن بها عمل ولا
كسب، وإنما المحمود أمران: أن يسعى
العبدُ على حسب قدرته بما ينفعه من مصالحه الدينيَّة
والدنيويَّة، ويسألَ الله تعالى من فضلِهِ؛ فلا يتَّكل على نفسه
ولا على غير ربِّه، ولهذا قال تعالى:
{للرجال نصيبٌ مما اكتسبوا}؛
أي:
من أعمالهم المنتجة للمطلوب.
{وللنساء نصيبٌ مما اكتسبنَ}؛ فكل
منهم لا يناله غير ما كسبه وتعب فيه.
{واسألوا الله من فضله}؛
أي:
من جميع مصالحكم في الدين والدنيا؛ فهذا كمال العبد وعنوانُ
سعادته، لا من يترك العمل أو يتَّكِلُ على نفسه غير مفتقرٍ
لربِّه أو يجمع بين الأمرين؛ فإنَّ هذا مخذولٌ خاسرٌ.
وقوله:
{إنَّ الله كان بكل شيءٍ عليماً}:
فيعطي من يعلمُهُ أهلاً لذلك، ويمنعُ من يعلَمُهُ غير مستحقٍّ.
(32) Allah سبحانه وتعالى melarang kaum
Mukminin mengharapkan apa yang telah Allah karuniakan kepada
sebagian yang lain berupa hal-hal yang mungkin dan hal-hal yang
tidak mungkin, maka wanita tidak boleh berangan-angan
mendapatkan kelebihan-kele-bihan laki-laki di mana dengannya
Allah memuliakan mereka atas wanita, demikian juga orang yang
miskin dan papa tidak boleh berangan-angan menjadi kaya dan
berpunya dengan sebatas angan-angan belaka, karena sesungguhnya
itulah yang disebut hasad, yaitu berharap agar nikmat Allah atas
orang lain tersebut menjadi miliknya dan nikmat itu dihilangkan
dari orang tersebut, dan ka-rena tindakan itu menimbulkan rasa
benci kepada ketentuan Allah, dan menjerumuskan kepada kemalasan
yang berkepanjangan, dan angan-angan kosong yang tidak dibarengi
dengan kerja dan usaha.
Sesungguhnya hal yang terpuji adalah dua perkara:
Seorang hamba berusaha menurut kemampuannya dengan hal yang
ber-guna baginya dalam mewujudkan kemaslahatannya, dunia mau-pun
akhirat, lalu ia memohon kepada Allah سبحانه وتعالى untuk
memberikan karuniaNya atasnya dan tidak bersandar hanya pada
dirinya se-mata dan tidak juga pada selain Tuhannya, oleh karena
itu Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ
مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ
﴿ "Bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka
usahakan" yaitu dari perbuatan-perbuatan me-reka yang
mewujudkan apa yang dikehendaki, ﴾
وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ
﴿ "dan bagi para wanita (pun) ada
bagian dari apa yang mereka usahakan." Setiap dari mereka
tidak akan memperoleh selain dari apa yang telah ia usahakan
dan lelah karenanya. ﴾
وَسۡـَٔلُواْ ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦٓۚ
﴿ "Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya" yaitu
dari seluruh kemaslahatan kalian dalam agama maupun dunia
kalian, kondisi seperti ini merupakan kesempurnaan seorang
hamba dan tanda bagi kebahagiaannya, bukan orang yang
meninggalkan kerja atau bersandar pada dirinya semata dan
tidak membutuhkan Rabbnya atau menyatukan dua perkara
tersebut, maka orang yang seperti ini akan terhina dan merugi,
dan FirmanNya, ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu," mak-sudnya Allah akan
memberikan kepada orang yang Dia ketahui memang berhak untuk
diberikan, dan menahan dari orang yang Dia ketahui memang tidak
berhak diberikan.
{وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ
فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ شَهِيدًا (33)}
.
"Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggal-kan
ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewaris-nya.
Dan
(jika ada) orang-orang yang kamu
telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka
bagiannya. Sesung-guhnya Allah menyaksikan segala sesuatu."
(An-Nisa`: 33).
#
{33} أي:
{ولكلٍّ}: من الناس
{جعلنا مواليَ}؛
أي:
يتولَّوْنَهُ ويتولاَّهم بالتعزُّز والنُّصرة والمعاونة على
الأمور،
{ممَّا ترك الوالدن والأقربون}:
وهذا يشملُ سائر الأقارب من الأصول والفروع والحواشي، هؤلاء
الموالي من القرابة. ثم ذكر نوعاً آخر من الموالي،
فقال:
{والذين عَقدَت أيمانُكم}؛
أي:
حالفتُموهم بما عَقَدْتُم معهم من عقد المحالفة على النُّصرة
والمساعدة والاشتراك بالأموال وغير ذلك، وكل هذا من نعم الله على
عباده؛ حيث كان الموالي يتعاونون بما لا يقدِرُ عليه بعضُهم
مفرداً. قال تعالى:
{فآتوهم نصيبَهم}؛
أي:
آتوا الموالي نصيبهم الذي يجب القيام به من النُّصرة والمعاونة
والمساعدة على غير معصيةِ الله والميراث للأقارب الأدْنَيْنَ من
الموالي.
{إنَّ الله كان على كلِّ شيءٍ شهيداً}؛ أي: مطَّلعاً على كلِّ شيءٍ بعلمه
لجميع الأمور وبصرِهِ لحركات عبادِهِ وسمعه لجميع أصواتهم.
(33) FirmanNya, ﴾ وَلِكُلّٖ
﴿ "Dan bagi tiap-tiap" yaitu dari manusia, ﴾
جَعَلۡنَا مَوَٰلِيَ
﴿ "Kami jadikan pewaris-pewarisnya" maksud-nya, mereka
membantunya dan ia membantu mereka dengan cara saling
menghargai, membela, dan saling menolong terhadap
per-kara-perkara, ﴾
مِمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَۚ
﴿ "dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat,"
hal ini mencakup seluruh karib kerabat berupa Ushul
(garis keturunan ke atas/leluhur),
Furu'
(garis ketu-runan ke bawah) maupun
Hawasyi (kerabat), mereka itu adalah
pewaris-pewaris karena kekerabatan. Kemudian Allah
menyebut-kan sebuah jenis yang lain dari pewaris-pewaris
tersebut dalam FirmanNya, ﴾
وَٱلَّذِينَ عَقَدَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ
﴿ "Dan (jika ada) orang-orang yang
kamu telah bersumpah setia dengan mereka," yaitu kalian
berjanji kepada mereka dengan perkara yang telah kalian
setujui akadnya bersama berupa akad sumpah setia untuk saling
membela, mem-bantu, dan bersekutu dalam harta dan sebagainya.
Semua itu adalah di antara nikmat-nikmat Allah kepada
hamba-hambaNya, di mana para pewaris-pewaris tersebut saling
membantu dalam suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh
sebagian dari mereka secara sendirian, Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾
فَـَٔاتُوهُمۡ نَصِيبَهُمۡۚ
﴿ "Maka berilah kepada mereka bagiannya" yaitu berikanlah
kepada pewaris-pewaris tersebut bagian-bagian mereka yang
memang seharusnya ditunai-kan berupa pembelaan, saling
membantu, dan menolong dalam perkara di luar kemaksiatan
kepada Allah, dan harta warisan itu milik karib kerabat dari
pewaris-pewaris tersebut yang terdekat. ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ شَهِيدًا ﴿ "Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu" yaitu menyaksikan segala
sesuatu, dengan ilmuNya akan segala perkara, dan pandanganNya
terhadap segala gerakan-ge-rakan hambaNya, serta pendengaranNya
terhadap segala suara-suara mereka.
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ
أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا
عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
(34)}
.
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, karena Allah telah memelihara
(me-reka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi
Mahabesar."
(An-Nisa`: 34).
#
{34} يخبر تعالى أنَّ
{الرجال قوامون على النساء}؛
أي:
قوَّامون عليهنَّ بإلزامهنَّ بحقوق الله تعالى من المحافظة على
فرائضه وكفِّهِنَّ عن المفاسد، والرجال عليهم أن يُلْزِموهنَّ
بذلك، وقوَّامون عليهنَّ أيضاً بالإنفاق عليهنَّ والكسوة
والمسكن. ثم ذكر السبب الموجب لقيام الرجال على النساء،
فقال:
{بما فضَّل الله بعضَهم على بعض وبما أنفقوا من
أموالهم}؛ أي: بسبب فضل الرجال على النساء
وإفضالهم عليهنَّ؛
فتفضيل الرجال على النساء من وجوهٍ متعدِّدة:
من كون الولايات مختصَّة بالرجال، والنبوَّة، والرسالة،
واختصاصهم بكثيرٍ من العبادات كالجهاد والأعياد والجمع، وبما
خصَّهم الله به من العقل والرَّزانة والصَّبر والجَلَد الذي ليس
للنساء مثله، وكذلك خصَّهم بالنفقات على الزوجات، بل وكثير من
النفقات يختصُّ بها الرجال ويتميَّزون عن النساء،
ولعل هذا سرُّ قوله:
{بما أنفقوا}، وحذف المفعول؛
ليدلَّ على عموم النفقة، فعُلِمَ من هذا كلِّه أنَّ الرجل
كالوالي والسيِّد لامرأتِهِ، وهي عنده عانية أسيرةٌ خادمةٌ،
فوظيفتُهُ أن يقومَ بما استرعاه الله به، ووظيفتُها القيام بطاعة
ربِّها وطاعة زوجها؛ فلهذا قال:
{فالصالحاتُ قانتاتٌ}؛
أي:
مطيعات لله تعالى،
{حافظاتٌ للغيب}؛
أي:
مطيعات لأزواجهنَّ حتى في الغيب، تحفظُ بعلَها بنفسها ومالِهِ،
وذلك بحفظ الله لهنَّ وتوفيقه لهنَّ لا من أنفسهنَّ؛ فإنَّ النفس
أمارةٌ بالسوء، ولكن من توكَّل على الله؛ كفاه ما أهمَّه من أمر
دينه ودنياه. ثم قال:
{واللاَّتي تخافونَ نُشوزهنَّ}؛ أي: ارتفاعهن عن طاعة أزواجهنَّ؛ بأن
تعصيه بالقول أو الفعل؛ فإنه يؤدِّبها بالأسهل فالأسهل.
{فعظوهنَّ}؛
أي:
ببيان حكم الله في طاعة الزوج ومعصيته، والترغيب في الطاعة،
والترهيب من المعصية؛ فإن انتهت؛ فذلك المطلوب، وإلاَّ؛
فيهجُرُها الزوجُ في المضجع؛ بأن لا يضاجِعَها ولا يجامِعَها
بمقدار ما يحصُلُ به المقصود، وإلاَّ؛ ضربها ضرباً غير مبرِّح؛
فإن حصل المقصود بواحد من هذه الأمور وأطعنكم؛
{فلا تبغوا عليهنَّ سبيلاً}؛
أي:
فقد حصل لكم ما تحبُّون؛ فاتركوا معاتبتها على الأمور الماضية
والتنقيب عن العيوب التي يضرُّ ذكرُها، ويَحْدُثُ بسببه الشرُّ.
{إنَّ الله كان عليًّا كبيراً}؛ أي: له العلوُّ المطلق بجميع الوجوه
والاعتبارات؛ علوُّ الذات وعلوُّ القدر، وعلوُّ القهر.
الكبير:
الذي لا أكبر منه ولا أجلَّ ولا أعظم، كبير الذات والصفات.
(34) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan
bahwasanya ﴾ ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ
﴿ "kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,"
maksudnya, dengan cara mengharuskan mereka untuk menunaikan
hak-hak Allah سبحانه وتعالى berupa pemeliharaan akan
kewajiban-kewajiban dariNya dan melarang mereka dari berbuat
kerusakan, laki-laki wajib untuk menekankan hal tersebut
kepada mereka, dan laki-laki juga adalah pemimpin mereka
dengan memberikan nafkah kepada mereka berupa pakaian dan
tempat tinggal. Kemudian Allah menyebutkan sebab yang
mengharuskan fungsi laki-laki tersebut sebagai pemimpin atas
wanita dalam FirmanNya, ﴾
بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ
أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ
﴿ "Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka," yaitu disebab-kan karena keutamaan
laki-laki atas wanita dan kelebihan yang diberikan
(Allah) kepada mereka atas wanita.
Pengutamaan laki-laki atas wanita disebabkan dari berbagai
segi; dari segi kekuasaan adalah dikhususkan bagi laki-laki,
ke-nabian, kerasulan, pengkhususan mereka dalam berbagai macam
ibadah seperti jihad, shalat Hari Raya dan Shalat Jum'at, dan
apa yang telah Allah berikan secara khusus buat mereka berupa
akal pikiran yang matang, kesabaran, dan ketegaran yang tidak
dimiliki oleh wanita, demikian juga Allah mengkhususkan mereka
dengan (kewajiban memberi) nafkah
kepada istri, bahkan pada sebagian besar nafkah laki-laki
dikhususkan untuknya dan diistimewakan dengannya daripada
wanita, dan mungkin hal ini adalah rahasia dari Firman Allah,
﴾
وَبِمَآ أَنفَقُواْ
﴿ "Karena mereka telah menafkahkan," dan menghilangkan obyek
dalam kalimat tersebut menunjukkan kepada nafkah secara umum,
maka dapat diketahui dari itu semua bahwa laki-laki itu adalah
seperti wali dan tuan bagi istrinya, sedang istrinya itu
adalah sebagai pendamping, tawanan, dan pelayan, maka tugas
laki-laki adalah menunaikan apa yang telah Allah pe-rintahkan
untuk dilindungi, dan tugas wanita adalah melakukan ketaatan
kepada Rabbnya dan ketaatan kepada suaminya, oleh karena
itulah Allah berfirman, ﴾
فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ
﴿ "Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat" yaitu
ia taat kepada Allah سبحانه وتعالى, ﴾
حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ
﴿ "lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada," yaitu ia
taat kepada suaminya hingga saat suami sedang tidak ada,
dengan menjaga dirinya untuk suaminya dan juga hartanya, yang
demikian itu dengan penjagaan Allah bagi mereka dan
bimbingan-Nya terhadap mereka dan bukannya dari diri mereka
sendiri, karena sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan
kepada kejahatan, akan tetapi barangsiapa yang bertawakal
kepada Allah, niscaya cukuplah baginya hal itu dari perkara
yang merisaukannya berupa perkara dunia maupun agamanya.
Kemudian Allah berfirman, ﴾
وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
﴿ "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya" yaitu
tindakan tidak taat mereka kepada para suami mereka, berupa
kedurhakaan terhadap suami, baik dengan perkataan maupun
perbuatan, maka sang suami boleh menghukumnya dengan yang
paling mudah lalu yang mudah. ﴾
فَعِظُوهُنَّ
﴿ "Maka nasihatilah mereka" yaitu dengan menjelaskan kepada
mereka tentang hukum-hukum Allah dalam perkara ke-taatan dan
kedurhakaan kepada suami, menganjurkannya untuk taat, dan
mengancamnya dari berbuat durhaka, bila ia kembali taat, maka
itulah yang diharapkan, namun bila tidak, maka suami boleh
memisahkan istri di tempat tidurnya, yaitu suami tidak
menggaulinya dengan tujuan sampai perkara yang diinginkan
tercapai, namun bila tidak tercapai, maka suami boleh
memukul-nya dengan pukulan yang tidak membahayakan
(tidak meninggal-kan luka), dan bila
perkara yang diinginkan tercapai dengan salah satu dari
cara-cara tersebut di atas kemudian mereka kembali taat kepada
kalian, ﴾
فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ
﴿ "maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya," maksudnya, karena telah tercapai apa yang
kalian kehendaki, maka janganlah kalian mencelanya atas
perkara-perkara yang telah berlalu tersebut dan mencari-cari
kekurangan yang sangat berbahaya bila disebutkan, di mana hal
itu akan menimbulkan keburukan. ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah
Mahatinggi lagi Mahabesar," yaitu milikNya ketinggian yang
mutlak dari berbagai segi dan pandangan, ketinggian Dzat,
ketinggian kuasa dan keting-gian kemampuan, dan Yang Mahabesar
di mana tidak ada yang lebih besar, lebih mulia dan lebih agung,
daripada Allah سبحانه وتعالى,, Dia memiliki keagungan Dzat dan
Sifat.
{وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا
مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا
إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيمًا خَبِيرًا (35)}
.
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara ke-duanya,
maka kirimlah seorang hakam
(juru damai) dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam
itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal."
(An-Nisa`: 35).
#
{35} أي: وإن خفتم الشقاق بين
الزوجين والمباعدة والمجانبة حتى يكون كل منهما في شقٍّ؛
{فابعثوا حكماً من أهله وحكماً من أهلها}؛ أي: رجلينِ مكلَّفينِ مسلمينِ عدلينِ
عاقلينِ، يعرفان ما بين الزوجين، ويعرفان الجمع والتفريق، وهذا
مستفادٌ من لفظ الحكم؛ لأنه لا يصلح حَكماً إلاَّ من اتَّصف بتلك
الصفات، فينظران ما يَنْقُمُ كلٌّ منهما على صاحبه، ثم يُلْزِمان
كلاًّ منهما ما يجب؛ فإن لم يستطع أحدهما ذلك؛ قنَّعا الزوج
الآخر بالرِّضا بما تيسَّر من الرزق والخلق، ومهما أمكنهما الجمع
والإصلاح؛ فلا يعدِلا عنه؛ فإن وصلت الحال إلى أنه لا يمكنُ
اجتماعهما وإصلاحهما إلا على وجه المعاداة والمقاطعة ومعصية
الله، ورأيا أنَّ التفريق بينهما أصلح؛ فرَّقا بينهما، ولا
يُشْتَرَطُ رضا الزوج كما يدلُّ عليه أن الله سماهما الحكمين،
والحكمُ يَحْكُمُ، وإن لم يرضَ المحكوم عليه،
ولهذا قال:
{إن يُريدا إصلاحاً يُوفِّقِ اللهُ بينَهما}؛ أي: بسبب الرأي الميمون والكلام الذي
يجذِبُ القلوبَ ويؤلِّف بين القرينين.
{إنَّ الله كان عليماً خبيراً}؛ أي: عالماً بجميع الظواهر والبواطن،
مطلعاً على خفايا الأمور وأسرارها؛ فمن علمِهِ وخبرِهِ أن شرع
لكم هذه الأحكام الجليلة والشرائع الجميلة.
(35) Maksudnya, bila kalian
mengkhawatirkan terjadinya saling sengketa antara kedua suami
istri, saling menjauh dan saling menghindar hingga setiap pihak
dari kedua belah pihak tersebut berada pada posisi yang berbeda,
﴾ فَٱبۡعَثُواْ حَكَمٗا مِّنۡ أَهۡلِهِۦ
﴿ "maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan" yaitu dua orang
laki-laki Muslim yang baligh, adil, dan sehat akal, serta
mengetahui tentang apa yang terjadi antara kedua suami istri
tersebut, juga mengetahui penyatuan dan perceraian, ini semua
disarikan dari kata al-Hakam, karena sesungguhnya tidaklah
pantas seorang hakam itu kecuali orang yang memiliki ciri-ciri
tersebut, mereka berdua
(hakam) meneliti apa yang menjadi
permasalahan dari setiap pihak dari kedua suami istri itu
terhadap pihak lainnya, kemudian kedua hakam itu mengharuskan
setiap dari kedua belah pihak tersebut untuk menunaikan apa
yang wajib dilakukan, namun bila salah satu pihak tidak dapat
melakukannya, maka kedua hakam itu membujuk pihak lainnya agar
ridha terha-dap apa yang mungkin dilakukan berupa nafkah dan
perilaku yang baik. Dan selama kedua hakam itu mampu
menyatukan kedua belah pihak tersebut maka tidak boleh bagi
mereka berdua untuk mencari jalan lain, namun bila kondisi
kedua belah pihak menuju kepada posisi yang tidak mungkin lagi
untuk disatukan dan diper-baiki kecuali akan mengakibatkan
permusuhan, pemutusan tali kekeluargaan, dan maksiat kepada
Allah, dan kedua hakam tersebut memandang bahwa jalan terbaik
adalah perceraian, maka kedua hakam tersebut memisahkan antara
kedua pihak suami-istri terse-but, dalam hal itu tidaklah
disyaratkan ridha suami sebagaimana yang diindikasikan dalam
ayat ini bahwa Allah telah menamakan mereka sebagai hakam, dan
hakam itu tugasnya adalah memutus-kan hukum hingga walaupun
orang yang terhukum tidak ridha dengan keputusan tersebut,
oleh karena itu Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
إِن يُرِيدَآ إِصۡلَٰحٗا يُوَفِّقِ ٱللَّهُ بَيۡنَهُمَآۗ
﴿ "Jika kedua orang hakam itu bermaksud menga-dakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri
itu," yaitu karena disebabkan oleh pandangan yang mengandung
keber-kahan dan pembicaraan yang memikat hati dan
menenteramkan antara kedua suami istri. ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal," yaitu mengetahui segala yang
lahir maupun yang batin, mengawasi perkara-perkara yang
tersembunyi dan rahasia. Dan di antara ilmu dan pengetahuanNya
adalah bahwa Allah mensyariatkan hukum-hukum yang mulia dan
syariat-syariat yang indah tersebut.
{وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى
وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
(36) الَّذِينَ يَبْخَلُونَ
وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا
آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ
عَذَابًا مُهِينًا (37) وَالَّذِينَ
يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَكُنِ
الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِينًا فَسَاءَ قَرِينًا
(38)}
.
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil
dan apa-apa yang kamu miliki
(hamba sahaya). Sesung-guhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri.
(Yaitu) orang-orang yang kikir,
dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan
karunia Allah yang telah diberikanNya kepada mereka. Dan Kami
telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang
menghinakan. Dan
(juga) orang-orang yang
menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada Hari
Kemudian. Barangsiapa yang menjadikan setan itu sebagai
temannya, maka setan itu adalah seburuk-buruknya teman."
(An-Nisa`: 36-38).
#
{36 ـ 37} يأمر تعالى عباده
بعبادتِهِ وحدَه لا شريك له، وهو الدخول تحت رقِّ عبوديَّتِهِ
والانقياد لأوامره ونواهيه محبةً وذلًّا وإخلاصاً له في جميع
العبادات الظاهرة والباطنة، وينهى عن الشرك به شيئاً، لا شركاً
أصغر، ولا أكبر، لا مَلَكاً، ولا نبيًّا، ولا وليًّا، ولا غيرهم
من المخلوقين الذين لا يملِكون لأنفسهم نفعاً ولا ضرًّا ولا
موتاً ولا حياة ولا نشوراً، بل الواجبُ المتعيِّن إخلاصُ العبادة
لمن له الكمالُ المطلق من جميع الوجوه، وله التدبير الكامل الذي
لا يَشْرَكُه ولا يعينُهُ عليه أحدٌ. ثم بعد ما أمر بعبادتِهِ
والقيام بحقِّه أمر بالقيام بحقوق العبادِ الأقرب فالأقرب،
فقال:
{وبالوالدين إحساناً}؛
أي:
أحسنوا إليهم بالقول الكريم والخطاب اللطيف والفعل الجميل،
بطاعةِ أمرِهما واجتنابِ نهيِهِما، والإنفاق عليهما، وإكرام من
له تعلُّق بهما، وصلة الرحم التي لا رحمَ لك إلاَّ بهما.
وللإحسان ضدَّانِ الإساءةُ وعدمُ الإحسان، وكلاهما منهيٌّ عنه.
{وبذي القربى} أيضاً إحساناً،
ويشمل ذلك جميع الأقارب، قَرُبوا أو بَعُدوا، بأن يُحْسِنَ إليهم
بالقول والفعل، وأنْ لا يقطعَ برحمه بقولِهِ أو فعلِهِ.
{واليتامى}؛
أي:
الذين فُقِدَ آباؤهم وهم صغارٌ، فلهم حقٌّ على المسلمين، سواءٌ
كانوا أقارب أو غيرهم، بكفالتهم وبِرِّهم وجبرِ خواطرِهم
وتأديبِهم وتربيتهم أحسن تربية في مصالح دينهم ودنياهم.
{والمساكين}: وهم الذين أسكنتهم
الحاجةُ والفقرُ، فلم يحصُلوا على كفايتهم ولا كفاية من يمونون،
فأمر الله تعالى بالإحسان إليهم بسدِّ خلَّتهم وبدفع فاقتهم
والحضِّ على ذلك والقيام بما يمكن منه.
{والجار ذي القربى}؛
أي:
الجار القريب الذي له حقَّان؛ حقُّ الجوار وحقُّ القرابة؛ فله
على جارِهِ حقٌّ وإحسانٌ راجعٌ إلى العرف. وكذلك
{الجار الجُنُب}؛
أي:
الذي ليس له قرابةٌ، وكلَّما كان الجارُ أقربَ باباً؛ كان آكد
حقًّا، فينبغي للجار أن يتعاهدَ جارَه بالهدية والصدقة والدعوة
واللطافة بالأقوال والأفعال وعدم أذيَّتِهِ بقول أو فعل.
{والصاحب بالجنب}: قيل: الرفيقُ في
السفر، وقيل: الزوجة،
وقيل:
الصاحب مطلقاً، ولعله أولى؛ فإنه يَشْمَلُ الصاحبَ في الحضر
والسفر ويَشْمَلُ الزوجةَ؛ فعلى الصاحب لصاحبه حقٌّ زائد على
مجرَّد إسلامه، من مساعدته على أمور دينه ودنياه، والنصح له،
والوفاء معه في اليسر والعسر والمنشط والمكره، وأن يحبَّ له ما
يحبُّ لنفسه، ويكره له مايكره لنفسه، وكلَّما زادت الصحبة؛ تأكد
الحق وزاد. {وابن السبيل}: وهو
الغريب الذي احتاج في بلد الغربة أو لم يحتج؛ فله حقٌّ على
المسلمين لشدَّة حاجتِهِ وكونِهِ في غير وطنه بتبليغه إلى مقصوده
أو بعض مقصوده وبإكرامه وتأنيسه.
{وما ملكت أيمانكم}؛
أي:
من الآدميين والبهائم، بالقيام بكفايتهم وعدم تحميلهم ما يشقُّ
عليهم، وإعانتُهم على ما تحمَّلوه وتأديبهم لما فيه مصلحتُهم؛
فَمَنْ قام بهذه المأمورات؛ فهو الخاضع لربه، المتواضع لعباد
الله، المنقاد لأمر الله وشرعه، الذي يستحقُّ الثواب الجزيل
والثناء الجميل، ومن لم يقم بذلك؛ فإنه عبد معرِضٌ عن ربه، غير
منقاد لأوامره، ولا متواضع للخلق، بل هو متكبِّر على عباد الله،
معجبٌ بنفسه، فخورٌ بقوله. ولهذا قال:
{إنَّ الله لا يحبُّ من كان مختالاً}؛ أي: معجَباً بنفسه متكبراً على
الخلق، {فخوراً}؛ يثني على نفسه
ويمدحُها على وجه الفخر والبطرِ على عباد الله؛ فهؤلاء ما بهم من
الاختيال والفخر يمنعُهم من القيام بالحقوق،
ولهذا ذمَّهم بقوله:
{الذين يبخلون}؛
أي:
يمنعون ما عليهم من الحقوق الواجبة،
{ويأمرون الناس بالبُخل}: بأقوالهم
وأفعالهم،
{ويكتُمون ما آتاهمُ الله من فضلِهِ}؛ أي: من العلم الذي يهتدي به الضالون
ويسترشِدُ به الجاهلون، فيكتُمونه عنهم، ويُظْهِرون لهم من
الباطل ما يَحولُ بينَهم وبين الحقِّ، فجمعوا بين البخل بالمال
والبخل بالعلم وبين السعي في خسارة أنفسهم وخسارة غيرهم، وهذه هي
صفات الكافرين؛ فلهذا قال تعالى:
{وأعتَدْنا للكافرين عذاباً مهيناً}؛ أي: كما تكبَّروا على عباد الله،
ومنعوا حقوقه، وتسبَّبوا في منع غيرِهم من البخل وعدم الاهتداء؛
أهانهم بالعذاب الأليم والخزي الدائم؛ فعياذاً بك اللهمَّ من
كلِّ سوء.
(36-37) Allah سبحانه وتعالى
memerintahkan hamba-hambaNya untuk beribadah semata kepadaNya
yang tidak ada sekutu bagiNya, yaitu dengan menjatuhkan dirinya
ke dalam perbudakan periba-dahan kepadaNya, tunduk patuh
(dengan menjalankan)
perintah-perintahNya dan
(menjauhi) larangan-laranganNya dengan
rasa cinta, hina, dan tulus ikhlas hanya untukNya dalam seluruh
ibadah yang lahir maupun yang batin. Lalu Allah melarang dari
menyeku-tukan DiriNya dengan sesuatu pun, baik syirik yang kecil
maupun syirik yang besar, tidak dengan malaikat, seorang nabi,
seorang wali Allah, dan tidak pula dengan selain mereka dari
seluruh makhluk yang mereka sendiri tidak mampu
(mendatangkan) manfaat bagi mereka, dan
tidak pula mampu
(mencegah) mudarat,
tidak mampu mematikan, menghidupkan, dan tidak pula
mem-bangkitkan, akan tetapi yang seharusnya dilakukan adalah
meng-ikhlaskan ibadah hanya untuk Dzat yang memiliki
kesempurnaan mutlak dari berbagai seginya, dan bagi Dzat yang
memiliki kekua-saan mengatur yang menyeluruh yang tidak ada
sekutu dan tidak dibantu dalam hal itu oleh seorang pun.
Kemudian setelah Allah memerintahkan
(para hambaNya) untuk beribadah
kepadaNya dan menunaikan hak-hakNya, lalu Allah memerintahkan
mereka untuk menunaikan hak-hak hamba yang paling terdekat lalu
yang dekat, Allah berfirman, ﴾ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا
﴿ "Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak" yaitu
berbuat baik-lah kepada mereka dengan perkataan yang mulia,
percakapan yang lembut, dan tingkah laku yang luhur, dengan
menaati perintah keduanya, meninggalkan larangan keduanya,
memberikan nafkah kepada keduanya, memuliakan orang-orang yang
memiliki hubungan dengan keduanya, menjalin silaturahim dengan
orang-orang yang tidak ada bagimu hubungan silaturahim itu
kecuali karena keduanya. Berbuat baik ini memiliki dua lawan
kata yaitu berbuat jelek dan tidak berbuat baik, kedua hal
tersebut adalah dilarang. ﴾
وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ
﴿ "Karib-kerabat" maksudnya, berbuat baiklah kepada mereka,
dan yang demikian itu mencakup seluruh karib kerabat, baik
yang dekat maupun yang jauh, yaitu berbuat baik kepada mereka
dengan perkataan maupun perbuatan, dan agar tidak memutus
hubungan silaturahim dengan mereka dengan perkataan maupun
perbuatan. ﴾
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
﴿ "Anak-anak yatim" yaitu anak-anak yang kehilangan ayah
selagi mereka masih kecil, maka mereka memiliki hak atas kaum
Muslimin, baik mereka itu termasuk karib kerabat maupun bukan,
yaitu dengan cara menyantuni mereka, berbuat baik kepada
mereka, menghibur hati mereka, mendidik mereka, mengajar
mereka dengan sebaik-baik pendidikan dan pengajaran untuk
kemaslahatan dunia dan akhirat mereka. ﴾
وَٱلۡمَسَٰكِينِ
﴿ "Orang-orang miskin," mereka adalah orang-orang yang
dihimpit oleh kebutuhan dan kepapaan, mereka tidak mendapatkan
apa yang mampu menutupi kebutuhan mereka apalagi menutupi
kebutuhan orang-orang yang mereka tanggung, maka Allah سبحانه
وتعالى memerintahkan untuk berbuat baik dengan cara memenuhi
kebutuhan hidup mereka, menghilangkan kekurangan mereka, dan
Allah menganjurkan kepada hal tersebut serta menunaikannya
sesuai dengan kemam-puan. ﴾
وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ
﴿ "Tetangga yang dekat," yaitu tetangga dekat yang memiliki
dua hak, hak bertetangga dan hak kekerabatan, maka ia memiliki
hak dan perbuatan baik atas tetangganya, dan hal itu menurut
kebiasaan yang berlaku. Demikian juga, ﴾
وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ
﴿ "dan tetangga yang jauh" yaitu yang tidak memiliki tali
kekerabatan, maka semakin dekat rumah tetangga semakin besar
haknya. Karena itu, seyogyanya seorang tetangga selalu
berusaha memberikan tetangganya hadiah, sede-kah, dakwah, dan
kelembutan dengan perkataan maupun per-buatan, serta tidak
mengganggunya, baik dengan perkataan mau-pun perbuatan.
﴾
وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ
﴿ "Dan teman sejawat." Ada yang berpendapat bahwa maksudnya
adalah; teman dalam perjalanan, pendapat lain mengatakan bahwa
ia adalah istri, sedangkan yang lain lagi berpendapat bahwa ia
adalah teman secara umum. Namun yang terakhir ini lebih cocok,
karena mencakup teman baik dalam perjalanan maupun ketika
bermukim (menetap), dan juga menca-kup
istri, maka seorang teman memiliki hak atas temannya lebih
dari sekedar karena keislamannya, yaitu dengan menolongnya
dalam urusan-urusan agamanya maupun dunianya, menasihati-nya,
setia padanya, baik dalam kondisi susah maupun senang, duka
maupun suka, mencintai untuknya apa yang dicintai untuk
dirinya, membenci untuknya apa yang dibenci untuk dirinya, dan
setiap kali bertambah rasa pertemanan, maka semakin besar dan
kokoh pula hak teman atas temannya itu. ﴾
وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ
﴿ "Ibnu sabil" yaitu orang asing yang sedang berada pada
suatu daerah yang asing, baginya baik ia membutuhkan bantuan
ataupun tidak, baginya hak atas kaum Muslimin karena
mendesaknya kebutuhan dirinya dan karena kondisinya sebagai
seorang yang asing yang tidak berada pada daerahnya yaitu
dengan cara menyampaikannya kepada tujuannya atau sebagian
tujuannya dan dengan memuliakannya, serta memberikan sam-butan
yang baik, ﴾
وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ
﴿ "dan apa-apa yang kamu miliki," yaitu dari manusia maupun
binatang, dengan cara menunaikan hajat mereka, tidak
memikulkan apa yang tidak mampu mereka kerjakan, membantu
mereka pada apa yang mereka kerjakan, dan mendidik mereka
kepada sesuatu yang mengandung kemasla-hatan bagi mereka, maka
barangsiapa yang menunaikan perintah-perintah tersebut,
niscaya ia adalah seorang yang taat kepada Rabbnya dan berlaku
rendah hati terhadap hamba-hambaNya, tunduk terhadap
perintah-perintah Allah dan syariatNya, sehingga ia berhak
mendapatkan balasan yang melimpah dan pujian yang baik. Adapun
orang yang tidak menunaikan perintah-perintah tersebut, maka
sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang berpaling dari
Rabbnya, tidak tunduk pada perintah-perintahNya, tidak pula
rendah hati terhadap hamba-hambaNya, akan tetapi ia adalah
seorang yang berlaku sombong terhadap hamba-hamba Allah,
bangga terhadap diri sendiri dan perkataannya, oleh karena itu
Allah berfirman, ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا
﴿ "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong," yaitu merasa bangga akan dirinya sendiri dan congkak
terhadap makhluk, ﴾
فَخُورًا
﴿ "dan membangga-banggakan diri," memuji diri sendiri dan
menyanjungnya dengan maksud sombong dan angkuh terhadap
hamba-hamba Allah, mereka itu dengan apa yang ada pada diri
mereka berupa kesom-bongan dan membangga-banggakan diri telah
menghalangi me-reka dari menunaikan hak-hak tersebut, karena
itu Allah mencela mereka dalam FirmanNya, ﴾
ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ
﴿ "(Yaitu) orang-orang yang kikir,"
maksudnya, mereka tidak mau menunaikan hak-hak yang wajib atas
mereka, ﴾
وَيَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبُخۡلِ
﴿ "dan menyuruh orang lain berbuat kikir" dengan perkataan
dan perbuatan mereka,﴾
وَيَكۡتُمُونَ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ
﴿ "dan menyembunyikan karunia Allah yang telah di-berikanNya
kepada mereka" yaitu berupa ilmu yang digunakan oleh orang
yang tersesat sebagai hidayah dan oleh orang yang bodoh
sebagai petunjuk, namun mereka menyembunyikannya dari
orang-orang tersebut, mereka menampakkan kepada orang-orang
terse-but kebatilan yang akan menghalangi orang-orang tersebut
dari kebenaran, mereka telah menyatukan antara kikir harta dan
kikir ilmu serta usaha menuju kerugian diri mereka sendiri dan
kerugian orang lain, dan inilah sifat-sifat orang-orang kafir,
oleh karena itu Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا ﴿ "Dan Kami
telah me-nyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang
menghinakan" yaitu seba-gaimana mereka telah berlaku sombong
terhadap hamba-hamba Allah dan tidak mau menunaikan hak-hak
mereka, menjadi penye-bab orang lain menolak hak-hak hamba-hamba
berupa kekikiran dan tidak mendapatkan petunjuk, begitu pula
Allah menghinakan mereka dengan siksa yang pedih dan kehinaan
yang abadi. Kami berlindung kepadaMu ya Allah, dari segala
keburukan.
#
{38} ثم أخبر عن النفقة الصادرة عن
رياءٍ وسُمْعَة وعدم إيمان به، فقال:
{والذين ينفقون أموالهم رئاء الناس}؛ أي: ليروهم ويمدحوهم ويعظموهم.
{ولا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخِرِ}؛ أي: ليس إنفاقهم صادراً عن إخلاص
وإيمان بالله ورجاء ثوابه؛ أي: فهذا من
خطوات الشيطان وأعماله، التي يدعو حزبه إليها ليكونوا من أصحاب
السعير، وصدرت منهم بسبب مقارنته لهم وأزِّهم إليها؛
فلهذا قال:
{ومن يَكُنِ الشيطانُ له قريناً فساءَ قريناً}؛ أي: بئس المقارن والصاحب الذي يريد
إهلاك مَن قارنه ويسعى فيه أشدَّ السعي؛ فكما أن مَن بخل بما
آتاه الله وكَتَمَ ما منَّ به الله عليه عاصٍ آثمٌ مخالفٌ
لربِّه؛ فكذلك من أنفق وتعبَّد لغير الله؛ فإنه آثم عاصٍ لربِّه
مستوجبٌ للعقوبة؛ لأن الله إنما أمر بطاعتِهِ وامتثال أمره على
وجه الإخلاص؛ كما قال تعالى:
{وما أُمِروا إلا ليعبدوا الله مُخلصينَ له الدِّين}؛ فهذا العمل المقبول الذي يستحقُّ صاحبُهُ المدح والثواب؛
فلهذا حثَّ تعالى عليه بقوله:
(38) Kemudian Allah memberitakan tentang
nafkah yang bersumber dari suatu tindakan riya`
(ingin dilihat) dan sum'ah
(ingin didengar) serta tidak beriman
kepadaNya dalam FirmanNya, ﴾ وَٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ
أَمۡوَٰلَهُمۡ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ
﴿ "Dan (juga) orang-orang yang
menafkah-kan harta-harta mereka karena riya kepada manusia,"
maksudnya, agar orang lain melihat, memuji, dan menghormati
mereka.﴾
وَلَا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۗ
﴿ "Dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada
Hari Kemudian" yaitu infak mereka tidaklah bersumber dari hati
yang ikhlas dan keimanan kepada Allah serta mengharap
ba-lasanNya, artinya adalah bahwa hal ini di antara
langkah-langkah setan dan perbuatan-perbuatannya, di mana ia
mengajak golongan-nya melakukan hal tersebut, agar mereka
semua menjadi penghuni-penghuni neraka yang menyala, dan
terjadilah perbuatan itu dari mereka yang disebabkan oleh
setan yang selalu mengiringi mereka dan bantuannya terhadap
mereka kepada hal tersebut, karena itu Allah berfirman,
﴾
وَمَن يَكُنِ ٱلشَّيۡطَٰنُ لَهُۥ قَرِينٗا فَسَآءَ قَرِينٗا
﴿ "Barangsiapa yang menjadikan setan itu sebagai temannya,
maka setan itu adalah seburuk-buruknya teman," yaitu
seburuk-buruknya teman dan pendamping yang menghendaki
kehancuran orang yang ditemani dengan usaha yang keras untuk
dapat merealisasikannya. Dan sebagaimana orang yang berlaku
kikir akan apa yang telah Allah karuniakan kepadanya dan
menyembunyikan apa yang telah Allah berikan kepadanya adalah
seorang pendosa lagi berpaling dari Rabbnya, begitu pula orang
yang berinfak dan beribadah kepada selain Allah, sesungguhnya
ia telah berdosa, durhaka terhadap Rabbnya, sehingga ia berhak
mendapatkan hukuman, karena Allah meme-rintahkan untuk taat
kepadaNya dan menunaikan perintah-perin-tahNya dengan ikhlas,
sebagaimana Allah berfirman, ﴾
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ
ٱلدِّينَ ﴿ "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam
(menjalankan) agama yang lurus."
(Al-Bayyinah: 5). Inilah perbuatan yang akan diterima, di mana pelakunya berhak
mendapatkan pahala dan pujian, oleh karena itulah Allah سبحانه
وتعالى menganjurkan hal tersebut dalam FirmanNya,
{وَمَاذَا عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقَهُمُ اللَّهُ وَكَانَ
اللَّهُ بِهِمْ عَلِيمًا (39)}
.
"Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka ber-iman
kepada Allah dan Hari Kemudian dan menafkahkan sebagian rizki
yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan Allah Maha
Mengetahui keadaan mereka."
(An-Nisa`: 39).
#
{39} أي: أيُّ شيء عليهم وأيُّ حرج
ومشَّقة تلحقُهم لو حَصَلَ منهم الإيمانُ بالله الذي هو الإخلاص
وأنفقوا من أموالِهِم التي رَزَقَهم الله وأنعم بها عليهم،
فجمعوا بين الإخلاص والإنفاق، ولما كان الإخلاص سرًّا بين العبد
وبين ربِّه لا يطَّلع عليه إلا الله؛ أخبر تعالى بعلمِهِ بجميع
الأحوال، فقال:
{وكان الله بهم عليماً}.
(39) Maksudnya, apa yang menimpa mereka
dan kerugian atau kesusahan apa yang akan mereka temui bila
mereka beriman kepada Allah yaitu ikhlas dan menginfakkan
sebagian harta yang telah Allah berikan kepada mereka dan telah
Allah karuniakan mereka dengannya, sehingga mereka dapat
menyatukan antara keikhlasan dan berinfak? Namun ketika
keikhlasan itu adalah sebuah perkara yang tersembunyi antara
seorang hamba dengan Rabbnya di mana tidak ada yang mampu
mengetahuinya kecuali Allah, maka Allah سبحانه وتعالى
mengabarkan bahwa Dia mengetahui segala keadaan dan kondisi
dalam FirmanNya, ﴾ وَكَانَ ٱللَّهُ بِهِمۡ عَلِيمًا ﴿ "Dan Allah
Maha Mengetahui keadaan mereka."
{إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ
حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا
عَظِيمًا (40) فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا
مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ
شَهِيدًا (41) يَوْمَئِذٍ يَوَدُّ
الَّذِينَ كَفَرُوا وَعَصَوُا الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّى بِهِمُ
الْأَرْضُ وَلَا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا
(42)}
.
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar
dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah
akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisiNya pahala yang
besar. Maka bagaimanakah
(halnya orang kafir nanti), apabila Kami
mendatangkan seorang saksi
(rasul) dari
tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu
(sebagai umatmu). Di hari itu
orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin
supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat
menyembunyikan
(dari Allah) suatu
kejadian pun."
(An-Nisa`: 40-42).
#
{40} يخبر تعالى عن كمال عدلِهِ
وفضله وتنزُّهه عما يضادُّ ذلك من الظلم القليل والكثير،
فقال:
{إنَّ الله لا يظلم مثقالَ ذرَّة}؛ أي: يَنْقُصُها من حسنات عبده أو
يزيدُها في سيئاتِهِ؛ كما قال تعالى:
{فَمَن يعمل مثقالَ ذَرَّةٍ خيراً يَرَه. ومَن يعمل مثقالَ
ذرَّة شرًّا يَرَه}.
{وإن تكُ حسنةً يضاعِفْها}؛
أي:
إلى عشرة أمثالها، إلى أكثر من ذلك، بحسب حالها ونفعها وحال
صاحبها إخلاصاً ومحبةً وكمالاً.
{ويؤتِ من لَدُنْهُ أجراً عظيماً}؛ أي: زيادة على ثواب العمل بنفسه من
التوفيق لأعمال أُخَرَ وإعطاء البرِّ الكثير والخير الغزير.
(40) Allah سبحانه وتعالى memberitakan
tentang kesempurnaan keadil-anNya, keutamaanNya dan berlepas
diriNya dari perkara yang berlawanan dengan hal-hal tersebut
seperti kezhaliman, baik sedikit maupun banyak, seraya
berfirman, ﴾ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَظۡلِمُ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖۖ
﴿ "Sesungguh-nya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun
sebesar dzarrah" yaitu Allah mengurangi kebaikan-kebaikan
hambaNya atau menambah keburukan-keburukannya, sebagaimana
juga Allah تعالى berfirman, ﴾
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ 7 وَمَن
يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ 8
﴿ "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun,
nis-caya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya pula."
(Az-Zalzalah: 7-8). ﴾
وَإِن تَكُ حَسَنَةٗ يُضَٰعِفۡهَا
﴿ "Dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, nis-caya Allah
akan melipat gandakannya" yaitu hingga sepuluh kali lipat dan
bahkan lebih banyak lagi dari itu, yang sesuai dengan kondisi
dan manfaat kebajikan tersebut, serta kondisi pelakunya dari
segi keikhlasan, rasa cinta, dan kesempurnaan. ﴾
وَيُؤۡتِ مِن لَّدُنۡهُ أَجۡرًا عَظِيمٗا ﴿ "Dan memberikan dari
sisiNya pahala yang besar" yaitu sebagai tam-bahan atas pahala
perbuatan itu sendiri berupa taufik kepada amalan-amalan
(baik) lainnya dan memberikan kebaikan
yang melimpah serta keberkahan yang banyak.
#
{41} ثم قال تعالى:
{فكيف إذا جِئْنا من كلِّ أُمةٍ بشهيدٍ وجئنا بك على هؤلاء
شهيداً}؛ أي: كيف تكون تلك الأحوالُ؟ وكيف
يكونُ ذلك الحكم العظيم الذي جَمَعَ أنَّ مَن حكم به كامل العلم
كامل العدل كامل الحكمةِ بشهادة أزكى الخلق وهُم الرسلُ على
أُممِهِم مع إقرار المحكوم عليه؟ فهذا والله الحكم الذي هو أعمُّ
الأحكام وأعدلها وأعظمها، وهناك يبقى المحكومُ عليهم مقرِّين له.
بكمال الفضل والعدل والحمد والثناء، وهنالك يسعد أقوامٌ بالفوز
والفلاح والعزِّ والنجاح ويشقى أقوام بالخِزْي والفضيحة والعذاب
المُهين.
(41) Kemudian Allah سبحانه وتعالى
berfirman, ﴾ فَكَيۡفَ إِذَا جِئۡنَا مِن كُلِّ أُمَّةِۭ بِشَهِيدٖ
وَجِئۡنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِ شَهِيدٗا ﴿ "Maka bagaimanakah
(halnya orang kafir nanti), apabila Kami
mendatangkan seorang saksi
(rasul) dari
tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu
(sebagai umatmu)" maksudnya,
bagaimanakah kondisi kala itu? Dan bagaimana terjadinya hukum
yang agung tersebut yang menya-tukan antara Dzat yang memutuskan
ketetapan itu adalah Dzat yang memiliki kesempurnaan ilmu,
keadilan yang tidak bercacat dan kebijaksanaan yang agung dengan
kesaksian makhluk yang paling suci –yaitu para Rasul– atas
umat-umat mereka bersamaan dengan pengakuan secara sadar dari
mereka yang menjadi ter-dakwa? Yang demikian itu demi Allah,
adalah hukum yang paling umum dan menyeluruh, yang paling adil
dan paling agung, ke-mudian tinggallah mereka
(pihak yang terhukum atau terdakwa)
mengakui akan kesempurnaan karunia, keadilan, pujian dan
san-junganNya, ada golongan yang berbahagia dengan mendapatkan
keberuntungan, keberhasilan, kemuliaan dan kesuksesan, dan ada
golongan yang sengsara dengan kehinaan, keterpurukan, dan siksa
yang menghinakan.
#
{42} ولهذا قال:
{يومئذٍ يَوَدُّ الذين كفروا وعَصَوُا الرسولَ}؛ أي: جمعوا بين الكفر بالله وبرسوله
ومعصية الرسول،
{لو تُسَوَّى بهم الأرض}؛
أي:
تبتلعهم ويكونون تراباً وعدماً؛
كما قال تعالى:
{ويقولُ الكافرُ يا ليتني كنتُ تُراباً}.
{ولا يكتمونَ اللهَ حديثاً}؛
أي:
بل يقرُّون له بما عَمِلوا وتشهدُ عليهم ألسنتُهم وأيديهم
وأرجُلُهم بما كانوا يعملونَ، يومئذٍ يوفِّيهم الله دينَهم،
جزاءَهم الحقَّ، ويعلمون أنَّ الله هو الحقُّ المبينُ. فأما ما
ورد من أنَّ الكفار يكتُمون كفرَهم وجحودَهم؛ فإنَّ ذلك يكون في
بعض مواضع القيامةِ حين يظنُّون أن جحودَهم ينفعُهم من عذابِ
الله؛ فإذا عرفوا الحقائقَ وشهِدَتْ عليهم جوارِحُهم، حينئذٍ
ينجلي الأمر، ولا يبقى للكتمان موضعٌ ولا نفعٌ ولا فائدةٌ.
(42) Oleh karena itulah Allah berfirman,
﴾ يَوۡمَئِذٖ يَوَدُّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَعَصَوُاْ ٱلرَّسُولَ
﴿ "Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang
men-durhakai rasul ingin" yaitu mereka menyatukan antara kufur
kepada Allah dan kepada RasulNya dengan durhaka kepada Rasul,
﴾
لَوۡ تُسَوَّىٰ بِهِمُ ٱلۡأَرۡضُ
﴿ "supaya mereka disamaratakan dengan tanah," maksudnya,
tanah itu menelan mereka hingga mereka menjadi tanah dan
meng-hilang, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾
وَيَقُولُ ٱلۡكَافِرُ يَٰلَيۡتَنِي كُنتُ تُرَٰبَۢا 40
﴿ "Dan orang kafir berkata, 'Alangkah baiknya sekiranya aku
dahulu adalah tanah'."
(An-Naba`: 40). ﴾
وَلَا يَكۡتُمُونَ ٱللَّهَ حَدِيثٗا ﴿ "Dan mereka tidak dapat
menyembunyikan
(dari Allah) suatu
kejadian pun," maksudnya adalah, bahkan mereka akan mengakui apa
yang telah mereka kerjakan dan semua lisan-lisan mereka,
tangan-tangan mereka, dan kaki-kaki mereka akan bersaksi
terhadap apa yang telah mereka lakukan. Pada hari itu Allah akan
memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, hingga
mereka mengetahui bahwa Allah-lah Dzat yang Benar lagi yang
menjelaskan
(segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya). Adapun riwayat yang menyatakan bahwasanya kaum kafir
me-nyembunyikan kekufuran dan pengingkaran mereka, sesungguh-nya
hal tersebut terjadi pada beberapa kondisi pada Hari Kiamat,
yaitu ketika mereka mengira bahwa pengingkaran mereka akan
berguna bagi mereka
(sehingga terbebas) dari siksa Allah,
namun bila mereka telah mengetahui kenyataan dan seluruh anggota
badan mereka akan bersaksi atas
(semua perbuatan) mereka, maka saat
itulah segala perkara akan jelas, hingga tindakan
menyem-bunyikan itu tidak memiliki manfaat atau faidah.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا
جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا
غَفُورًا (43)}
.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan,
(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu
dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga
kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
pe-rempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamum-lah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengam-pun."
(An-Nisa`: 43).
#
{43} ينهى تعالى عباده المؤمنين أن
يَقْرَبوا الصلاة وهم سُكارى حتى يعلَموا ما يقولونَ، وهذا شاملٌ
لِقُرْبانِ مواضع الصلاة؛ كالمسجد؛ فإنه لا يمكَّنُ السكرانُ من
دخولِهِ، وشاملٌ لنفس الصلاة؛ فإنه لا يجوز للسكران صلاةٌ ولا
عبادةٌ لاختلاط عقلِهِ وعدم علمِهِ بما يقول، ولهذا حدَّد تعالى
ذلك وغيَّاه إلى وجود العلم بما يقول السكران. وهذه الآية
الكريمة منسوخةٌ بتحريم الخمر مطلقاً؛ فإنَّ الخمر في أول الأمر
كان غير محرَّم،
ثم إنَّ الله تعالى عَرَّضَ لعبادِهِ بتحريمِهِ بقوله:
{يَسألونَكَ عن الخمرِ والمَيْسِرِ قُلْ فيهما إثمٌ كبيرٌ
ومَنافعُ للنَّاسِ وإثْمُهُما أكبرُ مِنْ نَفعِهِما}، ثم إنَّه تعالى نهاهم عن الخمر عند حضورِ الصلاة كما في هذه
الآية،
ثم إنه تعالى حرَّمه على الإطلاق في جميع الأوقات في
قوله:
{يا أيُّها الذينَ آمنوا إنَّما الخمرُ والمَيْسِرُ والأنصابُ
والأزلام رِجسٌ مِن عملِ الشيطانِ فاجتنبوهُ}
الآية. ومع هذا؛ فإنه يشتدُّ تحريمه وقتَ حضور الصلاة؛ لتضمُّنه
هذه المفسدة العظيمة بعدم حصول مقصود الصلاة الذي هو روحها
ولبُّها، وهو الخشوع وحضور القلب؛ فإنَّ الخمر يُسْكِرُ القلبَ،
ويصدُّ عن ذِكْرِ الله وعن الصلاة. ويؤخَذُ من المعنى منعُ
الدُّخول في الصلاة في حال النُّعاس المفرط الذي لا يشعُرُ صاحبه
بما يقولُ ويفعل، بل لعلَّ فيه إشارة إلى أنه ينبغي لمن أراد
الصلاة أن يقطعَ عنه كلَّ شاغل يَشْغَلُ فكره؛ كمدافعةِ الأخبثين
والتَّوْق لطعام ونحوِهِ؛ كما ورد في ذلك الحديث الصحيح.
ثم قال:
{ولا جُنُباً إلا عابري سبيل}؛ أي: لا تقربوا الصلاة حالة كونِ
أحدِكم جُنباً إلاَّ في هذه الحال، وهو عابرُ السبيل؛
أي:
تمرُّون في المسجد ولا تمكُثون فيه.
{حتَّى تغتَسِلوا}؛
أي:
فإذا اغتسلتم؛ فهو غاية المنع من قربانِ الصلاة للجُنُبِ، فيحلُّ
للجُنُبِ المرورُ في المسجد فقط.
{وإن كنتُم مرضى أو على سفرٍ أو جاء أحدٌ منكم من الغائط أو
لامستُمُ النساءَ فلم تجِدوا ماءً فتيمَّموا}: فأباح التيمُّم للمريض مطلقاً مع وجود الماء وعدمِهِ،
والعلَّة المرضُ الذي يشقُّ مع استعمال الماء، وكذلك السفر؛ فإنه
مَظِنَّة فقد الماء؛ فإذا فقده المسافر، أو وجد ما يتعلَّق
بحاجته من شرب ونحوه؛ جاز له التيمُّم، وكذلك إذا أحدث الإنسان
ببول أو غائطٍ أو ملامسة النساء؛ فإنه يُباح له التيمُّم إذا لم
يجد الماء حضراً وسفراً؛ كما يدلُّ على ذلك عموم الآية.
والحاصل أنَّ الله تعالى أباح التيمُّم في حالتين:
حال عدم الماء، وهذا مطلقاً في الحضر والسفر. وحال المشقة
باستعماله بمرض ونحوه.
واختلف المفسِّرون في معنى قوله:
{أو لامستُمُ النساءَ}: هل المرادُ
بذلك الجِماع؟ فتكونُ الآية نصًّا في جواز التيمُّم للجُنُب كما
تكاثرت بذلك الأحاديث الصحيحة ، أو المراد بذلك مجردُ اللمس
باليد، ويقيَّد ذلك بما إذا كان مَظِنَّة خروج المذي، وهو المس
الذي يكون لشهوةٍ، فتكون الآيةُ دالةً على نقض الوضوء بذلك.
واستدلَّ الفقهاء بقوله:
{فلم تجدوا ماء}: بوجوب طَلَبِ
الماء عند دخول الوقت؛ قالوا: لأنه لا
يُقال: لم يجد لِمَنْ لم يطلب، بل لا يكون ذلك إلا بعد
الطلب.
واستدلَّ بذلك أيضاً على أن الماء المتغيِّرَ بشيء من الطاهرات
يجوز ـ بل يتعيَّن ـ التطهُّر به لدخولِهِ في قوله:
{فلم تجدوا ماءً}، وهذا ماء. ونوزع
في ذلك بأنَّه ماء غير مطلق، وفي ذلك نظر. وفي هذه
[الآية] الكريمة: مشروعيَّة هذا الحكم
العظيم الذي امتنَّ به الله على هذه الأمة، وهو مشروعية
التيمُّم، وقد أجمع على ذلك العلماء، ولله الحمد. وأنَّ التيمُّم
يكون بالصَّعيد الطيب، وهو كل ما تصاعد على وجه الأرض، سواء كان
له غبار أم لا، ويُحتمل أن يختصَّ ذلك بذي الغبار؛
لأن الله قال:
{فامْسَحوا بوجوهِكم وأيديكم} منه،
وما لا غبار له لا يُمْسَحُ به. وقوله:
{فامسحوا بوجوهِكم وأيديكم} منه:
هذا محل المسح في التيمُّم: الوجه جميعه واليدين إلى الكوعين؛
كما دلَّت على ذلك الأحاديث الصحيحة، ويستحبُّ أن يكون ذلك
بضربةٍ واحدةٍ؛ كما دلَّ على ذلك حديث عمار ، وفيه أنَّ تيمُّم
الجُنُب كتيمُّم غيره بالوجه واليدين.
فائدة:
اعلم أن قواعد الطبِّ تدور على ثلاث قواعدَ: حفظ الصحة عن
المؤذيات، والاستفراغ منها، والحميةُ عنها.
وقد نبَّه تعالى عليها في كتابه العزيز:
أمَّا حفظ الصحة والحمية عن المؤذي؛ فقد أمر بالأكل والشرب وعدم
الإسراف في ذلك، وأباح للمسافر والمريض الفطر حفظاً لصحَّتهما
باستعمال ما يُصْلِحُ البدن على وجه العدل، وحماية للمريض عما
يضرُّه. وأما استفراغُ المؤذي؛ فقد أباح تعالى للمحرم المتأذِّي
برأسه أن يحلِقَهُ لإزالة الأبخرة المحتقنة فيه؛ ففيه تنبيهٌ على
استفراغ ما هو أولى منها من البول والغائط والقيء والمنيِّ والدم
وغير ذلك. نبه على ذلك ابن القيم رحمه الله تعالى. وفي الآية
وجوبُ تعميم مسح الوجه واليدين، وأنَّه يجوز التيمُّم، ولو لم
يضق الوقت، وأنه لا يخاطَب بطلب الماء إلا بعد وجود سبب الوجوب.
والله أعلم. ثمَّ ختم الآية بقوله:
{إنَّ اللهَ كانَ عفُوًّا غَفوراً}؛ أي: كثير العفو والمغفرة لعباده
المؤمنين بتيسير ما أمرهم به وتسهيلِهِ غايةَ التسهيل بحيثُ لا
يَشُقُّ على العبد امتثالُه فيحرج بذلك، ومن عفوه ومغفرته أنْ
رَحِمَ هذه الأمة بشرع طهارة التُّراب بدل الماء عند تعذُّر
استعماله، ومن عفوِهِ ومغفرتِهِ أن فتح للمذنبين باب التوبة
والإنابة ودعاهُم إليه ووعدهم بمغفرة ذنوبهم، ومن عفوه ومغفرته
أنَّ المؤمن لو أتاه بقُراب الأرض خطايا ثم لَقِيَهُ لا يشرك به
شيئاً؛ لأتاه بقرابها مغفرةً.
(43) Allah سبحانه وتعالى melarang
hamba-hambaNya yang beriman untuk tidak mendekati shalat ketika
dalam kondisi mabuk hingga mereka mampu mengetahui apa yang
mereka katakan, hal ini mencakup juga perkara mendekati
tempat-tempat shalat, seperti masjid, maka sesungguhnya seorang
yang mabuk itu tidak diboleh-kan memasukinya, dan juga mencakup
shalat itu sendiri, karena sesungguhnya seorang yang mabuk tidak
boleh melakukan shalat, tidak juga ibadah yang lain, disebabkan
karena pikirannya yang tidak lurus, dan ketidaktahuannya tentang
apa yang diucapkan-nya, oleh karena itu Allah سبحانه وتعالى
mengancam hal tersebut dan men-syaratkan bolehnya melakukan
perkara itu ketika mengetahui apa yang diucapkan oleh orang yang
mabuk tersebut. Ayat yang mulia ini telah dinasakh oleh ayat
pengharaman khamar secara mutlak, karena sesungguhnya khamar itu
pada awalnya tidak diharamkan, kemudian Allah سبحانه وتعالى
telah mengisyarat-kan tentang keharamannya bagi hamba-hambaNya
dengan Firman-Nya, ﴾ يَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡخَمۡرِ
وَٱلۡمَيۡسِرِۖ قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٞ كَبِيرٞ وَمَنَٰفِعُ
لِلنَّاسِ وَإِثۡمُهُمَآ أَكۡبَرُ مِن نَّفۡعِهِمَاۗ
﴿ "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah, 'Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan
beberapa manfaat bagi ma-nusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya'."
(Al-Baqarah: 219). Kemudian Allah سبحانه وتعالى melarang mereka minum khamar
ketika akan mendirikan shalat sebagaimana disebutkan dalam
ayat ini, kemudian Allah سبحانه وتعالى mengharamkannya secara
mutlak dalam segala kondisi dan waktu dalam FirmanNya, ﴾
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ
وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ
ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ
﴿ "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) kha-mar, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu."
(Al-Ma`idah: 90). Walaupun demikian sesungguhnya khamar itu akan lebih haram
lagi ketika akan mendirikan shalat karena mengandung
ke-rusakan yang besar, yaitu dengan tidak tercapainya maksud
dari shalat yang merupakan ruh dari shalat dan intinya, yaitu
kekhu-syu'an dan hadirnya hati, sedangkan khamar menutupi hati
dan menghalangi dari berdzikirkepada Allah dan dari shalat.
Dan di antara faidah dari makna ini adalah larangan memu-lai
shalat dalam kondisi sangat mengantuk di mana orang tersebut
tidak merasakan (mengetahui) apa yang
diucapkan dan dikerja-kannya, bahkan ada indikasi dari makna
ini bahwa seyogyanya bagi seseorang yang hendak menegakkan
shalat agar meninggal-kan segala hal-hal yang menyibukkan
pikirannya, seperti menahan buang air kecil atau air besar,
atau hasrat untuk makan dan hal-hal lain semisalnya,
sebagaimana dijelaskan tentang hal itu oleh hadits Nabi ﷺ yang
shahih.[25] Kemudian Allah berfirman,
﴾
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ
﴿ "(Jangan pula hampiri masjid)
sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu
saja" yaitu janganlah kalian mendekati shalat ketika kondisi
kalian sedang junub kecuali bila sekedar lewat saja, artinya
kalian melewati masjid dan tidak tinggal di dalamnya, ﴾
حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ
﴿ "hingga kamu mandi" maksudnya, apabila kalian telah mandi.
Dan itulah batas dari larangan mendekati shalat bagi seorang
yang junub, maka yang dibolehkan bagi orang tersebut hanyalah
melewati masjid saja. ﴾
وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ
مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ
تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ
﴿ "Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah." Tayamum
dibolehkan bagi orang yang sakit secara mutlak, baik ada air
ataupun tidak, karena alasannya adalah sakit yang membuat
pemakaian air sangat berat baginya, demikian pula perjalanan
jauh (safar), karena ia adalah suatu
kondisi yang dihadapkan dengan susahnya menda-patkan air,
apabila seorang musafir tidak mendapatkan air atau ia
mendapatkannya namun hanya dapat menutupi kebutuhan pokok-nya
seperti minum dan lainnya, maka boleh baginya bertayamum.
Demikian juga bila seseorang telah buang air kecil atau besar
atau menyentuh wanita, maka dia boleh bertayamum apabila ia
tidak mendapatkan air, baik saat perjalanan maupun menetap,
sebagai-mana hal itu ditunjukkan oleh keumuman ayat tersebut.
Kesim-pulannya adalah bahwa Allah سبحانه وتعالى membolehkan
tayamum dalam dua kondisi; di saat tidak ada air, hal ini
secara mutlak, baik saat perjalanan maupun menetap, dan di
saat sangat berat untuk mem-pergunakannya seperti sakit atau
lainnya. Dan para ahli tafsir telah berbeda pendapat tentang
makna Firman Allah, ﴾
أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ
﴿ "Atau kamu telah menyentuh perempuan," apakah yang dimaksud
di situ adalah berjimak? Sehingga ayat ini menjadi sebuah nash
yang jelas tentang bolehnya bertayamum bagi orang yang junub
sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadits[26], ataukah maksud darinya adalah hanya sebatas sentuhan dengan
tangan, lalu hal tersebut disyaratkan dengan kondisi bila
menjadi sebab keluarnya madzi, artinya sentuhan dengan adanya
syahwat, maka ayat itu menjadi sebuah dalil akan batalnya
wudhu karena hal tersebut. Dan para ahli fikih telah berdalil
dengan Firman Allah, ﴾
فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ
﴿ "Kemudian kamu tidak mendapat air" akan wajibnya usaha
mencari air pada saat masuknya waktu shalat, mereka ber-kata;
karena sesungguhnya tidaklah mungkin dikatakan bahwa tidak
mendapat air bagi orang yang belum mencari, akan tetapi
tidaklah dikatakan seperti itu kecuali setelah mencari. Mereka
kembali berdalil dengan ayat itu bahwa air yang berubah karena
disebabkan oleh sesuatu yang suci boleh -bahkan harus- bersuci
dengannya, hal ini karena ia termasuk dalam ayat, ﴾
فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ
﴿ "Kemudian kamu tidak mendapat air" dan air yang telah
berubah ka-rena bercampur dengan sesuatu yang suci itu juga
disebut. Dalam hal itu kita dapat membagi dan menyebutnya
sebagai kategori bukan air mutlak, dan dalam masalah ini perlu
pembahasan. Dan ayat yang mulia ini menunjukkan
disyariatkannya hukum yang agung tersebut atas umat ini, di
mana dengannya Allah سبحانه وتعالى memberikan karunia atas
mereka, yaitu syariat tayamum, dan para ulama telah bersepakat
atas hal tersebut, dan segala puji hanya milik Allah. Dan
bahwasanya tayamum itu dilakukan dengan tanah yang baik, yaitu
segala apa yang ada di atas bumi, baik yang memiliki debu atau
tidak, dan kemungkinan juga dikhususkan hanya tanah yang
memiliki debu, karena Allah berfirman, ﴾
فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ
﴿ "Sapulah mukamu dan tanganmu" dengannya, sedangkan tanah
yang tidak memiliki debu tidaklah mungkin mengusap
(wajah) dengan-nya. Dan FirmanNya,
﴾
فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ
﴿ "Sapulah mukamu dan tanganmu" dengannya, ini adalah bagian
yang harus disapu dalam bertayamum yaitu seluruh wajah dan
kedua tangan hingga kedua pergelangan tangannya, sebagaimana
yang ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih akan hal
tersebut[27], dan disunnahkan dalam
bertayamum adalah dengan satu kali tepukan saja sebagaimana
yang dijelaskan oleh hadits Ammar رضي الله عنه
[28], ayat ini juga menunjukkan bahwa
tayamumnya orang yang junub sama seperti lainnya yaitu bagian
wajah dan kedua tangan.
Suatu pelajaran:
Ketahuilah, bahwa kaidah-kaidah kedokteran berporos pada tiga
kaidah; menjaga kesehatan dari segala macam penyakit,
menghilangkan, dan memberikan perlindungan darinya.
Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى telah mengingatkan akan hal
tersebut dalam kitabNya yang mulia; adapun yang menyangkut
kaidah menjaga dan memberikan perlindungan, maka sesungguhnya
Allah telah memerintahkan untuk makan dan minum serta tidak
berlebihan dalam hal tersebut, Allah juga membolehkan bagi
se-orang musafir dan orang sakit untuk berbuka puasa demi
menjaga kesehatan keduanya, yaitu dengan mempergunakan sesuatu
yang bermanfaat untuk tubuh dalam bentuk yang seimbang, dan
juga melindungi si sakit dari segala hal yang membahayakannya.
Ada-pun tentang kaidah menghilangkan hal yang mengganggu, maka
sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى telah membolehkan bagi
seorang yang sedang ihram yang kepalanya sedang terganggu
dengan suatu hal untuk mencukur rambutnya demi menghilangkan
bau yang tidak sedap padanya. Dalam hal itu juga menyimpan
suatu peringatan untuk menghilangkan suatu yang lebih utama
darinya berupa air kecil, air besar, muntah, air mani, darah
dan lain sebagainya. Ibnu al-Qayyim 5 telah mengingatkan akan
hal tersebut[29]. Ayat ini menunjukkan
wajibnya membasuh wajah dan kedua tangan secara menyeluruh,
dan bahwa tayamum hukumnya di-bolehkan meskipun waktunya tidak
sempit, dan bahwa mencari air itu tidaklah diminta kecuali
setelah adanya sebab-sebab wajib, Wallahu a'lam. Kemudian
Allah menutup ayat ini dengan FirmanNya,﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا ﴿ "Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun," maksudnya, Allah memiliki maaf dan
ampunan yang melimpah bagi hamba-hambaNya yang beriman dengan
memudahkan dan meringankan dengan seringan-ringannya apa yang
telah Dia perintahkan kepada mereka, di mana seorang hamba tidak
akan mendapatkan kesulitan dalam menjalankannya hingga ia merasa
berat karenanya. Di antara maaf dan ampunanNya adalah Allah
merahmati umat ini dengan menetapkan syariat sucinya tanah
sebagai pengganti air ketika seorang hamba tidak mampu
mema-kainya, dan di antara maaf dan ampunanNya yang lain adalah
Allah membuka pintu taubat dan ampunan bagi orang-orang yang
berbuat dosa. Allah menyeru mereka kepadanya dan menjanjikan
kepada mereka ampunanNya atas dosa-dosa mereka. Dan di antara
maaf dan ampunanNya juga adalah bahwa seorang Mukmin bila
bertemu Allah dengan membawa dosa dan kesalahan sepenuh bumi dan
hamba itu bertemu Allah sedang ia tidak memperseku-tukanNya
dengan sesuatu pun, maka pastilah Allah akan mem-berikan
kepadanya ampunan sepenuh bumi pula.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ
الْكِتَابِ يَشْتَرُونَ الضَّلَالَةَ وَيُرِيدُونَ أَنْ
تَضِلُّوا السَّبِيلَ (44) وَاللَّهُ
أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ وَكَفَى بِاللَّهِ وَلِيًّا وَكَفَى
بِاللَّهِ نَصِيرًا (45) مِنَ
الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ
وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ
وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ
وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ
وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ
لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا
قَلِيلًا (46)}
.
"Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian
dari al-Kitab
(Taurat)? Mereka membeli
(memilih) kesesatan
(dengan petunjuk) dan mereka bermaksud
supaya kamu tersesat
(menyimpang) dari
jalan
(yang benar). Dan Allah lebih
mengeta-hui
(daripada kamu) tentang
musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung
(bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi
Penolong
(bagimu). Yaitu orang-orang
Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka
berkata, 'Kami men-dengar, tetapi kami tidak mau menurutinya.'
Dan
(mereka menga-takan pula),
'Dengarlah,' sedang kamu sebenarnya tidak mende-ngar apa-apa.
Dan
(mereka mengatakan), 'Ra'ina',
dengan me-mutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya
mereka mengatakan, 'Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah,
dan perhatikanlah kami', tentulah itu lebih baik bagi mereka dan
lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran
mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis."
(An-Nisa`: 44-46).
#
{44} هذا ذمٌّ لمن
{أوتوا نصيباً من الكتاب}، وفي
ضمنه تحذيرُ عبادِهِ عن الاغترار بهم والوقوع في أشراكهم، فأخبر
أنهم في أنفسهم
{يشترون الضلالة}؛
أي:
يحبُّونها محبةً عظيمةً ويؤثِرونها إيثار مَن يبذُلُ المال
الكثير في طلب ما يحبُّه، فيؤثرون الضلال على الهدى والكفر على
الإيمان والشقاء على السعادة، ومع هذا
{يريدونَ أن تَضِلُّوا السبيل}؛
فهم حريصون على إضلالِكُم غايةَ الحرص، باذِلون جهدَهم في ذلك،
ولكن لما كان الله وليَّ عباده المؤمنين وناصرهم؛ بيَّن لهم ما
اشتملوا عليه من الضلال والإضلال.
(44) Ini merupakan celaan bagi
orang-orang yang ﴾ أُوتُواْ نَصِيبٗا مِّنَ ٱلۡكِتَٰبِ
﴿ "telah diberi bagian dari al-Kitab
(Taurat)" dan ayat ini juga mengandung
peringatan buat hamba-hambaNya agar tidak terpe-daya dengan
mereka dan tidak terjerumus ke dalam orang-orang yang semisal
mereka, lalu Allah mengabarkan mereka tentang diri mereka
sendiri, ﴾
يَشۡتَرُونَ ٱلضَّلَٰلَةَ
﴿ "Mereka membeli (memilih) kesesatan
(dengan petunjuk)" maksudnya, mereka
sangat menyukainya dan mendahulukannya sebagaimana seorang
yang mengerahkan harta yang banyak untuk meraih apa yang
disukainya, mereka men-dahulukan kesesatan daripada petunjuk
dan kekufuran daripada keimanan serta kesengsaraan daripada
kebahagiaan, walaupun demikian, ﴾
وَيُرِيدُونَ أَن تَضِلُّواْ ٱلسَّبِيلَ ﴿ "mereka bermaksud
supaya kamu tersesat
(menyimpang) dari
jalan
(yang benar)" mereka itu sangat
bersemangat untuk menyesatkan kalian dengan segenap kemampuan,
mereka mengerahkan segala upaya dalam hal tersebut, akan tetapi
ketika Allah adalah pelindung bagi hamba-hambaNya yang beriman
dan penolong mereka, maka Allah menerangkan kepada mereka
tentang apa yang terkandung padanya berupa kesesatan dan
penyesatan.
#
{45} ولهذا قال:
{وكفى بالله وليًّا}؛
أي:
يتولَّى أحوال عباده، ويلطف بهم في جميع أمورهم، وييسِّر لهم ما
به سعادتهم وفلاحهم،
{وكفى بالله نصيراً}: ينصرُهُم على
أعدائهم، ويبيِّن لهم ما يحذَرون منهم، ويعينُهم عليهم؛
فولايتُهُ تعالى فيها حصول الخير، ونصرُهُ فيه زوال الشرِّ.
(45) Oleh karena itulah Allah berfirman,
﴾ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ نَصِيرٗا
﴿ "Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung
(bagimu)," yaitu Allah mengurus
kondisi hamba-hambaNya, mengasihi mereka dalam segala urusan
mereka, dan Allah memudahkan bagi mereka hal-hal yang menjadi
kebahagiaan dan keberuntungan mereka, ﴾
وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ نَصِيرٗا ﴿ "Dan cukup-lah Allah menjadi
Penolong
(bagimu)" membela orang-orang
yang beriman atas musuh-musuh mereka, Allah menjelaskan kepada
mereka tentang apa yang harus mereka hindari dari musuh-musuh
tersebut, kemudian Dia menolong mereka atas musuh-musuh
ter-sebut, maka perlindungan Allah تعالى dalam hal itu adalah
tercapai-nya kebaikan, sedang pertolonganNya adalah hilangnya
keburukan.
#
{46} ثم بيَّن كيفية ضلالهم
وعنادهم وإيثارهم الباطل على الحق،
فقال:
{من الذين هادوا}؛
أي:
اليهود، وهم علماء الضلال منهم،
{يُحرِّفون الكلمَ عن مواضعه}: إما
بتغيير اللفظ أو المعنى أو هما جميعاً؛ فمن تحريفهم تنزيل الصفات
التي ذُكِرَت في كتبهم التي لا تنطبق ولا تصدُقُ إلاَّ على محمد
- صلى الله عليه وسلم - على أنه غيرُ مراد بها ولا مقصودٍ بها،
بل أُريد بها غيره، وكتمانهم ذلك؛ فهذا حالهم في العلم شر حال،
قلبوا فيه الحقائق، ونزَّلوا الحقَّ على الباطل، وجحدوا لذلك
الحق. وأما حالهم في العمل والانقياد؛ فإنَّهم
{يقولون سمعنا وعصينا}؛
أي:
سمعنا قولك وعصينا أمرك، وهذا غاية الكفر والعناد والشرود عن
الانقياد، وكذلك يخاطبون الرسول - صلى الله عليه وسلم - بأقبح
خطاب وأبعده عن الأدب، فيقولون:
{اسمع غير مُسْمَع}؛
قصدُهم:
اسمع منا غير مُسْمَع ما تحبُّ بل مُسْمَع ما تكره.
{وراعنا}:
[و] قصدهم بذلك الرعونةَ بالعيب القبيح،
ويظنُّون أن اللفظ لما كان محتملاً لغير ما أرادوا من الأمور؛
أنه يَروج على الله وعلى رسوله، فتوصَّلوا بذلك اللفظ الذي يلوون
به ألسنتهم إلى الطعن في الدين والعيب للرسول، ويصرِّحون بذلك
فيما بينهم؛ فلهذا قال:
{ليًّا بألسنتهم وطعناً في الدين}.
ثم أرشدهم إلى ما هو خيرٌ لهم من ذلك،
فقال:
{ولو أنهم قالوا سمعنا وأطعنا واسمع وانظُرْنا لكان خيراً لهم
وأقوم}: وذلك لما تضمَّنه هذا الكلام من حسن الخطاب والأدب اللائق في
مخاطبة الرسول والدُّخول تحت طاعة الله والانقياد لأمره وحُسن
التلطُّف في طلبهم العلم بسماع سؤالهم والاعتناء بأمرهم؛ فهذا هو
الذي ينبغي لهم سلوكه، ولكن لما كانت طبائِعُهم غير زكيَّةٍ؛
أعرضوا عن ذلك وطردهم الله بكفرِهم وعنادِهم،
ولهذا قال:
{ولكن لعنهم الله بكفرهم فلا يؤمنون إلا قليلاً}.
(46) Kemudian Allah menjelaskan tentang
kesesatan dan kedurhakaan mereka, serta sikap mereka
mendahulukan kebatilan daripada kebenaran dalam FirmanNya, ﴾
مِّنَ ٱلَّذِينَ هَادُواْ
﴿ "Yaitu orang-orang Yahudi" di mana mereka itu adalah para
ulama kesesatan dari kaum Yahudi, ﴾
يُحَرِّفُونَ ٱلۡكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ
﴿ "mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya," dengan
merubah lafazhnya atau maknanya atau merubah keduanya
sekaligus. Dan di antara penyelewengan mereka adalah
menempatkan sifat-sifat yang disebutkan dalam kitab-kitab
mereka hanya sesuai bagi Nabi Muhammad ﷺ pada posisi bukan itu
yang dimaksudkan
(menurut anggapan mereka) dan bukan
pula yang dikehendaki dari ayat-ayat itu, akan tetapi yang
dimaksudkan olehnya adalah selain beliau ﷺ dan mereka
menyembunyikan hal tersebut. Inilah kondisi mereka dalam ilmu
yang merupakan seburuk-buruk kondisi, mereka telah
memutar-balikkan hakikat yang sebenarnya, dan menempatkan
kebenaran pada kebatilan lalu mengingkari kebenaran tersebut.
Adapun kondisi mereka pada amal perbuatan dan ketun-dukan
adalah, ﴾
وَيَقُولُونَ سَمِعۡنَا وَعَصَيۡنَا
﴿ "mereka berkata, 'Kami mendengar, tetapi kami tidak mau
menurutinya'," maksudnya, kami telah mende-ngarkan perkataanmu
(wahai Muhammad) dan kami tidak
menu-ruti perintahmu, inilah puncak dari kekufuran,
kedurhakaan dan keluar dari ketundukan. Demikian juga, mereka
berdialog dengan Nabi ﷺ dengan seburuk-buruk dialog dan paling
jauh dari tata krama yang baik, mereka berkata, ﴾
وَٱسۡمَعۡ غَيۡرَ مُسۡمَعٖ
﴿ "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar
apa-apa," maksud mereka adalah dengarkanlah dari kami sedang
kamu tidak mendengar apa-apa yang kamu sukai, akan tetapi kamu
mendengar apa yang kamu benci. ﴾
وَرَٰعِنَا
﴿ "Dan (mereka mengatakan), Ra'ina"
maksud mereka dari hal itu adalah Ru'unah,
yang berarti:
kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah ﷺ, dan
mereka mengira bahwa lafazh tersebut ketika maknanya memiliki
kemungkinan berbeda dari apa yang mereka maksudkan, bahwasanya
lafazh itu membuat samar
(tidak jelas) bagi Allah dan RasulNya,
lalu mereka meman-faatkan lafazh itu di mana lisan-lisan
mereka selalu mengucapkan-nya demi mencela agama dan
menjatuhkan kehormatan Rasul, ke-mudian mereka mengutarakan
hal tersebut secara terang-terangan di antara mereka, karena
itulah Allah berfirman, ﴾
لَيَّۢا بِأَلۡسِنَتِهِمۡ وَطَعۡنٗا فِي ٱلدِّينِۚ
﴿ "Dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama." Kemudian
Allah memberikan petunjuk kepada mereka menuju perkara yang
mengandung kebaikan buat mereka daripada hal tersebut dengan
berfirman, ﴾
وَلَوۡ أَنَّهُمۡ قَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَا وَٱسۡمَعۡ
وَٱنظُرۡنَا لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۡ وَأَقۡوَمَ
﴿ "Sekiranya mereka mengatakan, 'Kami mendengar dan menurut,
dan dengarlah, dan perhatikanlah kami', tentulah itu lebih
baik bagi mereka dan lebih tepat," hal itu karena apa yang
dikandung oleh perkataan tersebut berupa dialog yang baik dan
tata krama yang patut dalam berdialog dengan Rasulullah ﷺ dan
termasuk dalam ketaatan kepada Allah, tunduk akan perintahNya,
serta kesopanan yang baik dari mereka saat menuntut ilmu di
mana mereka mengutarakan pertanyaan mereka dengan cara yang
baik dan memperhatikan sikap mereka, inilah yang sepatutnya
mereka tempuh, akan tetapi ketika tabiat dan karakter mereka
tidaklah bersih, akhirnya mereka berpaling dari hal tersebut
lalu Allah mengusir mereka akibat dari kekufuran dan
kedurhakaan mereka, oleh karena itu Allah berfirman,﴾
وَلَٰكِن لَّعَنَهُمُ ٱللَّهُ بِكُفۡرِهِمۡ فَلَا يُؤۡمِنُونَ
إِلَّا قَلِيلٗا ﴿ "Akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena
kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat
tipis."
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ آمِنُوا بِمَا
نَزَّلْنَا مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ
نَطْمِسَ وُجُوهًا فَنَرُدَّهَا عَلَى أَدْبَارِهَا أَوْ
نَلْعَنَهُمْ كَمَا لَعَنَّا أَصْحَابَ السَّبْتِ وَكَانَ
أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
(47)}
.
"Hai orang-orang yang telah diberi al-Kitab, berimanlah kamu
kepada apa yang telah Kami turunkan
(al-Qur`an) yang membenarkan Kitab yang
ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka
(mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuk me-reka
sebagaimana Kami telah mengutuk orang-orang
(yang berbuat maksiat) pada Hari Sabtu.
Dan ketetapan Allah pasti berlaku."
(An-Nisa`: 47).
#
{47} يأمُرُ تعالى أهل الكتاب من
اليهود والنصارى أن يؤمنوا بالرسول محمد - صلى الله عليه وسلم -
وما أنزل الله عليه من القرآن العظيم المهيمن على غيره من الكتب
السابقة الذي صدقها؛ فإنها أخبرت به، فلما وقع المُخْبَرُ به؛
كان تصديقاً لذلك الخبر. وأيضاً؛ فإنهم إن لم يؤمنوا بهذا
القرآن؛ فإنهم لم يؤمنوا بما في أيديهم من الكتب؛ لأنَّ كتب الله
يصدِّق بعضها بعضاً، ويوافق بعضها بعضاً؛ فدعوى الإيمان ببعضها
دون بعضٍ دعوى باطلة، لا يمكن صدقها.
وفي قوله:
{آمنوا بما نزَّلنا مصدقاً لما معكم}: حثٌّ لهم، وأنهم ينبغي أن يكونوا قبل غيرهم مبادِرين إليه
بسبب ما أنعم الله عليهم به من العلم والكتاب الذي يوجِبُ أن
يكون ما عليهم أعظم من غيرهم، ولهذا توعَّدهم على عدم
الإيمان، فقال:
{من قبل أن نطمِسَ وجوهاً فنردَّها على أدبارِها}: وهذا جزاءٌ من جنس ما عملوا؛ كما تركوا الحقَّ وآثروا الباطل
وقلبوا الحقائق فجعلوا الباطل حقًّا والحقَّ باطلاً، جُوزوا من
جنس ذلك بطَمْس وجوههم كما طَمَسوا الحقَّ، وردِّها على أدبارها
بأن تُجْعَلَ في أقفائهم، وهذا أشنع ما يكون.
{أو نَلْعَنَهم كما لَعَنَّا أصحاب السبت}: بأن يَطْرُدَهم من رحمته ويعاقِبَهم بجعلهم قردةً؛ كما فعل
بإخوانهم الذين اعتدَوا في السبت فقلنا لهم كونوا قردة خاسئين.
{وكان أمر الله مفعولاً}.
كقوله:
{إنما أمره إذا أراد شيئاً أن يقول له كن فيكون}.
(47) Allah سبحانه وتعالى memerintahkan
Ahli Kitab dari kaum Yahudi dan Nasrani untuk beriman kepada
Rasul Muhammad ﷺ dan apa yang telah Allah turunkan kepadanya
berupa al-Qur`an yang agung yang mencakup
(isi) kitab-kitab selainnya dari
kitab-kitab sebelumnya yang telah ia benarkan, sesungguhnya
kitab-kitab itu telah mengabarkan tentang al-Qur`an, dan ketika
terjadi apa yang dikabarkan, maka ia menjadi bukti akan kabar
tersebut, dan se-sungguhnya bila mereka tidak beriman kepada
al-Qur`an ini, maka sebenarnya mereka pun tidaklah beriman
kepada kitab-kitab yang ada di tangan mereka, karena kitab-kitab
Allah sebagiannya mem-benarkan sebagian yang lain, dan
sebagiannya berkesesuaian dengan sebagian yang lain, maka
pengakuan beriman kepada sebagiannya tanpa mengimani sebagian
yang lain adalah sebuah pengakuan yang batil yang tidak mungkin
dapat dipercaya. Dan dalam FirmanNya, ﴾ ءَامِنُواْ بِمَا
نَزَّلۡنَا مُصَدِّقٗا لِّمَا مَعَكُم
﴿ "Berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan
(al-Qur`an) yang membe-narkan Kitab
yang ada pada kamu." Ini adalah sebuah anjuran untuk mereka,
dan bahwa yang sepatutnya mereka lakukan adalah bersegera
beriman sebelum kaum lain selain mereka, dikarenakan Allah
telah menganugerahkan nikmat kepada mereka berupa ilmu dan
kitab yang mengharuskan apa yang wajib atas mereka adalah
lebih besar daripada selain mereka, karena itulah Allah
mengancam mereka bila tidak beriman dalam FirmanNya, ﴾
مِّن قَبۡلِ أَن نَّطۡمِسَ وُجُوهٗا فَنَرُدَّهَا عَلَىٰٓ
أَدۡبَارِهَآ
﴿ "Sebelum Kami mengubah muka(mu),
lalu Kami putarkan ke belakang," ini merupakan balasan
terhadap apa yang sesuai dengan jenis amalan mereka,
sebagaimana mereka meninggalkan kebenaran dan lebih
mendahulukan kebatilan, mereka memutar-balikkan hakikat yang
sebenarnya hingga mereka menjadikan yang batil menjadi benar
dan yang benar menjadi batil, akhirnya mereka diberikan
balasan sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat yaitu
dengan merubah wajah-wajah mereka sebagaimana mereka merubah
kebenaran, dan memutarnya ke belakang pung-gung mereka yaitu
menjadikan wajah mereka berada pada tengkuk mereka, dan hal
ini merupakan suatu hal yang paling jelek. ﴾
أَوۡ نَلۡعَنَهُمۡ كَمَا لَعَنَّآ أَصۡحَٰبَ ٱلسَّبۡتِۚ
﴿ "Atau Kami kutuk mereka sebagaimana Kami telah mengutuk
orang-orang
(yang berbuat maksiat) pada hari
Sabtu," yaitu dengan mengusir mereka dari rahmat Allah dan
menghukum mereka dengan cara menjadikan mereka kera-kera,
sebagaimana yang dilakukan juga kepada saudara-saudara mereka
yang telah melampaui batas pada hari Sabtu, maka Kami
berfirman kepada mereka, jadilah kalian kera-kera yang
terhina. ﴾
وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ مَفۡعُولًا
﴿ "Dan ketetapan Allah pasti berlaku" seperti FirmanNya,
﴾
إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ
كُن فَيَكُونُ 82 ﴿ "Sesungguhnya keadaanNya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, 'Jadilah!' maka
terjadilah ia."
(Yasin: 82).
{إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ
مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ
فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
(48)}
.
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar."
(An-Nisa`: 48).
#
{48} يخبر تعالى أنه لا يَغْفِرُ
لمن أشرك به أحداً من المخلوقين ويغفر ما دون ذلك من الذُّنوب
صغائرها وكبائرها، وذلك عند مشيئته مغفرةَ ذلك إذا اقتضتْ
حكمتُهُ مغفرتَه؛ فالذُّنوب التي دون الشرك قد جعل الله
لمغفرتِها أسباباً كثيرةً؛ كالحسنات الماحية والمصائب المكفِّرة
في الدُّنيا والبرزخ ويوم القيامة، وكدعاء المؤمنين بعضهم لبعض،
وبشفاعة الشافعين، ومن [فوق] ذلك كلِّه
رحمته التي أحق بها أهل الإيمان والتوحيد، وهذا بخلاف الشرك؛
فإنَّ المشرك قد سدَّ على نفسه أبواب المغفرة، وأغلق دونه أبواب
الرحمة؛ فلا تنفعه الطاعاتُ من دون التوحيد، ولا تفيده المصائب
شيئاً،
{وما لهم يوم القيامةِ من شافعينَ ولا صديقٍ حميم}، ولهذا قال تعالى:
{ومَن يُشْرِكْ بالله فقد افترى إثماً عظيماً}؛ أي: افترى جرماً كبيراً، وأيُّ ظلم
أعظم ممَّن سوَّى المخلوقَ من ترابٍ، الناقصَ من جميع الوجوه،
الفقيرَ بذاته من كلِّ وجه، الذي لا يملِكُ لنفسه فضلاً عمَّن
عَبَدَهُ نفعاً ولا ضرًّا ولا موتاً ولا حياة ولا نشوراً؛
بالخالق لكل شيء، الكامل من جميع الوجوه، الغني بذاتِهِ عن جميع
مخلوقاتِهِ، الذي بيدِهِ النفع والضُّرُّ والعطاء والمنع، الذي
ما من نعمةٍ بالمخلوقين إلا فمنه تعالى؛ فهل أعظمُ من هذا الظلم
شيء؟! ولهذا حتَّم على صاحبه بالخلود بالعذاب وحرمان
الثواب:
{إنَّه مَن يُشْرِكْ بالله فقد حرَّم اللهُ عليه الجنةَ
ومأواه النار}. وهذه الآية الكريمة في حقِّ غير التائب، وأما التائب؛ فإنه
يُغْفَرُ له الشرك فما دونه؛
كما قال تعالى:
{قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم لا تَقْنَطوا من رحمة
الله إنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذنوبَ جميعاً}؛ أي: لمن تاب إليه وأناب.
(48) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan
bahwasanya Dia tidak akan mengampuni seseorang yang
menyekutukanNya dengan sesuatu pun dari para makhluk dan Dia
mengampuni dosa-dosa selain dari syirik, baik dosa yang kecil
maupun yang besar. Yang demi-kian itu adalah menurut kehendakNya
dalam mengampuninya, yaitu bila hikmahNya telah menentukan untuk
mengampuninya. Adapun dosa-dosa selain syirik, sesungguhnya
Allah telah menjadi-kan baginya banyak sekali sebab-sebab
pengampunannya, seperti kebaikan-kebaikan yang menggugurkan
dosa, musibah-musibah yang menghapus dosa di dunia, alam barzakh
dan di Hari Kiamat, atau seperti doa sebagian kaum Mukminin
untuk sebagian yang lain, atau dengan syafa'atnya orang-orang
yang memberi syafa'at, dan yang lebih dari semua itu adalah
rahmat Allah, di mana yang paling berhak mendapatkannya adalah
para ahli iman dan tauhid. Berbeda halnya dengan kesyirikan,
sesungguhnya seorang musyrik telah menutup pintu-pintu ampunan
bagi dirinya sendiri, dan juga telah mengunci rapat pintu-pintu
rahmat, sehingga tidak akan berguna bagi mereka segala ketaatan
selain dari ketauhidan, dan musibah-musibah tidak bermanfaat
sama sekali baginya, ﴾ فَمَا لَنَا مِن شَٰفِعِينَ 100 وَلَا
صَدِيقٍ حَمِيمٖ 101
﴿ "Maka kami tidak mempunyai pemberi syafa'at seorang pun,
dan tidak pula mempunyai teman yang akrab."
(Asy-Syu'ara`: 100-101). Oleh karena itulah Allah berfirman, ﴾
وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا
﴿ "Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia
telah ber-buat dosa yang besar," maksudnya, ia telah berbuat
kejahatan yang besar, dan kezhaliman apa lagi yang paling
besar dari orang yang menyamakan antara seorang makhluk yang
berasal dari tanah, yang memiliki kekurangan dari segala
aspeknya, di mana dirinya sendiri sangat fakir dari segala
sisi, yang tidak memiliki apa pun bagi dirinya apalagi untuk
orang yang menyembahnya, di mana dia tidak mampu mendatangkan
manfaat, bahaya, dan tidak pula mampu mematikan, menghidupkan,
apalagi membangkitkan, dengan sang Pencipta segala sesuatu,
yang Mahasempurna dari segala aspeknya, di mana DiriNya
Mahakaya dan tidak butuh ke-pada seluruh makhluk, yang pada
TanganNya ada manfaat, bahaya, pemberian maupun peniadaan, dan
yang tiada suatu nikmat pun yang dirasakan oleh seluruh
makhluk kecuali dariNya سبحانه وتعالى. Maka adakah suatu hal
yang lebih besar dari kezhaliman itu? Oleh karena itu Allah
menetapkan bahwa pelakunya abadi dalam siksa neraka dan
diharamkan mendapatkan pahala, ﴾
إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ
ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ
﴿ "Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti
Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah
neraka."
(Al-Ma`idah: 72). Ayat yang mulia ini berlaku bagi selain orang yang
bertaubat, adapun orang yang bertaubat, maka akan diampuni
baginya, baik dosa syirik ataupun dosa selainnya, sebagaimana
Allah سبحانه وتعالى berfir-man, ﴾
قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا
تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ
ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ ﴿ "Katakanlah, 'Hai hamba-hambaKu yang
melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Se-sungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya'."
(Az-Zumar: 53),
yaitu bagi orang yang bertaubat dan kembali kepadaNya.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ
اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
(49) انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ
عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَكَفَى بِهِ إِثْمًا مُبِينًا
(50)}
.
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mengang-gap dirinya
bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya
dan mereka tidak dianiaya sedikit pun. Perhati-kanlah, betapakah
mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah
perbuatan itu menjadi dosa yang nyata
(bagi me-reka)."
(An-Nisa`: 49-50).
#
{49} هذا تعجُّب من الله لعباده
وتوبيخٌ للذين يُزكُّون أنفسهم من اليهود والنصارى ومَن نحا
نحوَهم من كلِّ من زَكَّى نفسَه بأمر ليس فيه،
وذلك أن اليهود والنصارى يقولون:
{نحنُ أبناءُ الله وأحبَّاؤُهُ}، ويقولون:
{لن يدخُلَ الجنَّة إلاَّ مَن كانَ هُوداً أو نصارى}: وهذا مجردُ دعوى لا برهانَ عليها،
وإنَّما البرهانُ ما أخبر به في القرآن في قوله:
{بلى مَن أسلمَ وجهَهُ للهِ وهو محسنٌ فلهُ أجرُهُ عندَ ربِّه
ولا خوفٌ عليهم ولا هُم يحزنون}، فهؤلاء هم الذين زكَّاهم الله،
ولهذا قال هنا:
{بلِ اللهُ يُزكِّي مَن يشاء}؛ أي: بالإيمان والعمل الصالح،
بالتخلِّي عن الأخلاق الرَّذيلة والتحلِّي بالصفات الجميلة، وأما
هؤلاء؛ فهم وإن زَكَّوا أنفسهم بزعمهم أنهم على شيء وأنَّ الثواب
لهم وحدهم؛ فإنهم كذبة في ذلك، ليس لهم من خصال الزاكين نصيبٌ
بسبب ظلمهم وكفرهم لا بظُلم من الله لهم،
ولهذا قال:
{ولا يُظْلَمونَ فَتيلاً}، وهذا
لتحقيق العموم؛ أي: لا يظلمون شيئاً،
ولا مقدار الفتيل الذي في شِقِّ النَّواة أو الذي يُفْتَلُ من
وسخ اليدِ وغيرها.
(49) Ini merupakan keheranan dari Allah
kepada hamba-hambaNya dan suatu celaan bagi orang-orang yang
menyucikan diri mereka dari kaum Yahudi dan Nasrani serta
orang-orang yang sejalan dengan mereka, yaitu setiap orang yang
menyucikan dirinya sendiri dengan suatu perkara yang tidak ada
padanya, yang demikian itu bahwa Yahudi dan Nasrani berkata, ﴾
نَحۡنُ أَبۡنَٰٓؤُاْ ٱللَّهِ وَأَحِبَّٰٓؤُهُۥۚ
﴿ "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasihNya."
(Al-Ma`idah: 18). Mereka juga berkata, ﴾
وَقَالُواْ لَن يَدۡخُلَ ٱلۡجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوۡ
نَصَٰرَىٰۗ
﴿ "Dan mereka
(Yahudi dan Nasrani) berkata,
'Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang
(yang beragama) Yahudi atau Nasrani'."
(Al-Baqarah: 111). Ini merupakan pengakuan kosong belaka yang tidak memiliki
landasan apa pun, dan yang ada landasannya adalah apa yang
telah Allah tegaskan dalam al-Qur`an dalam FirmanNya, ﴾
بَلَىٰۚ مَنۡ أَسۡلَمَ وَجۡهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحۡسِنٞ فَلَهُۥٓ
أَجۡرُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ
يَحۡزَنُونَ 112
﴿ "(Tidak demikian) bahkan
barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia
berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya dan
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati."
(Al-Baqarah: 112). Mereka itulah orang-orang yang Allah sucikan, oleh karena
itulah Allah berfirman dalam ayat ini, ﴾
بَلِ ٱللَّهُ يُزَكِّي مَن يَشَآءُ
﴿ "Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya"
yaitu dengan iman dan amal shalih, dengan berlepas diri dari
akhlak yang tercela dan menghiasi diri dengan akhlak yang
luhur. Adapun mereka itu walaupun telah menyucikan diri atas
dasar sangkaan mereka bahwa mereka berada pada suatu
(derajat) dan bahwa pahala itu hanya
milik mereka sendiri, maka sesungguhnya mereka hanya-lah para
pendusta, dan mereka tidak mendapatkan bagian sedikit pun dari
pahala orang-orang yang suci, hal itu disebabkan oleh
kezhaliman dan kekufuran mereka, dan bukannya kezhaliman dari
Allah terhadap mereka, oleh karena itu Allah berfirman,
﴾
وَلَا يُظۡلَمُونَ فَتِيلًا ﴿ "Dan mereka tidak dianiaya sedikit
pun," hal ini untuk menegas-kan keumuman
(suatu perkara), artinya, mereka sedikit
pun tidak dizhalimi, meski hanya seukuran biji yang ada pada
belahan atom atau sesuatu yang dibuang dari kotoran tangan dan
selainnya.
#
{50} قال تعالى:
{انظر كيف يفترونَ على الله الكذب}؛ أي: بتزكيتهم أنفسهم؛ لأنَّ هذا من
أعظم الافتراء على الله؛ لأنَّ مضمون تزكيتِهِم لأنفسهم الإخبارُ
بأنَّ الله جَعَلَ ما هم عليه حَقًّا وما عليه المؤمنون المسلمون
باطلاً، وهذا أعظم الكذب وقلبِ الحقائق بجعل الحقِّ باطلاً
والباطل حقًّا، ولهذا قال:
{وكفى به إثماً مبيناً}؛
أي:
ظاهراً بَيِّناً موجباً للعقوبة البليغة والعذاب الأليم.
(50) Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾
ٱنظُرۡ كَيۡفَ يَفۡتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَۖ
﴿ "Perhatikan-lah, betapakah mereka mengada-adakan dusta
terhadap Allah?" yaitu dengan cara menyucikan diri mereka
sendiri, karena hal itu meru-pakan pendustaan yang paling
besar atas Allah, karena muatan dari penyucian diri mereka itu
adalah sebuah kabar bahwa Allah telah menjadikan apa yang
mereka lakukan saat itu adalah benar dan apa yang dilakukan
kaum Mukminin adalah batil, ini adalah pendustaan yang paling
besar dan sebuah pemutarbalikan kenya-taan dan hakikat dengan
cara membuat yang haq menjadi batil, dan batil menjadi haq,
karena itulah Allah berfirman, ﴾
وَكَفَىٰ بِهِۦٓ إِثۡمٗا مُّبِينًا ﴿ "Dan cukuplah perbuatan itu
menjadi dosa yang nyata
(bagi mereka),"
maksudnya, sangat nampak dan jelas
(bahwa perbuatan itu) meng-akibatkan
hukuman yang keras dan siksa yang pedih.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ
الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ
الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلًا
(51) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ
اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا
(52) أَمْ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنَ
الْمُلْكِ فَإِذًا لَا يُؤْتُونَ النَّاسَ نَقِيرًا
(53) أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى
مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ فَقَدْ آتَيْنَا آلَ
إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا
عَظِيمًا (54) فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ
بِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ صَدَّ عَنْهُ وَكَفَى بِجَهَنَّمَ
سَعِيرًا (55) إِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّمَا
نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا
لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا
(56) وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَهُمْ فِيهَا
أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَنُدْخِلُهُمْ ظِلًّا ظَلِيلًا
(57)}
.
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang di-beri bagian
dari al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan
mengatakan kepada orang-orang kafir
(musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih
benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah
orang yang dikutuk Allah. Barangsiapa yang dikutuk Allah,
niscaya kamu sekali-kali tidak akan mem-peroleh penolong
baginya. Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan
(kekuasaan)? Kendati pun ada, mereka
tidak akan mem-berikan sedikit pun
(kebajikan) kepada manusia. Ataukah
mereka dengki kepada manusia
(Muhammad) lantaran karunia yang Allah
telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan
Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah
mem-berikan kepadanya kerajaan yang besar. Maka di antara mereka
(orang-orang yang dengki itu), ada
orang-orang yang beriman kepadanya, dan di antara mereka ada
orang-orang yang mengha-langi
(manusia) dari beriman kepadanya. Dan
cukuplah
(bagi mereka) Jahanam yang
apinya menyala-nyala. Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada
ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka.
Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan
kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya
Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, kelak akan Kami
masukkan mereka ke dalam surga yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; di
dalamnya mereka mempu-nyai istri-istri yang suci, dan Kami
masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman."
(An-Nisa`: 51-57).
#
{51} وهذا من قبائح اليهود وحسدِهم
للنبيِّ - صلى الله عليه وسلم - والمؤمنين؛ أنَّ أخلاقَهم
الرذيلة وطبعَهم الخبيث حَمَلَهم على ترك الإيمان باللهِ ورسوله
والتعوُّض عنه بالإيمان بالجبت والطاغوت، وهو الإيمان بكلِّ
عبادةٍ لغير الله أو حكم بغير شرع الله، فدخل في ذلك السِّحر
والكهانة وعبادة غير الله وطاعة الشيطان، كلُّ هذا من الجبت
والطاغوت، وكذلك حَمَلَهُمُ الكفر والحسد على أن فضَّلوا طريقة
الكافرين بالله عبدةِ الأصنام على طريق المؤمنين،
فقال:
{ويقولون للذين كفروا}؛
أي:
لأجلهم تملُّقاً لهم ومداهنةً وبغضاً للإيمان:
{هؤلاء أهدى من الذين آمنوا سبيلاً}؛ أي: طريقاً؛ فما أسْمَجَهم وأشدَّ
عنادهم وأقلَّ عقولهم! كيف سلكوا هذا المسلك الوخيم والواديَ
الذَّميم؟! هل ظنُّوا أنَّ هذا يروج على أحدٍ من العقلاء أو يدخل
عقلَ أحدٍ من الجهلاء؟! فهل يَفْضُلُ دينٌ قام على عبادة الأصنام
والأوثان، واستقام على تحريم الطيِّبات وإباحة الخبائث وإحلال
كثيرٍ من المحرَّمات، وإقامة الظلم بين الخَلْق وتسوية الخالق
بالمخلوقين، والكفر بالله ورسله وكتبه على دينٍ قام على عبادة
الرحمن، والإخلاص لله في السرِّ والإعلان والكفر بما يُعْبَدُ من
دونه من الأوثان والأنداد والكاذبين، وعلى صلة الأرحام والإحسان
إلى جميع الخَلْق حتى البهائم، وإقامة العدل والقسط بين الناس
وتحريم كلِّ خبيث وظلم ومصدق في جميع الأقوال والأعمال؟! فهل هذا
إلاَّ من الهذيان؟! وصاحب هذا القول إما من أجهل الناس وأضعفهم
عقلاً، وإما من أعظمهم عناداً وتمرداً ومراغمة للحق، وهذا هو
الواقع.
(51) Ini adalah di antara
keburukan-keburukan orang-orang Yahudi dan kedengkian mereka
terhadap Nabi ﷺ dan kaum Mukminin, bahwa akhlak mereka yang
tercela dan kebiasaan atau tabiat mereka yang kotor membawa
mereka kepada tindakan meninggalkan iman kepada Allah dan
RasulNya kemudian meng-gantikannya dengan iman kepada jibt dan
thaghut, artinya beriman kepada segala peribadatan
(yang ditujukan) kepada selain Allah
سبحانه وتعالى atau berhukum dengan selain syariat Allah, dan
termasuk dalam hal itu adalah sihir, perdukunan, dan peribadahan
kepada selain Allah dan taat kepada setan, semua itu termasuk di
antara jibt dan thaghut. Demikian juga, kekufuran dan kedengkian
telah membawa mereka kepada pengutamaan jalan orang-orang yang
kafir terhadap Allah, dan para penyembah berhala daripada jalan
kaum Muk-minin, Allah berfirman, ﴾ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ
كَفَرُواْ
﴿ "Dan mengatakan kepada orang-orang kafir
(musyrik Makkah)" yaitu karena mereka
menjadi-kannya sebagai suatu jalan untuk menjilat dan mencari
muka serta benci terhadap keimanan, ﴾
هَٰٓؤُلَآءِ أَهۡدَىٰ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ سَبِيلًا ﴿
"Bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang
beriman." Betapa jelek-nya mereka, betapa kerasnya kedurhakaan
mereka, dan betapa kerdilnya akal pikiran mereka! Bagaimana bisa
mereka menempuh jalan yang berbahaya dan jurang yang
menjerumuskan?! Apakah mereka mengira bahwa hal ini tersamar
(tidak diketahui) oleh orang-orang yang
berakal atau akan masuk ke dalam akal orang-orang yang bodoh?!
Apakah sebuah agama yang dibangun di atas ajaran penyem-bahan
terhadap berhala dan patung-patung, terus-menerus dalam
mengharamkan hal-hal yang baik, membolehkan hal-hal yang kotor,
dan menghalalkan jumlah yang banyak dari hal-hal yang
diharamkan, kezhaliman di antara makhluk serta penyamaan antara
Pencipta dan para makhluk yang diciptakan, kufur kepada Allah,
Rasul-rasulNya dan kitab-kitabNya, lebih utama daripada sebuah
agama yang tegak di atas ajaran peribadahan kepada Yang Maha
Penyayang, keikhlasan kepadaNya dalam
(amal perbuatan yang dilakukan) ketika
sendirian maupun di tengah-tengah kha-layak, pengingkaran
terhadap segala sembahan selainNya berupa patung-patung,
tandingan-tandingan dan para pendusta, dan di atas ajaran
menyambung silaturahim, berbuat baik kepada seluruh makhluk
hingga kepada binatang sekalipun, menegakkan keadilan di antara
manusia, mengharamkan segala yang buruk dan mengan-dung
kezhaliman serta jujur dalam setiap perkataan dan perbuatan!
Tidakkah apa yang mereka perbuat tersebut melainkan karena
ke-bingungan?! Dan orang yang berkata seperti itu merupakan
orang yang paling bodoh dan paling lemah akalnya, atau merupakan
orang yang paling keras kedurhakaan, pembangkangan, dan
peno-lakannya terhadap kebenaran, dan inilah yang terjadi.
#
{52} ولهذا قال تعالى عنهم:
{أولئك الذين لَعَنَهم الله}؛
أي:
طَرَدَهُم عن رحمته وأحلَّ عليهم نقمته.
{ومَن يلعنِ الله فلن تجدَ له نَصيراً}؛ أي: يتولاَّه ويقوم بمصالحه ويحفظُه
عن المكارِهِ، وهذا غايةُ الخِذلان.
(52) Oleh karena itulah Allah سبحانه
وتعالى berfirman tentang mereka, ﴾ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ
لَعَنَهُمُ ٱللَّهُۖ
﴿ "Mereka itulah orang yang dikutuk Allah" yaitu Allah
mengusir mereka dari rahmatNya dan menempatkan mereka pada
kemurkaanNya. ﴾
وَمَن يَلۡعَنِ ٱللَّهُ فَلَن تَجِدَ لَهُۥ نَصِيرًا ﴿
"Barangsiapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak
akan memperoleh penolong baginya," maksudnya, yang melindunginya
dan mengurus kemaslahatan-nya, serta menjaganya dari hal-hal
yang dibenci, dan inilah puncak dari keterhinaan.
#
{53}
{أم لهم نصيبٌ من الملك}؛
أي:
فيفضِّلون من شاؤوا على من شاؤوا بمجرَّد أهوائهم، فيكونون شركاء
لله في تدبير المملكة؛ فلو كانوا كذلك؛ لشحُّوا وبخلوا أشدَّ
البخل. ولهذا قال:
{فإذاً}؛
أي:
لو كان لهم نصيبٌ من الملك
{لا يؤتون الناس نقيراً}؛
أي:
شيئاً ولا قليلاً. وهذا وصفٌ لهم بشدَّة البخل على تقدير وجود
ملكهم المشارك لملك الله، وأُخْرِجَ هذا مخرج الاستفهام
المتقرِّر إنكاره عند كلِّ أحدٍ.
(53) ﴾ أَمۡ لَهُمۡ نَصِيبٞ مِّنَ
ٱلۡمُلۡكِ
﴿ "Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan
(kekuasaan)?" Maksudnya, mereka
mengutamakan orang-orang yang mereka kehendaki
(yaitu orang-orang musyrik Makkah)
daripada orang-orang yang mereka kehendaki
(yaitu orang-orang Mukmin) hanya
bersandar kepada hawa nafsu mereka, lalu men-jadikan mereka
sekutu bagi Allah dalam mengurus kerajaan dan kekuasaan,
seandainya mereka seperti itu halnya, niscaya mereka akan
berlaku kikir dan sangat bakhil. Oleh karena itu Allah
ber-firman, ﴾
فَإِذٗا
﴿ "Kendatipun ada" yaitu seandainya mereka memiliki bagian
dalam perkara kekuasaan itu, ﴾
لَّا يُؤۡتُونَ ٱلنَّاسَ نَقِيرًا ﴿ "mereka tidak akan memberikan
sedikit pun
(kebajikan) kepada manusia,"
maksudnya
(mereka tidak akan memberikan) sesuatu
pun walaupun sedikit. Ini merupakan penyifatan bagi mereka
dengan kebakhilan yang sangat, padahal itu dalam suatu perkiraan
adanya kekuasaan mereka sebagai sekutu bagi Allah dalam
kerajaanNya, kalimat ini diungkapkan dalam bentuk pertanyaan
yang sudah jelas jawaban-nya, yaitu sesuatu yang pasti diingkari
oleh setiap orang.
#
{54}
{أم يحسُدون الناس على ما آتاهُمُ الله من فضلِهِ}؛ أي: هل الحاملُ لهم على قولهم كونُهم
شركاءَ لله فيفضِّلون مَن شاؤوا؟ أم الحامل لهم على ذلك الحسد
للرسول وللمؤمنين على ما آتاهم الله من فضله؟ وذلك ليس ببدع ولا
غريب على فضل الله؛
{فقد آتينا آلَ إبراهيم الكتابَ والحكمة وآتيناهم ملكاً
عظيماً}، وذلك ما أنعم الله به على إبراهيم وذرِّيَّته من النبوَّة
والكتاب والملك الذي أعطاه مَن أعطاه من أنبيائه؛ كداود وسليمان؛
فإنعامه لم يزل مُسْتمِرًّا على عبادِهِ المؤمنين؛ فكيف ينكِرون
إنعامَهُ بالنبوَّة والنصر والملك لمحمدٍ - صلى الله عليه وسلم -
أفضل الخلق وأجلِّهم وأعظمهم معرفةً بالله وأخشاهم له؟!
(54) ﴾ أَمۡ يَحۡسُدُونَ ٱلنَّاسَ عَلَىٰ
مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۖ
﴿ "Ataukah mereka dengki kepada manusia
(Muhammad) lantaran karunia yang telah
Allah berikan kepadanya?" Maksudnya, apakah pendorong bagi
perkataan mereka itu adalah posisi mereka sebagai sekutu bagi
Allah lalu mereka mendahulukan orang-orang yang mereka
kehendaki?! Ataukah pendorong bagi mereka dalam hal itu adalah
kedengkian terhadap Rasulullah ﷺ dan kaum Mukminin atas apa
yang telah Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya? Dan
yang demikian itu bukanlah suatu hal yang asing dan aneh lagi
atas karunia dari Allah, ﴾
فَقَدۡ ءَاتَيۡنَآ ءَالَ إِبۡرَٰهِيمَ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ
وَءَاتَيۡنَٰهُم مُّلۡكًا عَظِيمٗا ﴿ "sesungguhnya Kami telah
memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami
telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar," yaitu karunia
yang telah Allah berikan kepada Ibrahim dan anak cucunya berupa
kenabian dan kitab serta kerajaan yang diberikan kepada seorang
nabi dari nabi-nabiNya seperti Dawud dan Sulaiman عليهما السلام,
dan pemberian nikmat olehNya masih terus berlangsung atas
hamba-hambaNya yang beriman, lalu bagaimana mungkin mereka
meng-ingkari pemberian nikmat olehNya berupa kenabian dan
pembe-laan serta kerajaan bagi Muhammad ﷺ sebagai makhluk yang
paling utama, paling mulia, dan paling mengetahui tentang Allah
dan paling takut kepadaNya?!
#
{55}
{فمنهم من آمن به}؛
أي:
بمحمدٍ - صلى الله عليه وسلم - فنال بذلك السعادة الدنيويَّة
والفلاح الأخرويَّ،
{ومنهم من صدَّ عنه}؛ عناداً
وبغياً وحسدًا، فحصل لهم من شقاء الدُّنيا ومصائبها ما هو بعض
آثار معاصيهم،
{وكفى بجهنَّم سعيراً}: تُسَعَّرُ
على مَن كَفَرَ بالله، وجَحَدَ نبوَّة أنبيائِهِ من اليهود
والنصارى وغيرِهم من أصناف الكَفَرة.
(55) ﴾ فَمِنۡهُم مَّنۡ ءَامَنَ بِهِۦ
﴿ "Maka di antara mereka
(orang-orang yang dengki itu), ada
orang-orang yang beriman kepadanya" yaitu kepada Muhammad ﷺ,
sehingga dengan hal itu ia mendapatkan kebaha-giaan dunia dan
kemenangan di akhirat, ﴾
وَمِنۡهُم مَّن صَدَّ عَنۡهُۚ
﴿ "dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi
(manusia) dari beriman kepadanya"
sebagai suatu kedurhakaan, kezhaliman, dan kedeng-kian,
sehingga mereka memperoleh kesengsaraan dunia dan
mu-sibah-musibahnya yang merupakan bagian dari efek
kemaksiatan mereka, ﴾
وَكَفَىٰ بِجَهَنَّمَ سَعِيرًا ﴿ "Dan cukuplah
(bagi mereka) Jahanam yang menyala-nyala
apinya" yang dinyalakan untuk orang-orang yang kufur kepada
Allah, mengingkari kenabian para nabi-nabiNya dari kaum Yahudi
dan Nasrani serta selain mereka dari berbagai macam orang-orang
kafir lainnya.
#
{56} ولهذا قال:
{إنَّ الذين كفروا بآياتِنا سوفَ نُصليهم ناراً}؛ أي: عظيمة الوَقود شديدة الحرارة،
{كلَّما نَضِجَتْ جلودُهم}؛
أي:
احترقت،
{بدَّلْناهم جلوداً غيرَها لِيَذوقوا العذابَ}؛ أي: ليبلغ العذابُ منهُم كلَّ مبلغ،
وكما تكرَّرَ منهم الكفرُ والعنادُ؛ وصار وصفاً لهم وسجيَّةً؛
كرَّر عليهم العذاب جزاء وفاقاً،
ولهذا قال:
{إنَّ الله كان عزيزاً حكيماً}؛ أي: له العزَّة العظيمة والحكمة في
خلقه وأمره وثوابِهِ وعقابِهِ.
(56) Oleh karena itulah Allah berfirman,
﴾ إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِـَٔايَٰتِنَا سَوۡفَ نُصۡلِيهِمۡ
نَارٗا
﴿ "Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami,
kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka" yaitu sangat
besar menyalanya dan sangat keras panasnya, ﴾
كُلَّمَا نَضِجَتۡ جُلُودُهُم
﴿ "setiap kali kulit mereka hangus" yaitu terbakar, ﴾
بَدَّلۡنَٰهُمۡ جُلُودًا غَيۡرَهَا لِيَذُوقُواْ ٱلۡعَذَابَۗ
﴿ "Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya
mereka merasakan azab" yaitu agar siksaan itu sampai kepada
mereka dengan sebenar-be-narnya, dan sebagaimana berulangnya
kekufuran dan kedurhakaan mereka yang akhirnya menjadi
karakter dan sifat abadi bagi me-reka, Allah juga
mengulang-ulang siksaanNya bagi mereka sebagai suatu balasan
yang setimpal, oleh karena itu Allah berfirman, ﴾
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana" yaitu milikNya kemuliaan yang
agung dan hikmah pada pencipta-an, perintah, pahala, dan
siksaanNya.
#
{57}
{والذين آمنوا}؛
أي:
بالله وما أوجب الإيمان به،
{وعملوا الصالحات}: من الواجبات
والمستحبات،
{سندخلهم جناتٍ تجري من تحتها الأنهارُ لهم فيها أزواج
مطهرة}؛ أي: من الأخلاق الرذيلة والخُلُق
الذَّميم وممّا يكون من نساء الدُّنيا من كل دَنَسٍ وعيبٍ،
{وندخِلُهم ظِلاًّ ظليلاً}.
(57) ﴾ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
﴿ "Dan orang-orang yang beriman" yaitu ke-pada Allah dan
perkara apa pun yang wajib diimani, ﴾
وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
﴿ "dan mengerjakan amal-amal yang shalih," baik yang wajib
maupun yang sunnah, ﴾
سَنُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ
خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۖ لَّهُمۡ فِيهَآ أَزۡوَٰجٞ
مُّطَهَّرَةٞۖ
﴿ "kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya; mereka di dalamnya mempunyai istri-istri yang
suci" yaitu dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang
hina dan juga dari apa yang dialami oleh wanita dunia dari
setiap kotoran dan kekurangan, ﴾
وَنُدۡخِلُهُمۡ ظِلّٗا ظَلِيلًا ﴿ "dan Kami masukkan mereka ke
tempat yang teduh lagi nyaman."
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ
إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ
تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ
بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
(58) يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
(59)}
.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum
di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur`an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang de-mikian itu lebih
utama
(bagimu) dan lebih baik
akibatnya."
(An-Nisa`: 58-59).
#
{58} الأمانات كلُّ ما اؤتُمِنَ
عليه الإنسان وأُمِرَ بالقيام به، فأمر اللهُ عباده
بأدائِها؛ أي: كاملة موفَّرة لا منقوصة
ولا مبخوسةً ولا ممطولاً بها، ويدخُلُ في ذلك أماناتُ الولايات
والأموال والأسرار والمأمورات التي لا يطَّلع عليها إلا الله.
وقد ذكر الفقهاء على أنَّ مَن اؤتُمِنَ أمانة؛ وَجَبَ عليه
حفظُها في حِرْز مثلها؛ قالوا: لأنه لا
يمكنُ أداؤها إلاَّ بحفظها، فوجب ذلك.
وفي قوله:
{إلى أهلها}: دلالة على أنها لا
تُدْفَعُ وتؤدَّى لغير المؤتَمِن، ووكيلُهُ بمنزلتِهِ؛ فلو دفعها
لغير ربِّها؛ لم يكن مؤدِّياً لها.
{وإذا حكمتُم بين الناس أن تحكُموا بالعدل}: وهذا يشمل الحكم بينهم في الدِّماء والأموال والأعراض؛ القليل
من ذلك والكثير، على القريب والبعيد والبَرِّ والفاجر والوليِّ
والعدوِّ. والمراد بالعدل الذي أمر الله بالحكم به هو ما
شَرَعَهُ الله على لسان رسولِهِ من الحدود والأحكام، وهذا يستلزم
معرفة العدل ليحكُمَ به، ولما كانت هذه أوامر حسنةً عادلةً؛
قال:
{إنَّ الله نِعمَّا يَعِظُكُم به، إنَّ اللهَ كان سميعاً
بصيراً}: وهذا مدحٌ من الله لأوامره ونواهيه؛ لاشتمالها على مصالح
الدارين ودفع مضارِّهما؛ لأنَّ شارعها السميع البصير الذي لا
تَخْفى عليه خافيةٌ ويعلم من مصالح العباد ما لا يعلمون.
(58) Amanah itu adalah setiap hal yang
dipercayakan ke-pada seseorang dan ia diperintahkan untuk
menunaikannya, Allah سبحانه وتعالى memerintahkan hamba-hambaNya
agar menunaikan amanah, maksudnya secara sempurna dan penuh,
tidak dikurangi, dicurangi, dan tidak pula diulur-ulur, dan
termasuk dalam amanah di sini adalah amanah kekuasaan, harta,
rahasia-rahasia, dan perintah-perintah yang tidak diketahui
kecuali oleh Allah semata. Sesung-guhnya para ahli fikih telah
menyebutkan bahwa barangsiapa yang diserahkan kepadanya suatu
amanah, maka ia wajib menjaga amanah tersebut dalam suatu tempat
yang patut, mereka berkata, "Karena sesungguhnya tidaklah
mungkin dapat ditunaikan kecuali dengan menjaganya, maka
wajiblah hal itu dilakukan." Dan Firman Allah, ﴾ إِلَىٰٓ
أَهۡلِهَا
﴿ "Kepada yang berhak menerimanya," sebuah dalil bahwa
tidaklah diserahkan dan ditunaikan kepada selain orang yang
berhak menerimanya, dan wakil orang tersebut adalah dalam
posisinya, sehingga apabila ia menyerahkannya kepada selain
orang yang berhak menerimanya, maka ia tidaklah dikatakan
telah menunaikannya. ﴾
وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ
﴿ "Dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil," hal ini mencakup hukum di antara mereka dalam
perkara darah, harta, maupun kehormatan, baik sedikit maupun
banyak, terhadap yang dekat maupun yang jauh, seorang yang
baik mau-pun yang jahat, seorang teman maupun musuh. Maksud
dari adil di sini adalah yang diperintahkan oleh Allah untuk
berhukum dengannya yaitu apa yang disyariatkan oleh Allah
melalui lisan RasulNya berupa ketentuan-ketentuan dan
hukum-hukum. Hal ini menuntut untuk mengetahui keadilan agar
dapat menetapkan hukum dengannya, dan ketika perintah-perintah
tersebut adalah suatu yang baik dan adil, Allah berfirman,
﴾
إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ
سَمِيعَۢا بَصِيرٗا ﴿ "Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat," ini merupakan pujian dari Allah bagi
perintah-perintahNya dan larangan-laranganNya, karena mencakup
kemaslahatan dunia dan akhirat dan menolak kemudharatan pada
keduanya, karena sesung-guhnya Dzat yang mensyariatkannya adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat, yang tidak ada sesuatu pun
yang tersembunyi bagiNya dan Dia mengetahui kemaslahatan hamba,
yang mereka sendiri tidak mengetahuinya.
#
{59} ثم أمر بطاعتِهِ وطاعة
رسولِهِ، وذلك بامتثال أمرهما الواجب والمستحبِّ واجتناب
نهيهِما، وأمر بطاعة أولي الأمر، وهم الولاة على الناس من
الأمراء والحكَّام والمفتين؛ فإنَّه لا يستقيمُ للناس أمرُ دينهم
ودُنياهم إلاَّ بطاعِتِهم والانقيادِ لهم. طاعةً لله ورغبةً فيما
عنده، ولكن بشرط أن لا يأمروا بمعصية الله؛ فإنْ أمروا بذلك؛ فلا
طاعة لمخلوق في معصية الخالق. ولعل هذا هو السرُّ في حذف الفعل
عند الأمر بطاعتهم وذِكْرِهِ مع طاعة الرسول؛ فإنَّ الرسول لا
يأمر إلا بطاعة الله، ومَنْ يُطِعْهُ؛ فقد أطاع الله، وأما أولو
الأمر؛ فشرطُ الأمرِ بطاعتهم أن لا يكونَ معصيةً. ثم أمَرَ بردِّ
كلِّ ما تنازع الناس فيه من أصول الدين وفروعه إلى الله وإلى
الرسول ؛ أي: إلى كتاب الله وسنة
رسوله؛
فإنَّ فيهما الفصل في جميع المسائل الخلافيَّة:
إمَّا بصريحهما أو عمومهما أو إيماءٍ أو تنبيهٍ أو مفهوم أو عموم
معنى يُقاسُ عليه ما أشبهه؛ لأنَّ كتاب الله وسنة رسوله عليهما
بناءُ الدين، ولا يستقيم الإيمان إلاَّ بهما؛ فالردُّ إليهما
شرطٌ في الإيمان؛ فلهذا قال:
{إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر}: فدلَّ ذلك على أنَّ من لم يردَّ إليهما مسائلَ النزاع؛ فليس
بمؤمن حقيقةً، بل مؤمنٌ بالطاغوت؛ كما ذكر في الآية بعدها.
{ذلك}؛
أي:
الردُّ إلى الله ورسوله،
{خيرٌ وأحسنُ تأويلاً}؛ فإنَّ حُكم
الله ورسوله أحسنُ الأحكام وأعدلُها وأصلحُها للناس في أمر دينهم
ودُنياهم وعاقبتهم.
(59) Kemudian Allah memerintahkan untuk
taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya, yaitu dengan
melaksanakan perintah keduanya yang wajib dan yang sunnah, serta
menjauhi larangan keduanya. Allah juga memerintahkan untuk taat
kepada para pemimpin, mereka itu adalah orang-orang yang
memegang ke-kuasaan atas manusia, yaitu para penguasa, para
hakim, dan para ahli fatwa
(mufti),
sesungguhnya tidaklah akan berjalan baik urusan agama dan dunia
manusia kecuali dengan taat dan tunduk kepada mereka, sebagai
suatu tindakan ketaatan kepada Allah dan meng-harap apa yang ada
di sisiNya, akan tetapi dengan syarat bila mereka tidak
memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, dan bila mereka
memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, maka tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah. Dan bisa
jadi inilah rahasia dari dihilangkannya kata kerja "taat" pada
perintah taat kepada mereka dan penyebutannya bersama dengan
taat kepada Rasul, karena sesungguhnya Rasul tidaklah
memerintahkan kecuali ketaatan kepada Allah, dan ba-rangsiapa
yang taat kepadanya, sesungguhnya ia telah taat kepada Allah,
adapun para pemimpin, maka syarat taat kepada mereka adalah
bahwa apa yang diperintahkan bukanlah suatu kemaksiatan.
Kemudian Allah memerintahkan agar mengembalikan segala perkara
yang diperselisihkan oleh manusia dari perkara-perkara yang
merupakan dasar-dasar agama ataupun cabang-cabangnya kepada
Allah dan RasulNya, maksudnya kepada kitabullah dan sunnah
RasulNya, karena pada kedua hal itu ada keputusan yang adil bagi
seluruh masalah yang diperselisihkan, yaitu dengan
pengungkapannya secara jelas oleh keduanya atau secara umum atau
isyarat atau peringatan atau pemahaman atau keumuman makna yang
dapat diqiyaskan dengannya segala hal yang sejenis dengan
keumuman makna tersebut, karena sesungguhnya di atas Kitabullah
dan Sunnah RasulNya agama tegak berdiri, dan tidak-lah akan
lurus iman seseorang kecuali dengan mengimani kedua-nya, maka
mengembalikan perkara kepada keduanya adalah syarat keimanan,
karena itulah Allah berfirman, ﴾ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ
بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ
﴿ "Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari
Kemudian" hal ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak
mengembalikan perkara-perkara yang diperselisihkan kepada
keduanya, maka ia bukanlah seorang Mukmin yang hakiki, akan
tetapi ia adalah seorang yang percaya kepada thaghut
sebagaimana yang Allah sebutkan dalam ayat selanjutnya,
﴾
ذَٰلِكَ
﴿ "Yang demikian itu" yaitu mengembalikan kepada Allah dan
RasulNya, ﴾
خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ﴿ "lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya,"
karena sesungguhnya hukum Allah dan RasulNya adalah sebaik-baik
hukum, seadil-adilnya, dan paling berguna bagi manusia dalam
urusan agama, dunia, dan hasil akhirat mereka.
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا
بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ
أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ
يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
(60) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا
إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ
الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
(61) فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ
مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا
وَتَوْفِيقًا (62) أُولَئِكَ
الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ
عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا
بَلِيغًا (63)}
.
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang me-ngaku
dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepa-damu dan
kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim
kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari
thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan me-reka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.
Apabila dikata-kan kepada mereka, 'Marilah
(tunduk) kepada hukum yang telah Allah
turunkan dan kepada hukum Rasul,' niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi
(manusia) dengan
sekuat-kuat-nya dari
(mendekati) kamu.
Maka bagaimanakah halnya apabila mereka
(orang-orang munafik) ditimpa sesuatu
musibah disebab-kan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian
mereka datang kepadamu sambil bersumpah, 'Demi Allah, kami
sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan
perdamaian yang sempurna.' Mereka itu adalah orang-orang yang
Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan
katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa
mereka."
(An-Nisa`: 60-63).
#
{60 ـ 61} يُعجِّب تعالى عبادَه من
حالة المنافقين الذين يزعُمون أنَّهم مؤمنون بما جاء به الرسولُ
وبما قبلَه، ومع هذا
{يُريدون أن يتحاكموا إلى الطَّاغوت}، وهو كلُّ مَن حَكَمَ بغير شرع الله؛ فهو طاغوتٌ، والحالُ
أنَّهم
{قد أُمِروا أن يكفُروا به}؛ فكيف
يجتمع هذا والإيمان؛ فإنَّ الإيمان يقتضي الانقيادَ لشرع الله
وتحكيمِهِ في كل أمر من الأمور؛ فَمنْ زَعَمَ أنه مؤمنٌ واختار
حكم الطاغوت على حكم الله؛ فهو كاذبٌ في ذلك، وهذا من إضلال
الشيطان إيَّاهم، ولهذا قال:
{ويُريد الشيطانُ أنْ يُضلَّهم ضلالاً بعيداً}
عن الحقِّ.
(60-61) Allah سبحانه وتعالى membuat
hamba-hambaNya heran dari kondisi orang-orang munafik yang
mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman kepada apa
yang dibawa oleh Rasul dan apa yang datang sebelumnya, namun
demikian, ﴾ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوٓاْ إِلَى ٱلطَّٰغُوتِ
﴿ "mereka hendak berhakim kepada thaghut" yaitu setiap orang
yang berhukum dengan selain syariat Allah, maka itulah
thaghut, padahal sebenarnya mereka ﴾
وَقَدۡ أُمِرُوٓاْ أَن يَكۡفُرُواْ بِهِۦۖ
﴿ "telah diperintah mengingkari thaghut itu" lalu
bagaimanakah bisa bersatu antara hal ini dengan keimanan,
karena sesungguhnya iman itu mengharus-kan adanya ketundukan
kepada syariat Allah dan ketentuanNya terhadap setiap perkara,
sehingga barangsiapa yang mengaku bahwa ia seorang Mukmin lalu
ia memilih hukum thaghut daripada hukum Allah, maka ia adalah
pendusta dalam pengakuannya itu, dan ini merupakan penyesatan
setan terhadap diri mereka, karena itu Allah berfirman,
﴾
وَيُرِيدُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَن يُضِلَّهُمۡ ضَلَٰلَۢا بَعِيدٗا ﴿ "Dan
setan ber-maksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya"
dari kebenaran.
#
{62}
{فكيف} يكونُ حال هؤلاء الضالِّين
{إذا أصابتهم مصيبةٌ بما قدَّمت أيديهم}
من المعاصي، ومنها تحكيمُ الطَّاغوت،
{ثم جاؤوك} متعذرين لما صَدَرَ
منهم، ويقولون:
{إن أردْنا إلَّا إحساناً وتوفيقاً}؛ أي: ما قصدنا في ذلك إلاَّ الإحسان
إلى المتخاصمين والتوفيقَ بينهم، وهم كَذَبَةٌ في ذلك؛ فإن
الإحسان كل الإحسان تحكيم الله ورسوله، ومَنْ أحسنُ من الله
حكماً لقوم يوقنون.
(62) ﴾ فَكَيۡفَ
﴿ "Maka bagaimanakah" kondisi mereka orang-orang yang
tersesat, ﴾
إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةُۢ بِمَا قَدَّمَتۡ أَيۡدِيهِمۡ
﴿ "apabila mereka
(orang-orang munafik) ditimpa sesuatu
musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri" berupa
kemaksiatan-kemaksiatan, di antara-nya adalah berhukum dengan
thaghut, ﴾
ثُمَّ جَآءُوكَ
﴿ "kemudian mereka datang kepadamu" dengan maksud untuk
meminta maaf atas apa yang telah mereka lakukan seraya
berkata, ﴾
إِنۡ أَرَدۡنَآ إِلَّآ إِحۡسَٰنٗا وَتَوۡفِيقًا ﴿ "kami
sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan
perdamaian yang sempurna," maksudnya, tidaklah kami bermaksud
dengan hal itu kecuali berbuat baik kepada dua belah pihak yang
berselisih dan mendamaikan antara mereka, namun mereka ber-dusta
dalam hal tersebut, karena sesungguhnya berbuat baik ada-lah
dengan berhukum kepada Allah dan RasulNya, dan siapakah gerangan
yang paling baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin.
#
{63} ولهذا قال:
{أولئك الذين يعلمُ الله ما في قلوبهم}؛ أي: من النفاق والقصد السيئ؛
{فأعرضْ عنهم}؛
أي:
لا تُبال بهم ولا تقابِلْهم على ما فعلوه واقترفوه،
{وعِظْهُم}؛
أي:
بيِّن لهم حكم الله تعالى مع الترغيب في الانقياد لله والترهيب
من تركه،
{وقل لهم في أنفسِهم قولاً بليغاً}؛ أي: انصحْهم سِرًّا بينك وبينهم؛
فإنه أنجح لحصول المقصود، وبالغْ في زجرِهم وقَمْعِهِم عمَّا
كانوا عليه. وفي هذا دليل على أن مقترفَ المعاصي وإن أُعْرِضَ
عنه؛ فإنه يُنصَح سِرًّا ويبالغ في وعظه بما يظنُّ حصول المقصود
به.
(63) Oleh karena itulah Allah berfirman,
﴾ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُ ٱللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمۡ
﴿ "Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa
yang ada di dalam hati mereka" yaitu berupa kemunafikan dan
tujuan yang jelek, ﴾
فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ
﴿ "karena itu berpalinglah kamu dari mereka," maksudnya,
janganlah kalian memperhatikan mereka dan jangan-lah kalian
menghadapi apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka
ada-adakan, ﴾
وَعِظۡهُمۡ
﴿ "dan berilah mereka pelajaran," yaitu jelaskanlah kepada
mereka tentang hukum Allah سبحانه وتعالى dengan meng-ajak
mereka untuk tunduk kepada Allah dan mengancam mereka dari
meninggalkannya, ﴾
وَقُل لَّهُمۡ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ قَوۡلَۢا بَلِيغٗا ﴿ "dan
katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa
mereka," yaitu nasi-hatilah mereka dengan sembunyi-sembunyi
antara kalian dengan mereka, karena sesungguhnya yang demikian
itu lebih berhasil untuk memperoleh tujuan, dan bersikaplah
tegas terhadap mereka dalam memperingati dan mengekang mereka
dari apa yang mereka lakukan. Ayat ini adalah dalil bahwa
seorang pelaku kemaksiatan walaupun dihindari namun tetap harus
diberikan nasihat secara sembunyi-sembunyi dan tegas dalam
memberikan nasihat tersebut dengan perkara yang dapat
menghantarkan kepada apa yang di-harapkan.
{وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ
اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ
فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ
لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
(64) فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ
حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا
يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)}
.
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah
mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Maka demi Rabbmu, mereka
(pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam per-kara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya."
(An-Nisa`: 64-65).
#
{64} يخبر تعالى خبراً في ضمنِهِ
الأمرُ والحثُّ على طاعة الرسول والانقيادِ له، وأنَّ الغاية من
إرسال الرسل أن يكونوا مطاعين ينقادُ لهم المرسَل إليهم في جميع
ما آمروا به ونَهوا عنه، وأن يكونوا معظَّمين تعظيمَ المطاع
للمطيع ، وفي هذا إثبات عصمة الرُّسل فيما يبلِّغونَهُ عن اللهِ
وفيما يأمرونَ به ويَنْهَوْنَ عنه؛ لأنَّ الله أمر بطاعتهم
مطلقاً؛ فلولا أنهم معصومون لا يشرعون ما هو خطأ؛ لما أمر بذلك
مطلقاً. وقوله:
{بإذن الله}؛
أي:
الطاعة من المطيع صادرة بقضاء الله وقدرِهِ؛ ففيه إثباتُ القضاء
والقَدَر، والحثُّ على الاستعانة بالله، وبيان أنَّه لا يمكَّنُ
الإنسان إن لم يُعِنْه الله أن يطيع الرسول. ثم أخبر عن كرمِهِ
العظيم وجُودِهِ ودعوته لمن اقترف السيِّئات أن يعترِفوا ويتوبوا
ويستغفِروا الله، فقال:
{ولو أنَّهم إذ ظَلَموا أنفُسَهم جاؤوك}؛ أي: معترفين بذنوبهم باخِعين بها.
{فاستَغْفَروا الله واستغفرَ لهم الرسولُ لوجدوا الله
توَّاباً رحيماً}؛ أي: لتاب عليهم بمغفرتِهِ ظُلْمَهم
ورَحِمَهُم بقَبول التوبة والتوفيق لها والثواب عليها. وهذا
المجيء إلى الرسول - صلى الله عليه وسلم - مختصٌّ بحياتِهِ؛
لأنَّ السياق يدلُّ على ذلك؛ لكون الاستغفار من الرسول لا يكون
إلاَّ في حياتِهِ، وأمَّا بعد موتِهِ؛ فإنَّه لا يطلب منه شيءٌ،
بل ذلك شركٌ.
(64) Allah سبحانه وتعالى mengabarkan
tentang suatu berita di mana di antaranya mengandung perintah
dan anjuran untuk taat kepada Rasul dan tunduk kepadanya, dan
bahwa tujuan dari pengutusan para rasul adalah agar mereka
ditaati dan dipatuhi oleh manusia yang mana para rasul tersebut
diutus kepada mereka dalam segala perkara yang mereka
diperintahkan kepadanya dan perkara yang mereka dilarang
darinya, dan agar mereka dihormati dengan penghormatan seorang
yang ditaati oleh orang yang menaati. Ayat ini mengandung
penetapan akan keterpeliharaan para Rasul dari kesalahan dalam
perkara yang mereka dakwahkan dari Allah dan pada apa yang
mereka perintahkan kepadanya serta apa yang mereka larang
darinya, karena Allah سبحانه وتعالى telah memerintahkan untuk
taat kepada mereka secara mutlak, dan sekiranya mereka tidak
ma'shum, pastilah mereka tidak akan mensyariatkan apa yang
salah, ketika Allah memerintahkan hal tersebut secara mutlak,
dan FirmanNya, ﴾ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ
﴿ "Dengan izin Allah" maksudnya, ketaatan seorang yang taat
adalah bersumber dari qadha` Allah tentang qadarNya, dalam
ayat ini menyimpan dalil pengukuhan akan qadha` dan qadar,
juga anjuran untuk memohon pertolongan kepada Allah, dan
penjelasan bahwa manusia tidaklah akan mampu melakukan
ketaatan kepada Rasul apabila Allah tidak menolongnya.
Kemudian Allah mengabarkan tentang kemurahan hati beliau ﷺ
yang besar, kedermawanan dan dakwah beliau kepada orang yang
telah berbuat kemaksiatan agar mengakui, bertaubat, dan
memohon ampunan kepada Allah dalam FirmanNya,﴾
وَلَوۡ أَنَّهُمۡ إِذ ظَّلَمُوٓاْ أَنفُ